Ngelmu.co – Langkah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam menyikapi peristiwa di Desa Wadas, Bener, Purworejo, menjadi sorotan.
Bagaimana tidak, berbagai pihak menilai posisi Ganjar; pascakejadian, masih condong memihak pemerintah pusat daripada rakyat.
Wajar pula jika nama Ganjar, menjadi sosok yang paling banyak disinggung di tengah insiden di Desa Wadas.
Setidaknya demikian berdasarkan data Drone Emprit and Media Kernels Indonesia.
Nama Ganjar menjadi yang paling banyak disebut di media sosial Twitter, di tengah tagar #WadasMelawan.
Bahkan kedatangan Ganjar ke Desa Wadas untuk berdialog dan meminta maaf kepada warga, tidak banyak mengubah keadaan.
Lagi-lagi karena sikap Ganjar, dianggap masih lebih pro terhadap pembangunan yang digagas oleh pemerintah pusat.
Proyek tambang andesit sebagai penunjang pembangunan Bendungan Bener, memang masih berlanjut di sana.
Tiket Capres 2024
Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo pun berkomentar.
Ia menganggap wajar jika sikap Ganjar, masih condong kepada pemerintah pusat.
Menurutnya, Ganjar bisa mendekati Joko Widodo (Jokowi) atau elite PDIP lain yang berkepentingan di balik proyek Bendungan Bener.
Tujuannya? Demi mendapatkan tiket sebagai calon presiden (capres) di 2024 mendatang.
“Langkah ini strategis, karena Ganjar belum dapat tiket. Jadi, mau tidak mau, harus mendekati elite PDIP dan Jokowi yang punya kepentingan terhadap proyek ini.”
Demikian tutur Kunto pada Kamis (10/2/2022) kemarin, seperti Ngelmu kutip dari CNN Indonesia.
“Jadi, ketika ia memosisikan jadi bumper, buka peluang ia dicalonkan atau dijagokan Jokowi ketika jadi king maker 2024,” sambungnya.
Ganjar, kata Kunto, tidak mungkin mengambil posisi frontal bertentangan dengan pemerintah pusat, selaku pemilik proyek Bendungan Bener.
Sebab, jika Ganjar berdiri di barisan warga Desa Wadas demi meningkatkan popularitas serta elektabilitas, menurut Kunto, akan percuma.
Jika akhirnya Ganjar, tetap tidak mendapatkan tiket Pilpres 2024 dari PDIP.
Isu HAM
Lebih lanjut, Kunto juga memandang, bila isu lingkungan hidup hingga HAM, sulit dimanfaatkan untuk meningkatkan elektabilitas.
Sebab, hanya akan menjangkau masyarakat berpendidikan atau mereka yang punya kesadaran politik tinggi.
“Sementara masyarakat kita, kebanyakan kesadaran politik rendah, tidak tahu isu.”
“Lalu, 2024 itu ada presidential threshold, kalau popularitas dan elektabilitas besar, tapi enggak ada partai mau mencalonkan, ya, wassalam.”
“Jadi, [Ganjar] harus meniti di benang yang sangat halus,” jelas Kunto yang juga Direktur Eksekutif KedaiKOPI.
Kasus Wadas Hanya Konsumsi Elite
Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, juga menilai demikian.
Menurutnya, peristiwa yang terjadi di Desa Wadas pada Selasa (8/2/2022) lalu, hanya menjadi konsumsi elite alias kelompok tertentu saja.
Isu-isu seperti yang terjadi di Desa Wadas, kata Adi, sulit dikapitalisasi untuk meningkatkan elektabilitas seseorang sebagai capres.
Dengan kata lain, tidak menjanjikan. “Soal Wadas ini hanya konsumsi elite.”
“Kelompok tertentu yang peduli isu HAM dan lingkungan, dan mereka yang day to day terlibat persoalan politik,” sambungnya.
“Di luar itu, tidak paham,” imbuhnya lagi.
Baca Juga:
- Tangis Susi Pudjiastuti dapati Aparat Rangsek Rumah Warga Wadas
- Soal Wadas, Anwar Abbas: Sangat Kita Sesalkan, Negara Berubah Jadi Monster
Adi juga yakin, publik hanya akan melihat Ganjar di peristiwa Desa Wadas sebagai seorang kepala daerah biasa.
Menurutnya, tidak akan ada dampak elektoral signifikan dari langkah apa pun yang dilakukan Ganjar, dalam peristiwa lalu.
“Orang melihatnya, peran Ganjar di kasus Wadas adalah peran biasa kepala daerah,” kata Adi.
“Tidak ada plus minus untuk elektoral. Ganjar ‘kan terbiasa melakukan dialog dengan masyarakat secara langsung,” tutupnya.
Ragam Pengakuan Warga Wadas
Sementara terpisah, warga Wadas membantah pernyataan Ganjar, yang meminta maaf jika proses pengukuran membuat ada masyarakat yang tidak nyaman.
Salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya, bilang, tindakan pemerintah dan aparat bukan cuma membuat tidak nyaman, tetapi telah menyiksa warga Wadas.
