Ngelmu.co – Ekonom senior Indef [Institute for Development of Economics and Finance] Didik J Rachbini, menyoroti utang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang jumlahnya terus membesar.
Bahkan, ia memprediksi, di akhir periode nanti, Indonesia akan kewarisan utang dari pemerintah dan BUMN, sebesar Rp10.000 triliun.
Sebab, kata Didik, jumlah utang pemerintah saat ini [jika ditambah dengan utang BUMN] sekitar Rp8.500 triliun.
“Ini belum selesai pemerintahannya, kalau sudah selesai, diperkirakan menjadi Rp10 ribu triliun utang di APBN.”
Demikian tuturnya, dalam diskusi daring bertajuk, ‘Kinerja BUMN dan Tumpukan Utang‘, Rabu (24/3), mengutip kanal YouTube Indef.
Membesarnya utang pemerintah dan BUMN di era Presiden Jokowi ini, menurut Didik, perlu dicermati.
Khususnya oleh DPR, sebagai lembaga yang memang mengantongi hak berkaitan dengan penganggaran.
“Kenapa DPR tidak berkutik? DPR, seakan sudah lemah seperti pada masa Orde Baru,” kritik Didik.
Lebih lanjut ia mengulas, jika di masa lalu, untuk menaikkan defisit APBN [Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara] saja, perlu melewati debat panjang.
Pasalnya, pelebaran defisit jelas akan berimbas kepada besarnya utang.
Saat ini, jelas Didik, defisit anggaran telah dipatok lebih dari 5 persen.
“Untuk bunga saja, kita bayar sudah cukup besar setiap tahunnya.”
Didik pun membandingkan, utang pemerintah di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan era Presiden Jokowi.
Pemerintahan SBY, mewariskan utang sebesar Rp2.700 triliun, dan BUMN pada masa itu berutang Rp500 triliun.
Sementara pemerintahan Jokowi, berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, mengantarkan Indonesia pada posisi utang yang mencapai Rp6.361 triliun, per akhir Februari 2021.
Angka tersebut meningkat Rp128 triliun, karena di periode Januari 2021, tercatat Rp6.233 triliun.
Total utang pemerintah dan BUMN yang sebesar Rp8.500 triliun juga belum memasukkan komponen swasta yang prediksinya tak kalah besar.
“Jadi, ini rezim utang yang kuat sekarang. Saya sebutnya, penguasa raja utang,” kata Didik.
Baca Juga: Sri Mulyani Ngaku Harus Hapus SMS Tawaran Utang Tiap Hari…
Di samping utang untuk menambal defisit APBN, lanjutnya, utang BUMN juga masuk kategori utang publik.
Sebab, risiko dari utang tersebut dapat berdampak kepada anggaran publik.
“Termasuk utang BUMN perbankan, yakni deposito masyarakat yang ditempatkan di bank BUMN,” ujarnya.
“[Itu] Adalah risiko anggaran negara, sebagaimana [yang] terjadi pada waktu krisis 1998,” sambung Didik.
“Jadi, apabila utang pemerintah ditambah dengan utang BUMN, Jokowi, meninggalkan utang sekitar Rp8.000 triliun, dan akan bertambah lagi,” imbuhnya lagi.
Didik juga menyoroti, kenaikan utang BUMN yang tidak sebanding dengan setoran mereka pada negara.
Indef pun menghimpun data Kementerian Keuangan, dan tercatat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas laba BUMN 10 terbesar.
Di mana mayoritasnya berasal dari PT BRI (Persero) Tbk, dan diperkirakan sebesar Rp11,8 triliun, pada 2020 lalu. Lalu:
- Rp9,9 triliun dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk,
- Rp8,5 triliun dari PT Pertamina (Persero),
- Rp8 triliun dari PT Telkom (Persero) Tbk, dan
- Rp2,3 triliun dari PT BNI (Persero) Tbk.
Di luar daftar tersebut, setoran BUMN kepada negara di bawah Rp1 triliun, atau hanya miliaran rupiah.
Sejumlah BUMN, lanjut Didik, juga masih mendapatkan suntikan dana dari pemerintah.
Contoh, pembiayaan investasi pada 12 BUMN yang diprediksi mencapai Rp31,5 triliun pada 2020 lalu.
Jumlah itu naik di APBN 2021, karena pemerintah menganggarkan menjadi Rp37,4 triliun.
“Sudah utang banyak, ‘menyusu’ pada APBN, setoran kepada APBN sangat kecil,” beber Didik.
“Yang paling besar [setorannya] Rp11 triliun, dari BRI. Sisanya cuma Rp100 miliar-Rp200 miliar, yang rugi banyak, jadi beban negara,” sambungnya.
“Jadi, BUMN ini menjadi kelas berat sekarang.”