Ngelmu.co – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, pada Sabtu (5/6) lalu, berdialog soal perkembangan situasi aktual–bidang terkait–bersama sejumlah akademisi di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Pada kesempatan tersebut, ia mengaku sebagai pihak yang sejak dahulu, mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bahkan ketika masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian mengutip kanal YouTube UGM, Senin (7/6).
Pernyataan Mahfud itu merupakan jawaban dari pertanyaan perwakilan Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Gerry Katon Mahendra.
Gerry yang menilai wajah hukum saat ini telah kehilangan sukmanya, bertanya soal upaya pemerintah menghadapi berbagai masalah [baik yang telah dilakukan, pun yang akan dijalankan ke depannya].
“Di saat hukum yang sudah kehilangan sukmanya, di saat KPK yang dianggap dilemahkan, setidaknya ini persepsi dari publik,” tuturnya.
Tak dipungkiri, berbagai pihak memang memandang revisi UU KPK sebagai upaya pelemahan KPK.
Teranyar, TWK [tes wawasan kebangsaan] dalam rangka alih status pegawai lembaga antirasuah Indonesia, menjadi ASN [Aparatus Sipil Negara], juga menjadi hal yang kontroversial.
Menyoroti para pegawai KPK yang dianggap tidak layak, membuat Gerry, semakin mempertanyakan hal ini kepada Mahfud.
Sebab, selama ini, mereka yang tidak lolos TWK, justru dikenal sebagai sosok yang memiliki semangat juang.
Berbagai prestasi juga berhasil mereka genggam dalam upaya mengungkap kasus korupsi yang ada di Indonesia. Terutama kasus-kasus besar.
Maka itu, Gerry yang masih percaya, pemerintah tidak mungkin berdiam menghadapi hal ini, bertanya.
Mendapati pertanyaan tersebut, Mahfud pun menegaskan, “Saya, sejak dulu pro KPK, sejak dulu.”
“Saya Ketua MK berapa kali? Duabelas kali itu [KPK] mau dirobohkan lewat Undang-undang, saya menangkan KPK terus,” imbuhnya dalam diskusi tersebut.
Namun, Mahfud, kini tak dapat berbuat banyak, “Karena keputusan tentang KPK itu tidak terletak di pemerintah saja.”
“Ada di DPR, ada di partai, ada di civil society [masyarakat sipil] yang pecah juga. Civil society-nya ‘kan pecah,” jelasnya lagi.
Baca Juga: Kapitra ‘Terpeleset’, Sebut Jokowi Bagian dari Pemberantas KPK
Mahfud juga mengibaratkan, mengapa pegawai KPK yang berprestasi justru ‘terbuang’ karena TWK.
“Kata bapak, itu, 12 orang itu [pegawai KPK] orang baik-baik, ya, kata bapak dan kata saya, tapi kata yang lain? Tidak,” ujarnya.
“Ukurannya siapa yang mau dianggap benar?” sambung Mahfud.
Ia kembali menegaskan sikapnya yang pro KPK, dengan menceritakan kedekatannya dengan Novel Baswedan.
Saat menjabat sebagai Ketua MK, Mahfud, pernah memenuhi panggilan Novel, untuk menjalani pemeriksaan terkait salah satu kasus korupsi.
“Saya dengan Novel Baswedan, baik. Waktu saya Ketua MK, saya datang ke dia, ketika katanya ada kasus korupsi,” kenangnya.
“Saya datang periksa, saya diperiksa hanya tidak lebih dari 15 menit,” lanjut Mahfud.
“Novel Baswedan [bilang], ‘Pak, kalau pemimpin negara seperti bapak semua, beres negara ini’, dia bilang begitu,” imbuhnya lagi.
“Saya bilang, ‘Kalau saya jadi presiden, Anda Jaksa Agung’, saya bilang begitu,” beber Mahfud.
Meski meminta KPK untuk menghormati proses hukum, ia kembali menyampaikan dukungannya terhadap lembaga antirasuah ini.
Salah satu tujuannya datang ke UGM juga untuk mencari masukan dari para akademisi, terkait langkah terbaik bagi KPK ke depannya.
“Kalau kita mau demokrasi, ya, seperti itu,” kata Mahfud.
“Demokrasi yang sekarang itu, elitenya oligarkis, bawahnya liar, elitenya oligarkis, rakyatnya liar,” sambungnya.
“Tidak ada yang al-Madinah al-Fadhilah, negara yang sempurna, tidak bisa,” tegas Mahfud.