Ngelmu.co – Seminggu terakhir ini, mata uang Turki, lira, terus merosot ke level terendah. Berdasarkan data perdagangan reuters, Jumat (10/8), kurs lira melemah 0,49 persen ke level 5,55 per dolar AS. Krisis keuangan menghantui Turki.
Terjun bebasnya kurs lira diduga juga mengguncang ekuitas global dan pasar negara berkembang. Imbas dari anjloknya lira membuat takut investor dan akhirnya mereka menarik dana dan mengalihkan investasinya ke yen atau obligasi pemerintah Amerika Serikat.
Terkait merosot tajamnya nilai lira, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebutkan bahwa jatuhnya mata uang Turki (lira) dipicu oleh perselisihan sengit antara Turki dengan Amerika Serikat (AS). Erdogan menyatakan bahwa merosotnya lira merupakan skenario politik AS karena nilai tukar lira jatuh usai AS mengeluarkan sanksi politik.
“Tujuan operasi itu adalah untuk membuat Turki menyerah di semua bidang, dari keuangan hingga politik,” kata Erdogan kepada para anggota partai yang berkuasa di kota Laut Hitam, Trabzon dilansir dari laman AFP News, Senin (13/8).
Setelah selama tiga minggu anjlok, lira perlahan mulai menguat. Pada Selasa (14/8) kemarin mata uang Turki ini diperdagangkan sekitar 6,48 terhadap dolar AS, naik hampir delapan persen dari penutupan hari sebelumnya.
Adapun penguatan mata uang Turki didukung oleh berita rencana konferensi jarak jauh di mana menteri keuangan berusaha meyakinkan investor yang cemas oleh pengaruh Presiden Tayyip Erdogan atas ekonomi dan perlawanannya terhadap kenaikan suku bunga untuk mengatasi inflasi dua digit.
Selain itu, Turki atas perintah Erdogan melawan Amerika dengan menyerukan rakyatnya untuk menggunakan lira dan menjual dollar yang dimiliki. Selain itu, boikot produk-produk Amerika pun diserukan.
Baca juga: Lira Anjlok, Erdogan: Kami Punya Allah
Berikut adalah tulisan yang mencoba mengungkapkan usaha Erdogan dan rakyat Turki yang berupaya keras membalas Amerika dan membuat lira menguat:
Turki adalah sebuah negara yang bercita-cita untuk masuk dalam 10 besar perekonomian paling maju di dunia pada tahun 2023. Kini Turki berada pada 20 negara besar yang memiliki penduduk muda dan dinamis. Sebagian wilayahnya berada di benua Eropa dan sebagian lagi berada di benua Asia. Mata uangnya adalah lira.
Lira, dalam sepekan terakhir terjun bebas. Selama sepekan terakhir itu pula lira mencapai rekor kurs terendah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Hingga Jumat (10/8/2018) lalu, posisi lira anjlok 15,88 persen ke level 6,4323 per dollar AS.
Sejak 1 Januari 2018 sampai dengan 13 Agustus 2018, lira telah merosot sampai dengan 81,27 persen. Penyebab melemahnya nilai tukar lira di hadapan dollar AS, antara lain adalah rendahnya tingkat suku bunga acuan yang ditetapkan dalam menghadapi tingginya angka inflasi, memburuknya hubungan dengan AS, serta kekhawatiran atas kebijakan ekonomi yang diusung Erdogan.
Jumat lalu, Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan mengganjar tarif impor barang logam berupa aluminium dan baja asal Turki sebanyak dua kali lipat. Pengumuman ini yang membuat nilai tukar mata uang lira Turki terjun terhadap dollar AS. Sebabnya, penggandaan tarif bea masuk impor barang logam asal Turki ini dikhawatirkan akan menambah tinggi inflasi serta kenaikan angka pengangguran di Turki.
“Saya baru saja mengesahkan penggandaan tarif pada baja dan aluminium asal Turki masing-masing sebesar 50 persen dan 20 persen. Sehubungan dengan nilai tukar lira Turki, akan meluncur turun dengan cepat terhadap dollar AS yang sangat kuat. Hubungan kami dengan Turki tidak baik saat ini,” tulis Trump di akun resmi twitter @realDonaldTrump pada 10 Agustus lalu.
