Ngelmu.co – Selama bulan November 2018, rupiah terus menunjukkan kekuatannya. Namun, menurut Ekonom Senior INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Faisal Basri, penguatan rupiah tersebut bukan karena upaya pemerintah dalam memperbaiki perekonomian Indonesia, namun karena utang yang terus ditimbun.
“Kelihatan utang pemerintah itu naik. Utangnya lebih banyak sehingga ikut membantu nilai tukar rupiah. Jadi rupiah membaik bukan karena darah keringat kita [pemerintah Indonesia], tapi utang,” kata Faisal sewaktu memberi pemaparan dalam seminar nasional INDEF, di Hotel Bidakara, Rabu (28/11/2018), dikutip dari CNBCIndonesia.
Faisal menjelaskan bahwa utang tercipta dari aliran modal atau investor asing yang masuk melalui surat berharga negara. Faisal mengatakan bahwa pemerintah “mengobral” suku bunga, sehingga investor banyak yang masuk ke Indonesia.
Baca juga: Jika Rupiah Tembus 16 Ribu per Dolar AS, Bank Bangkrut?
Faisal mengakui bahwa banyaknya modal asing yang masuk, bisa menguatkan nilai mata uang suatu negara, termasuk rupiah. Namun hal penting perlu diingat, hal ini hanya berlangsung dalam jangka pendek.
Faisal menyatakan rupiah merupakan pergerakan harian, fenomena moneter. Maka, dalam jangka pendek, bisa hubungan antara CAD (Current Account Deficit) dengan rupiah. CAD memburuk, rupiah bisa membaik, karena pemerintah utangnya sangat banyak.
“Pemerintah obral suku bunga tinggi, biar uang datang. Jadi menguatnya rupiah karena uang datang, [modal] asing datang atau tidak itu dipengaruhi oleh berapa hasil investasi yang dia [investor] dapatkan di suatu negara. Kalau pemerintah naikkan suku bunga, ya modal otomatis datang, bukan karena percaya sama Indonesia,” jelas Faisal.
Oleh karena itu jika ingin rupiah stabil, Faisal menegaskan, pemerintah harus memperbaiki defisit transaksi berjalan atau CAD, secara struktural. Sebab, jika tidak, maka rupiah masih bisa kembali melemah.