Ngelmu.co – Anak-anak Palestina yang ditahan di penjara Israel, mengaku diperlakukan dengan kasar dan tidak diberikan hak untuk menelepon orang tuanya. Pengakuan mereka, menjadi bukti jika Israel adalah satu-satunya negara di dunia yang menerapkan hukum militer terhadap anak-anak.
Bulan lalu, ada petisi yang diajukan oleh pembela Hak Asasi Manusia (HAM), yang menuntut agar anak-anak yang ditahan diberi kesempatan menelepon orang tua mereka.
Namun, Mahkamah Agung Israel, menolak menyidangkan hal tersebut, dan membuat anak-anak ditahan, hingga mendapat perlakuan buruk.
Ditahan di Penjara Israel, Begini Kesaksian Anak-anak Palestina
Seperti kesaksian dari tiga orang anak yang pernah berada di dalam tahanan Israel, berikut:
Malak Al-Ghalith ditahan ketika berumur 14 tahun. Ia dibawa ke kamp militer di Jerusalem, dan di-interogasi di sana. Kemudian, disuruh menandatangani dokumen yang ditulis dalam bahasa Ibrani, yang tak ia pahami.
Anak perempuan ini dituduh membawa pisau dan melakukan serangan terhadap serdadu Israel. Malak baru mengetahui tuduhan tersebut di pengadilan, berdasarkan dokumen yang ia tanda tangani tadi.
Baru berdasarkan video rekaman interogasi, akhirnya diketahui Malak tak pernah melakukan hal yang dituduhkan kepadanya.
“Oleh karena itu, saya hanya ditahan delapan bulan,” tuturnya, seperti dilansir BBC News.
Israel menjadi satu-satunya negara di dunia yang menerapkan pengadilan militer terhadap anak-anak.
Sistem ini diterapkan terhadap anak-anak Palestina di daerah pendudukan di Tepi Barat, di mana setiap tahunnya, ada sekitar 500 anak yang menjalani proses ini.
Tercatat usia termuda yang pernah menjalani hukuman adalah 12 tahun. Anak-anak Palestina yang ditahan, harus menjalani prosedur, karena dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.
Diperlakukan Kasar
Salah satu yang juga pernah menjalani hukuman ini adalah Ahed Tamimi. Video Ahed menampar serdadu Israel, sempat viral hingga ia menjadi perbincangan.
Saat itu, Ahed masih berusia 16 tahun, dan mengaku diperlakukan kasar selama berada di dalam tahanan.
“Saya didudukkan di kursi di sudut ruangan, kaki dan tangan saya diborgol,” ungkapnya.
Menurut Konvensi PBB, mengenai Perlidungan Anak, jika seorang anak mengalami penahanan, ia tidak boleh diborgol, dan harus segera diberi akses kepada pengacara.
Sedangkan Ahed, menjalani penahanan selama 8 bulan, dan menghadapi masa-masa paling sulit, yakni saat di-interograsi.
“Masa interograsi berjalan selama 16 hari, dan selama itu pula saya di-interograsi empat kali,” sambungnya.
[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Israel Serang Masjid Al-Aqsa saat Idul Adha
[/su_box]
Namun, yang paling kontroversial adalah Administration Detention (AD).
Menurut ketentuan di sini, militer Israel boleh menahan seseorang tanpa tuduhan yang jelas, tanpa proses pengadilan berdasarkan “bukti rahasia” yang tak ditunjukkan kepada tahanan maupun pengacara mereka.
Menurut Israel, tahanan dalam kategori ini merupakan ancaman terhadap keamanan nasional, sehingga kasus mereka bisa digolongkan rahasia.
Diberikan Tempat Tak Layak
Seorang anak yang ditahan karena dianggap berbahaya, Husam Abu Khalifa, berusia 16 tahun ketika ditahan, dan berada dalam tahanan selama 14 bulan.
Selama ditahan, ia mengaku berada dalam sel isolasi, harus tidur di atas selimut yang basah, yang digeletakkan di atas tanah, yang mana sebenarnya itu adalah kamar mandi.
“Tak ada yang tahan di sana, karena selnya sangat jorok,” ujar Husam.
Sementara militer Israel, menyatakan bahwa Husam ditahan berdasarkan informasi, yang memperlihatkan niatan untuk melakukan serangan teror dan dukungan terhadap kelompok ISIS.
Sedangkan Husam sendiri, yang kehilangan fokus di dalam tahanan, dan tak ingat apakah ia ditawari pengacara saat berada di sana, megaku tak melakukan apa-apa terhadap militer Israel.
Kelompok HAM, menyatakan penahanan dan pengadilan terhadap anak-anak ini terjadi secara terus-menerus.
Saher Francis, dari Addamer, adalah kelompok yang mengadvokasi tahanan Palestina di Tepi Barat. Menyatakan bahwa hal itu merupakan “bagian dari sistem”.
“Bayangkan bagaimana militer merazia rumah di tengah malam, lalu menahan anak berumur 14 tahun. Pengaruhnya tak hanya terhadap si anak, tetapi juga seluruh keluarga,” jelas Saher.
“Saya tak akan percaya jika ini dibilang terkait masalah keamanan. Ini soal tindakan mengendalikan dan memelihara penindasan terhadap seluruh masyarakat, khususnya anak-anak. Pada akhirnya ini akan mempengaruhi seluruh generasi,” imbuhnya.
Bantahan Atas Pengakuan Anak-anak Palestina yang Pernah Ditahan di Penjara Israel
Namun, pihak Israel tetap membantah semua pengakuan itu.
Jaksa militer Israel di Tepi Barat, Maurice Hirsch menyatakan pengakuan-pengakuan itu tidak benar. Menurutnya, pengadilan khusus untuk Palestina itu dimandatkan oleh Konvensi Jenewa Keempat, terutama pasal 66.
Maurice yang menulis dakwaan terhadap ratusan anak-anak menyatakan, pengakuan mereka tidak berdasar, karena dokumen pengakuan anak-anak itu ditulis dalam bahasa Arab, dan itu yang jadi dasar penuntutan.
“Lagi pula ada rekaman audio dan video untuk pengakuan tersebut,” kata Maurice.
Namun, ketika BBC menanyakan kasus Malak Al-Ghalith yang mengaku dipaksa menandatangani dokumen berbahasa Ibrani serta akhirnya bebas setelah bukti video memperlihatkan ia tak bersalah, pihak militer Israel justru menolak berkomentar.
Menurut Konvensi PBB untuk Perlindungan Anak, anak-anak hanya boleh ditahan sebagai sebuah langkah terakhir.
Kalaupun ditahan, mereka tidak boleh diborgol dan harus segera didampingi oleh pengacara serta penerjemah. Mereka juga harus diperlakukan dengan hormat.
Dan Israel, menjadi salah satu penandatangan konvensi tersebut.