Ngelmu.co – Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menolak hadir ketika Panitia Kerja Rancangan Undang-undang (Panja RUU) Omnibus Law Cipta Kerja, di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, menggelar rapat membahas daftar inventarisasi masalah (DIM), Rabu (22/7) lalu.
“Ya [benar], tapi PKS tidak mau hadir, karena masa reses,” kata Anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf.
Rapat di masa reses itu, fokus pada Bab III, soal peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha.
Bukan hanya Bukhori, Anggota Komisi V DPR RI F-PKS, Syahrul Aidi Maazat, pun berkomentar.
Ia mengkritik langkah pemerintah dan Baleg DPR RI, karena tetap menggelar rapat pembahasan RUU Ciptaker di masa reses.
“Bahkan di masa reses, ‘dikebut’ untuk dibahas, seperti yang terjadwal pada hari ini (Rabu, 22 Juli),” kata Syahrul.
Lebih lanjut ia mengatakan, seharusnya pemerintah fokus dalam penyelesaian masalah pandemi COVID-19. Bukan membahas RUU Ciptaker.
Syahrul mengatakan, Omnibus Law, mengangkat persoalan klasik yang sering dituding sebagai penyebab lemahnya investasi masuk ke Indonesia; lamanya proses perizinan.
Bagi pemerintah hal itu disebabkan oleh banyaknya syarat yang harus dipenuhi oleh investor, sebelum mereka bisa menanamkan modal di RI.
Maka menurut Syahrul, sebagai solusinya, pemerintah menggadang-gadang RUU Ciptaker, bisa menjawab persoalan itu.
Omnibus Law juga dinilai, dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tetapi tak sedikitpun bukti diberikan, soal berapa pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan akan dicapai, jika RUU itu berhasil disahkan DPR.
“Selain itu, draf RUU dan Naskah Akademik (NA), pun terkesan dipaksakan untuk segera masuk dan dibahas,” kata Syahrul.
“Banyak sekali inkonsistensi dan ketidakjelasan konsep dalam draf dan NA RUU Cipta Kerja,” sambungnya, seperti dilansir Tirto.
“RUU ini akan merevisi 78 UU. Namun, argumentasi yang diberikan sangat sedikit,” lanjutnya lagi.
Ia pun mencontohkan, salah satu UU yang akan direvisi melalui RUU Cipta Kerja.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Di mana dalam RUU Ciptaker, 80 persen substansi UU No. 28 Tahun 2002 akan direvisi, di mana 60 persen di antaranya, merupakan penghapusan materi muatan UU.
Alasan yang paling banyak disampaikan terkait revisi UU No. 28 Tahun 2002, sambung Syahrul, adalah banyaknya tumpang tindih aturan.
Namun, ia menilai, pemerintah tidak bisa membuktikan satu ayat pun dari UU No. 28 Tahun 2002, yang tumpang tindih dengan UU lainnya.
“Selain itu, pemerintah tidak memberikan argumentasi yang cukup dalam Naskah Akademik, karena hanya menyediakan penjelasan sebanyak 1,5 halaman,” beber Syahrul.
“Padahal dapat dibayangkan, sebuah UU yang separuh isinya dihapuskan, sudah pasti kehilangan ruh pengaturannya,” imbuhnya.
Meskipun pemerintah menjanjikan, bahwa aturan yang dihapus akan dipindahkan ke dalam PP, lanjut Syahrul, akibat pelemahan ini justru bisa berakibat pada ketidakpastian berusaha, bagi pengusaha.
Sebab, aturan-aturan itu bisa diubah kapan saja; tidak memiliki kekuatan seperti dalam UU.
“Kami meminta, pemerintah menghadirkan argumentasi yang memadai terkait indikasi adanya tumpang tindihnya peraturan dalam UU No. 28 tahun 2002 ini dengan UU lainnya,” tegas Syahrul.
“Yang menyebabkan UU ini harus direvisi melalui kajian empiris, dan bukan melalui hipotesa yang subjektif, tanpa data yang valid,” pungkasnya.
Baca Juga: Kepung Gedung DPR, Massa Tuntut Pembatalan RUU HIP dan Omnibus Law
Kenyataan ini berbeda dengan pernyataan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, kepada perwakilan demonstran yang menolak Omnibus Law RUU Ciptaker, Kamis (16/7) lalu.
“Enggak boleh, enggak boleh. Kami harus ke dapil. Menurut tatib [tata tertib], kami nanti, ya susahlah kalau kami rapat, kalau enggak ke dapil.”
Demikian jawabnya, ketika ditanya, “Apakah akan ada rapat, sidang, di masa reses?”
Perwakilan demonstran menanyakan itu, karena pada masa reses sebelumnya, DPR, menggelar rapat.
“Karena untuk situasi tertentu itu boleh [rapat saat reses],” kata Dasco.
“Berarti dimungkinkan, Pak?” tanya perwakilan demonstran lagi.
“Oh enggak, jadi kami ngomong enggak ada pembahasan,” tegas Dasco.
“Omnibus Law maksudnya. Apakah akan ada pembahasan Omnibus Law, persidangan pembahasan Omnibus Law saat reses?” perwakilan demonstran kembali memastikan.
“Enggak ada sidang-sidang,” jawab Dasco.
Namun, fakta di lapangan? Jaminan itu hanya berlaku sepekan.
Pada Kamis (23/7) lalu, di tengah masa reses, Baleg DPR RI, tetap menggelar rapat, membahas daftar inventaris masalah dari Bab III Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha RUU Ciptaker.
Hal itu, jelas menyulut kekecewaan dari buruh yang hadir dalam audiensi pekan lalu.
Ketua Konfederasi Aksi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, bahkan menyebut hal itu sebagai bukti, pemerintah dan DPR, tak pernah menangkap aspirasi rakyat.
“Kalau masyarakat marah, rakyat marah, itu karena memang wakil rakyat tidak pernah melihat dan mendengar apa yang jadi suara suara kritis rakyat,” kritik Nining, Kamis (23/7).