Ngelmu.co – Duduknya Indonesia pada peringkat ketiga negara paling korup di Asia, membuat Peneliti Political and Public Policy Studies, Jerry Massie, mengkritik ‘lemahnya’ hukum di Indonesia.
“Bagaimana mungkin jika UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Nomor 31 Tahun 1999 dan Nomor 20 Tahun 2001, terus dipreteli?,” tuturnya, mengutip Merdeka, Senin (30/11).
“Hukuman juga kerap diringankan. Kebijakan ajaib [seperti] program asimilasi dan pengurangan hukuman atau remisi,” sambung Jerry.
Maka itu, ia, menyarankan agar pemerintah pun penegak hukum, dapat menerapkan sistem perampasan kekayaan kepada para koruptor [memiskinkan].
“Baru koruptor akan jera,” tegas Jerry.
“Selama hukuman masih ringan, dan kebijakan lemah serta berubah-ubah, maka jangan mimpi indeks persepsi korupsi (IPK) kita akan baik,” sambungnya.
“Sejauh ini, sudah 300 kepala daerah tersangka korupsi, dan terakhir Wali Kota Cimahi yang ditangkap KPK,” imbuhnya lagi.
Baca Juga: Edhy Prabowo, “Korupsi adalah Musuh Utama yang Harus Kita Perangi“
Lebih lanjut, Jerry, juga menanyakan Mahkamah Konstitusi (MK), yang akhirnya membolehkan mantan koruptor ikut pemilihan kepala daerah.
Padahal, di sejumlah negara dunia, jelas melarang para koruptor kembali menjadi pejabat.
“Harusnya MK menolak. UU Parpol Nomor 2 Tahun 2008 dan Nomor 2 Tahun 2011, perlu juga direvisi,” kata Jerry.
“Para koruptor tidak bisa dicalonkan, mulai kepala daerah, sampai presiden,” lanjutnya.
“Saya heran, di tengah pandemi, masih sempat-sempatnya korupsi,” sambungnya lagi.
“Untuk itu, perekrutan kepala daerah, jangan mantan napi koruptor. Maling sangat sulit bertobat. Pembunuh lebih cepat bertobat,” pungkas Jerry.
Kabar Indonesia, ada di posisi ketiga negara paling korup se-Asia, muncul dari lembaga pemantau indeks korupsi global, yakni Transparency International.
Pihaknya merilis laporan bertajuk, ‘Global Corruption Barometer-Asia’.
India, pada laporan tersebut menempati posisi pertama, dan Kamboja menyusul di peringkat kedua.
Laporan Transparency International
Sebelum menerbitkan laporan, Transparency International, telah menggelar survei terhadap 20.000 responden, di 17 negara se-Asia.
Berlangsung sejak Juni, hingga September 2020. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana persepsi serta pengalaman responden terhadap kasus korupsi, dalam 12 bulan terakhir.
Ada enam kategori pelayanan publik, termasuk kepolisian, pengadilan, rumah sakit umum, pengurusan dokumen, dan kelengkapan lainnya.
“Hampir 50 persen dari mereka yang menyuap, melakukan itu karena diminta. Sementara 32 persen responden, mengatakan mereka tidak akan dilayani urusannya, jika tidak punya koneksi personal.”
Demikian tercantum dalam laporan tersebut, Rabu, 25 November 2020, yang juga melampirkan tingkat penyuapan:
- India, mencapai 39 persen;
- Kamboja, 37 persen; dan
- Indonesia, 30 persen.
Mengutip laporan Transparency International, tiga perempat responden di Asia, meyakini korupsi di pemerintahan merupakan masalah besar.
Satu dari lima orang (19 persen), mengaku membayar uang suap demi mengakses layanan publik. Mereka membandingkan dengan tahun sebelumnya.
Artinya, sekitar 836 juta orang, terlibat praktik kotor tersebut.
Sementara satu dari lima orang responden (22 persen) di Asia, mengaku harus mempunyai koneksi personal untuk bisa mengakses layanan publik.
India, menjadi negara dengan warga memakai koneksi personal terbanyak untuk mendapat layanan publik, yakni 46 persen.
Indonesia menyusul di angka 36 persen, dan Cina dengan 32 persen.
Sementara Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia, tahun 2019, juga naik dua poin yakni menjadi 40, dari sebelumnya posisi 38, di tahun 2018.
Menurut Transparency International, terbanyak adalah pemilik skor 0 [sangat korup], sementara 100 merupakan yang sangat bersih.