Ngelmu.co – Menilai Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), menodai Pancasila, Komite Khitthah Nahdlatul Ulama 1926 (KKNU-26), tegas menolak, tanpa syarat. Hal ini disampaikan oleh Ketua Tanfidz KKNU-26, Ahmad Zahro.
“Karena jelas, RUU HIP, mendegradasi dan menodai Pancasila. Secara linguistik, Haluan Ideologi Pancasila, itu salah besar, karena Pancasila itu haluan dan ideologi negara,” tuturnya.
“Saya yakin perancang HIP ini, tidak menguasai hukum tata negara dan tidak memiliki ilmu gramatika bahasa Indonesia yang baik dan benar,” sambungnya, seperti dilansir duta.co, Selasa (16/6).
Lebih lanjut Zahro mengatakan, organisasi besutan almaghfurlah KH Salahuddin Wahid (Gus Solah), itu menilai, RUU HIP, sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan ideologi negara.
“Sebagaimana keputusan di Museum NU, 100 persen peserta menolak RUU HIP. Bukan untuk direvisi, karena RUU ini tidak layak, baik secara yuridis maupun linguistik,” ujarnya.
“Yang paling ironis, bagaimana bisa, nyaris seluruh Fraksi di DPR RI menerima tanpa catatan. Hanya PKS yang menolak?” lanjut Zahro, heran.
Di sisi lain, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, itu mengingatkan jika Indonesia, masih beruntung, karena banyak pihak yang peduli dan menolak hal keliru.
Baik Majelis Ulama Indonesia (MUI), PP Muhammadiyah, hingga Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), serta elemen lain.
“Harusnya mereka yang mengatasnamakan diri sebagai wakil rakyat, malu. Bukankah tugas mereka di antaranya mengawal ideologi negara? Bukan justru menghancurkannya,” tegas Zahro.
“Jangan cuma teriak ‘NKRI Harga Mati’, ‘Saya Pancasila’, tetapi faktanya tidak mengerti Pancasila. Kita merinding menyaksikan RUU HIP ini,” sambungnya.
Sebelumnya diketahui, PDIP—pengusul RUU HIP—berubah pikiran dan mengaku siap menjadikan TAP MPRS XXV/1966 Tentang Larangan Paham Komunis, sebagai konsiderans.
Namun, hal itu tetap tak penting bagi Zahro. Pasalnya, ia melihat, ada nafsu besar ingin memutar balik sejarah melalui HIP.
Hal ini sudah dimulai, menurutnya, sejak hari lahir Pancasila yang mestinya tanggal 22 Juni—kemudian disepakati 18 Agustus, beriringan dengan berdirinya NKRI—tiba-tiba diubah menjadi 1 Juni.
Padahal jika diubah, maka ketemu, karena saat itu Ketuhanan (belum Yang Maha Esa) menjadi sila kelima. Jelas, bukan Pancasila yang sekarang.
Belum lagi ketika itu, juga ada gagasan memeras Pancasila menjadi Trisila, bahkan Ekasila.
“Ini yang mau dipaksakan dalam HIP, dengan meninggalkan TAP MPRS XXV/1966 sebagai konsiderans-nya,” kata Zahro.
“Semakin jelas bahwa orang-orang berpaham komunis, ada di dalam komunitas pengusung RUU HIP,” imbuhnya.
Zahro pun menilai, mereka yang ada di Senayan, tak pantas menyaingi—mengungguli—pendiri negeri yang telah menancapkan, memantapkan ideologi negara, Pancasila.
Sebagaimana terpatri dalam Pembukaan UUD 1945, lengkap dengan penjelasannya.
“Aplikasinya ada dalam batang tubuh UUD 45. Tidak perlu lagi ada undang-undang, apa pun bentuknya, untuk menjelaskan Pancasila,” tegas Zahro.
“Kecuali hanya akan mengaburkan dan melemahkan ideologi itu sendiri,” lanjutnya.
Baca Juga: “RUU HIP, Pahala Politik PKS”
Kasus RUU HIP ini, menurutnya, membuka mata rakyat Indonesia, bahwa ancaman itu datang dari sisi kiri, bukan kanan; seperti yang selama ini digembar-gemborkan lewat jargon teroris dan paham khilafah.
“Jadi, kalau sekarang ada yang khawatir PKI bangkit, ini buktinya. Mereka sudah menyusup di Senayan, di gedung DPR RI,” imbau Zahro.
“Bayangkan, mereka bisa mengotak-atik sila Ketuhanan Yang Maha Esa, diganti dengan Ketuhanan yang berkebudayaan. Kemudian dihapus sama sekali, menjadi hanya gotong royong,” imbuhnya.
Padahal, menurut Zahro, sebagai penggali nilai luhur bangsa menjadi Pancasila, Bung Karno, sudah setuju dengan kelima sila, dan meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa, di posisi pertama.
Bung Karno, juga setuju dengan teks Pembukaan UUD’45, ‘Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa’.
“Tak seorang pun bisa mengingkari, bahwa negara ini merdeka adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Siapa Allah Yang Maha Kuasa? Jawabnya jelas dan tegas,” beber Zahro.
Maka ia mengingatkan, jika warga NU, tidak boleh lengah dan berdiam diri, saat menyaksikan upaya jahat, pembelokan ideologi negara.
Zahro juga mengingatkan, betapa jahatnya gerakan politik kader PKI, yang ingin menjepit umat Muslim.
Mereka terus berupaya mengesankan sebagai korban G30S/PKI 1965. Padahal, mereka pelakunya.
“Kalau sampai mereka (keluarga PKI) ini diakui pemerintah sebagai korban, maka secara otomatis, TNI, Polri, dan umat Islam (terlebih NU dan Bansernya), akan menjadi tertuduh, pelaku pelanggaran HAM berat 1965,” kata Zahro.
“Ini berbahaya. Jangan sampai karena sudah merasa nyaman, berada di lingkaran kekuasaan, dapat gaji besar, lalu diam,” pungkasnya.