Ngelmu.co – November 2019, Negara Gambia mengajukan gugatan terhadap Myanmar di Mahkamah Internasional atau ICJ (International Court of Justice) di Den Haag, Belanda. Seolah ingin mewakili dunia muslim, Gambia menuduh Myanmar melakukan genosida terhadap etnis Muslim Rohingya di Rakhine.
Gugatan Gambia sudah meresahkan Aung San Suu Kyi yang akhirnya memutuskan akan datang sendiri ke Den Haag, menghadapi pengadilan.
Gambia dan Myanmar termasuk negara anggota ICJ dan sama-sama penanda tangan Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida 1948. Karena sama-sama anggota konvensi tersebut itulah, Gambia bisa menggugat Myanmar atas tuduhan pelanggaran peraturan anti-genosida.
Pada gugatan setebal 46 halaman ke ICJ, Gambia menyebut Myanmar telah melakukan pembunuhan massal, perkosaan, dan penghancuran komunitas Rohingya di Rakhine. Yang tak kalah menarik, ternyata Ini adalah kali pertama ICJ akan menyidangkan tuduhan genosida terhadap negara anggotanya.
Banyak kalangan mempertanyakan; mengapakah Gambia, negara terkecil di Afrika, yang luasnya tidak lebih dari provinsi Jawa Barat, penduduknya hanya berjumlah 2 juta orang, lokasinya 12.000 kilometer dari Myanmar, yang justru gigih menggugat Myanmar?
Washington Post melansir, bahwa salah satu alasannya adalah karena Gambia memperoleh dukungan dari negara-negara Organisasi Kerja Islam (OKI). Gambia mendapatkan dukungan moral dan finansial dari 57 negara OKI untuk gugatan tersebut.
Selain karena dukungan internasional itu, Gambia juga mengaku sebagai negara yang menjunjung hak asasi manusia. Wakil Presiden Gambia, Isatou Touray, mengatakan negaranya mungkin kecil, tapi tidak kerdil dalam hal memerangi pelanggaran HAM.
“Gambia adalah negara kecil dengan suara yang besar untuk urusan hak asasi manusia di benua Afrika dan seluruh dunia,” ungkap
Touray dalam surat gugatan ke ICJ seperti dilansir kumparan.com.
Adapun ujung tombak dari gugatan itu adalah Abubacarr Marie Tambadou. Menteri Kehakiman sekaligus Jaksa Agung Gambia ini lah yang mendorong OKI untuk membantu mereka menggugat Myanmar.
Tambadou adalah pengacara berpengalaman dalam pengadilan kasus genosida. Sebelumnya ia menjadi asisten khusus jaksa untuk pengadilan pidana internasional pada kasus genosida Rwanda yang menewaskan 800 ribu orang pada 1994.
“Memalukan bagi generasi kita bahwa kita tidak bisa melakukan apa-apa ketika genosida terjadi di depan mata kita sendiri,” ucap dia.