Ngelmu.co – Belum lama, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menggelar peringatan Maulid Nabi SAW, tepatnya, pada Minggu, 29 Desember 2019 lalu.
Kehadirannya Jadi Kntroversi
Maulid tersebut, turut dihadiri oleh H Agus Solachul A’am Wahib, putra dari KH Wahib Wahab, Menteri Agama RI ke-9.
Kehadirannya di sana, sempat menjadi kontroversi. Bahkan, pria yang akrab disapa Gus A’am ini, sempat ‘ditawur’ oleh teman dan keluarganya.
Hadirnya beliau di acara maulid tersebut, mengundang pertanyaan, terutama dari keluarga besarnya.
“Ada dua sebab. Pertama, mengapa menghadiri acara PKS? Kedua, mengapa mengkritik NU di depan kader PKS? Dua ini saja, rupanya,” tegasnya, ketika menyambangi kantor redaksi duta.co, Surabaya, pada Minggu (19/1/2020).
Beruntungnya, ketika ia jelaskan satu per satu, semua bisa memahami maksud dan tujuannya itu. Kendati demikian, menurutnya masih ada saja yang sulit menerimanya.
“Terutama mereka yang kadung terdoktrin keliru. Sehingga PKS harus salah,” katanya sambil tertawa.
PKS Layak untuk Dibahas
Sebab menurutnya, saat ini hanya PKS yang layak untuk dibahas. Karena partai yang diketahui memilih menjadi oposisi ini, telah menjadi bulan-bulanan isu wahabi dan khilafah.
Buktinya, partai-partai nasionalis lainnya, tampak sangat takut dengan PKS. Intinya, takut jika partai Islam ini menjadi besar.
Kemudian, mereka mengajak ormas Islam, terutama Nahdlatul’Ulama (NU) untuk memainakn isu wahabi dan khilafah. Kedua isu tersebut ditargetkan kepada PKS dan efektif.
“Anda bisa saksikan, betapa banyak kader NU, baik struktural maupun kultural yang ikut mestigma PKS sebagai partai wahabi, partai khilafah. Gerakan ini semakin masif ketika orang seperti Abu Janda, Denny Siregar ikut kampanye anti wahabi dan khilafah. Saking masifnya, ada Ketua NU yang terang-terangan ingin menghabisi PKS. Ini luar biasa,” tegasnya.
Bukankah gerakan wahabi dan khilafah di Indonesia, memang, ada?
“Ada. Tetapi, menimpakan kedua isu itu kepada PKS, adalah sebuah modus tersendiri. Ini sangat tidak adil. Dan perlu Anda tahu, meski dikeroyok seperti itu, PKS tidak makin kecil. Itulah sebabnya, partai ini memarik dikaji,” tegas Gus A’am Wahib.
Ketika dirinya ditanya, mengenai kontroversi kehadirannya dalam acara maulid yang digelar oleh PKS, Gus A’am Wahib tidak mengelak. Ini tidak serta merta datang. Menurutnya, lama, dirinya mencermati gerik-gerik perjuangan partai dakwah ini.
“Memang. Tidak sedikit saudara saya yang antipati dengan PKS. Alasannya, tadi, wahabi dan khilafah. Ini yang membuat saya ingin tahu. Lebih mendekat. Apa seperti itu? Terus terang, saya tidak pernah di partai. Tetapi, saya yakin, seluruh partai di Indonesia, termasuk PKS, pasti tunduk pada undang-undang kepartaian. Kalau PKS khilafah, pasti tidak bisa berdiri,” tegasnya.
Kader Hadir dari Kalangan Keluarga NU
Menurutnya, sudah sejak lama ia melihat sepak terjang tokoh-tokoh PKS. Setelah dihitung-hitung, ternyata tak sedikit kader PKS yang datang dari kalangan keluarga NU, amaliahnya pun ahlussunannah wal jamaah an-nahdliyyah.
“Saya sempat kaget melihat banyaknya anak-anak NU di PKS. Siapa berani menyebut Ketua Majelis Syuro PKS Habib Salim Segaf Al Jufri itu wahabi, khilafah? Saya ingin tahu orangnya. Begitu juga Presiden PKS, Pak Sohibul Iman, Pak Muzammil. Apakah mereka itu wahabi? Pengusung khilafah? Tidak,” tegasnya.
Jadi menuturnya, ketika ada Ketua NU yang menggebu-gebu mengatakan bahwa PKS itu wahabi, khilafah dan lainnya, ia meyakini bahwa dia merupakan korban fitnah, bahkan korban dari buzzer, atau bisa saja dia yang menjadi sohibul fitnahnya.
Baca Juga: PKS: Kalau Tak bisa Bantu Wong Cilik, Jangan Cabut Subsidi Gas
“Kalau ada Ketua NU yang menggebu-gebu mengatakan PKS itu wahabi, khilafah, saya yakin, dia korban fitnah, korban buzzer medsos. Kalau tidak? Justru dia sendiri sohibul fitnahnya,” terang Gus A’am Wahib.
Bahkan, Gus A’am menganggap, bahwa dengan keberadaan PKS ini menjadi semakin menarik. Apalagi, partai ini menjadi satu-satunya partai yang menempatkan posisi menjadi oposisi.
Karena di mana pun, pemerintahan, jelasnya, butuh oposisi. Jika tidak ada oposisi, maka, pemerintah itu cenderung otoriter.
“Ada adagium terkenal, bahwa, kekuasaan itu cenderung korup, power tend to corrupt. Di sini kita butuh oposisi. Untuk mengontrol jalannya pemerintahan agar tetap sesuai dengan koridor hukum dan nilai-nilai kebangsaan. Saya tertarik dengan keberanian PKS, meski harus berdiri sendiri sebagai oposisi. Makanya, partai ini harus ditemani,” tutupnya.