Ngelmu.co – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), telah mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan menjadi Undang-undang (UU), meski Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat (PD), dokter, dan tenaga kesehatan (nakes), menolak.
Dokter dan nakes terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
Mereka menolak RUU Kesehatan disahkan menjadi UU, hingga menggelar aksi ‘Selamatkan Kesehatan Rakyat Indonesia’.
Sebelumnya, mereka yang menggelar aksi di depan gedung DPR-MPR pada Senin (5/6/2023), menyampaikan enam poin alasan penolakan terhadap RUU Kesehatan.
Pertama, mereka menilai RUU Kesehatan, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait organisasi keprofesian; baik kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan, kebidanan, dan apoteker.
Sebab, menurut mereka, dalam RUU ini, sembilan undang-undang yang terkait keprofesian dan kesehatan, dihilangkan.
Penghapusan undang-undang yang secara khusus [lex specialis] mengatur tentang keprofesian itu akan berdampak pada kepastian hukum profesi.
Mereka menganggap, RUU itu belum bisa menjamin perlindungan dan kepastian hukum tenaga medis atau kesehatan.
Kedua, organisasi profesi (OP) menganggap, RUU ‘Sapu Jagat’ itu telah menghapuskan anggaran pembiayaan nakes yang sebelumnya sebesar 10 persen tertuang dalam APBN dan APBD.
Ketiga, OP mengatakan, pasal terkait aborsi dalam RUU Kesehatan dapat berpotensi meningkatkan angka kematian.
Sebelumnya, pasal aborsi mengatur maksimal delapan pekan. Namun, dalam RUU ini aborsi diperbolehkan hingga 14 pekan.
Keempat, OP juga menilai pembahasan RUU Kesehatan terkesan terburu-buru alias dikebut untuk disahkan.
Kelima, mereka menyebut dalam penyusunan hingga pembahasan, lima OP sebagai pemangku kepentingan tidak dilibatkan. Bahkan, menurut mereka, cenderung tidak didengar.
Keenam, OP juga menyoroti Pasal 235 RUU Kesehatan yang disebut memperbolehkan dokter asing untuk berkarya di rumah sakit Indonesia.
OP menilai, ‘impor’ tenaga kesehatan asing dapat berisiko terhadap pelayanan kesehatan masyarakat.
PKS dan PD Menolak
Fraksi PKS dan Fraksi PD, menolak pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU.
Anggota Komisi IX DPR Fraksi PKS Netty Prasetiyani, menyampaikan, RUU Kesehatan, berpotensi menghilangkan lapangan kerja bagi tenaga medis dan kesehatan WNI.
Sebab, RUU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law, mengatur pemanfaatan tenaga kesehatan dan tenaga medis WNA.
“Hilangnya kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia, baik itu karena masuknya tenaga kerja asing ataupun karena hilangnya aturan yang memperbolehkan sebuah pekerjaan, tentu tidak dapat diterima.”
Perlu ada perlindungan terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan secara hukum; baik untuk keselamatan, kesehatan, keamanan, dan termasuk harkat serta martabat tenaga medis dalam negeri.
Pelindungan ini sangat dibutuhkan, agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Perlindungan dibutuhkan untuk mencegah terjadinya perundungan terhadap mereka.
“[Mengusulkan] penambahan klausul ‘mendapatkan gaji atau upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja yang layak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’ pada Pasal 273, bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan.”
“Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang telah berjuang demi kesehatan masyarakat Indonesia,” jelas Netty.
Baca juga:
Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf Macan Effendi juga menjelaskan, tiga alasan pihaknya menolak RUU Kesehatan disahkan menjadi UU.
Salah satu alasan penolakan adalah keputusan pemerintah yang menghapuskan pengeluaran wajib [mandatory spending] untuk sektor kesehatan; sebesar lima persen dari APBN.
“Hal tersebut makin menunjukkan kurangnya komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata di seluruh negeri, dan berkeadilan di seluruh lapisan masyarakat.”
PD ingin agar mandatory spending, seharusnya ditingkatkan, bukan malah dihapuskan.
Sebab, besarnya anggaran untuk sektor kesehatan, bertujuan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
“Mandatory spending kesehatan masih sangat diperlukan, dalam rangka menjamin terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat, dan dalam rangka mencapai tingkat indeks pembangunan manusia,” jelas Dede.
DPR Tetap Mengesahkan
Meski dokter, nakes, PKS, dan PD menolak, DPR tetap mengesahkan RUU tentang Kesehatan menjadi undang-undang.
Pengesahan RUU Kesehatan dilakukan dalam Rapat Paripurna (Rapur) DPR RI Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023, Selasa (11/7/2023).
Pada siang ini rapat digelar di ruang rapat paripurna, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Rapat dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani, serta dihadiri oleh Wakil Ketua DPR Lodewijk F Paulus dan Rachmat Gobel.
Dalam rapat tersebut, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, dan sejumlah menteri juga turut hadir.
Mulanya, pimpinan Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena, menyampaikan laporan hasil pembicaraan tingkat I atas RUU Kesehatan.
Dalam laporannya, Melkiades menyebut tujuh fraksi menyatakan setuju dengan RUU Kesehatan.
NasDem memberikan catatan, sedangkan dua fraksi lain, yakni PKS dan Demokrat, menolak.
Setelahnya, Puan membacakan ulang soal komposisi fraksi yang setuju dan tidak setuju dengan RUU Kesehatan.
Puan mempersilakan Fraksi PKS dan Demokrat untuk menyampaikan pendapatnya.
Setelah itu, selaku pimpinan rapat paripurna, Puan menanyakan persetujuan terhadap pengesahan RUU tersebut.
Anggota dewan yang hadir pun menyatakan setuju.
“Apakah Rancangan Undang-Undang Kesehatan dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” tanya Puan selaku pimpinan rapat paripurna kepada peserta sidang.
“Setuju,” jawab peserta.