Atas turunnya nilai tukar lira terhadap dollar AS tersebut, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan segera bertindak dengan cepat.
Ia terus-menerus berpidato mengimbau rakyatnya agar membela Turki sehingga lira bisa kembali berjaya terhadap dollar AS.
“Jika mereka (Amerika) punya dollar, kami punya rakyat kami, Tuhan kami,” kata Erdogan dalam sebuah pidato.
Mungkinkah Turki mendapat dukungan berarti dari dunia Arab? Dukungan bisa berupa politik atau nonpilitik (finansial). Itu pun dalam jumlah terbatas karena maksudnya tidak semua negara Arab mau memberikan dukungan yang sangat diperlukan Turki.
“Hubungan ekonomi Turki dengan dunia Arab sangat terbatas, juga prospek perdagangan di kawasan itu tidak terlalu menjanjikan”, papar Mustafa Ellabad, Direktur Pusat Studi Regional dan Strategis Al-Sharq di Kairo.
Qatar, merupakan sahabat atau sekutu terdekat Turki di kawasan Teluk. Turki selalu mendukung Qatar ketika secara diplomatis diisolasi oleh Arab Saudi dan sekutunya di Kawasan Teluk. Ketika itu Turki memasok barang-barang penting yang dibutuhkan Qatar. Namun, sekarang Turki tidak bisa berharap banyak karena Qatar sendiri juga masih terlibat dalam krisis diplomatik.
Akhirnya, Recep Tayyip Erdogan langsung memberi reaksi keras terhadap tekanan Amerika Serikat yang dinilai melemahkan lira. Caranya ialah dengan memboikot sejumlah barang-barang elektronik Amerika masuk Turki. Di antaranya iPhone, produk perusahaan yang berbasis di California, Apple.
“Ada serangan ekonomi ke Turki. Awalnya mereka melakukan diam-diam, kini mereka blak-blakan. Kami bisa melakukan dua kebijakan, yakni ekonomi dan politik,” ujar Erdogan, Selasa (14/8/2018).
Erdogan melanjutkan rekasinya dengan mengatakan bahwa negaranya akan memboikot barang-barang produk Amerika Serikat. Sebaliknya, Turki bisa menggunakan barang-barang produk dalam negeri.
“Kementerian kami bekerja siang dan malam. Kami akan memboikot barang elektronik dari Amerika. Mereka punya iPhone, tapi kami bisa pakai Samsung. Kami juga punya merk lokal, Venus Vestel, kami akan memakainya,” katanya lagi.
Di samping itu, Erdogan juga menyatakankan bahwa gertakan Amerika melemahkan ekonomi Turki tak akan membuatnya gentar.
“Apa yang kau lakukan (Amerika)? Apakah tujuan Anda melakukan ini? Kamu harus tahu bahwa karakter bangsa kami bukanlah bangsa yang mudah bimbang,” gertak Erdogan merujuk Amerika.
Ancaman boikot yang disampaikan Erdogan membuahkan hasil. Hasilnya adalah dengan melejitnya nilai saham Vestel. Vestel adalah perusahaa elektronik asal Turki, yang berdiri sejak tahun 1984.
Akhirnya lira kembali menguat terhadap dollar AS setelah menyentuh titik terendahnya. Pada perdagangan Senin (13/8/2018), lira ditutup di posisi 6,9 lira per dolar AS, melemah 45% sepanjang tahun ini. Lira pada perdagangan Selasa (14/8/2018) kembali menguat 0,39 poin atau 6,10% menjadi 6,48 lira per dolar AS.
Pulihnya lira tersebut akibat terdorong oleh sejumlah langkah likuiditas dari bank sentralnya, yaitu mengeluarkan kebijakan moneter untuk mengurangi tekanan terhadap mata uang tersebut, dan adanya rencana panggilan konferensi yang diadakan oleh Kementerian Keuangan Turki untuk meyakinkan investor.
Itulah perang ekonomi yang dilancarkan oleh Presiden Donald Trump terhadap Turki berbalik menjadi bumerang bagi AS. Hal itu terjadi lantaran rakyat Turki mendukung Erdogan. Bisakah rakyat Indonesia meniru rakyat Turki?
Penulis: Sulis Sutrisna
August 15, 2018 2:41 pm