“Ini bukan dibuat enggak nyaman, tapi disiksa, warga Wadas [disiksa],” ujarnya pada Rabu (9/2/2022) lalu, seperti mengutip CNN Indonesia.
Warga Wadas, sambungnya, tidak dapat memaafkan dengan mudah perilaku pemerintah juga aparat, yang telah mengepung sekaligus mengintimidasi mereka.
Apalagi kedatangan sekitar 1.000-an aparat ke Desa Wadas juga membuat mereka ketakutan.
“Tetap, warga tidak bisa menerima dengan semudah itu, karena warga disiksa di sini, kemarin [re: Selasa, 8 Februari 2022] sehari, dan intimidasi banget,” protesnya lagi.
Menurutnya, warga Wadas makin tidak bisa menerima perlakuan aparat, lantaran mengepung mereka yang tengah beribadah di masjid; termasuk menangkap 64 orang di antaranya.
Sampai-sampai mengakibatkan warga Wadas, tidak berani keluar rumah sekarang.
Mereka bersembunyi di dalam, dan mengunci pintu.
Begitu juga dengan anak-anak yang menjadi takut untuk berangkat sekolah.
“Itu bukan persoalan yang enteng, Ganjar Pranowo terus dengan konferensi pers minta maaf pada warga merasa dibuat enggak nyaman,” sentilnya.
Harus Tanggung Jawab
Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia juga bicara.
Ia menyatakan, perlakuan pemerintah dan aparat terhadap warga Wadas, bukan cuma membuat tidak nyaman.
Namun, sudah merupakan satu bentuk represi dan intimidasi.
Itu mengapa Julian meminta, agar Kapolda Jawa Tengah Irjen Ahmad Luthfi dan Ganjar Pranowo, bertanggung jawab; atas represi serta intimidasi tersebut.
“Tentu ini harus bertanggung jawab, Kapolda maupun Gubernur Ganjar,” tegasnya.
“Ini intimidasi dan represi yang diterima oleh warga. Mereka harus bertanggung jawab,” sambung Julian.
Ganjar Minta Maaf
Sebelumnya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta maaf atas tingkah represif aparat ke warga Wadas.
“Pertama, saya ingin menyampaikan minta maaf kepada seluruh masyarakat Purworejo, dan khususnya masyarakat di Wadas.”
“Karena kemarin mungkin ada yang merasa tidak nyaman, saya minta maaf.”
Demikian penuturan Ganjar saat konferensi pers di Mapolda Jateng, Rabu (9/2/2022).
Memang masih ada warga Wadas yang menolak penambangan batu andesit untuk PSN [proyek strategis nasional] Bendungan Bener sejak 2016; yang mencaplok lahan mereka.
Namun, penolakan mereka itu juga terus mendapat tekanan dari aparat kepolisian.
Pada Selasa (8/2/2022), misalnya. Dengan senjata lengkap, ribuan aparat kepolisian merangsek Desa Wadas.
Mereka mencopot banner penolakan Bendungan Bener, dan mengejar beberapa warga sampai ke hutan
Warga Wadas bahkan bilang, jumlah warga yang sempat ditangkap oleh aparat, mencapai 64 orang.
Beberapa di antaranya adalah anak-anak dan orang lanjut usia.
Itu mengapa berbagai elemen masyarakat sipil, seperti PBNU, Muhammadiyah hingga KontraS, mengkritik keras peristiwa di Desa Wadas.
Baju Robek di Tangan ‘Preman’
Belum lagi pengakuan Siji [nama samaran], seorang warga Desa Wadas yang mengaku sempat dikejar, diinjak, dan dipukul, sebelum digelandang ke Polsek Bener, Selasa (8/2/2022) lalu.
Saat itu, Siji mengaku tengah berada di serambi masjid sembari berselawat.
Lalu, aparat kepolisian merangsek ke Dusun Krajan, Desa Wadas.
Sementara segerombolan preman yang diduga bagian dari kepolisian, bertanya pada warga, “Kamu orang mana?”
Beberapa pun menjawab, bahwa mereka warga Wadas.
Namun, ‘preman’ tidak percaya dan meminta warga menunjukkan KTP.
Siji yang tidak membawa KTP, pergi menuju rumah untuk mengambilnya.
“Karena diikuti oleh gerombolan preman, saya merasa ketakutan dan lari menuju rumah,” akuan Siji secara tertulis, Kamis (10/2/2022) kemarin.
Apa yang terjadi? Gerombolan ‘preman’ itu malah ikut merangsek rumah Siji, dan mendobrak kamar tempatnya bersembunyi ketakutan.
Selain Siji, di rumah itu ada enam warga lain. Salah satunya wanita paruh baya.
Setelah berhasil menghancurkan pintu kamar, gerombolan ‘preman’ tadi langsung menarik, menginjak, memukul Siji, hingga pakaiannya robek.
Enam warga lain yang ada di dalam rumah, juga tidak luput dari tindakan kekerasan.
Gerombolan ‘preman’ itu menyeret keluar lima orang warga, kemudian memborgolnya.
“Tidak hanya berhenti di situ, lima orang warga kembali mendapat pukulan dari gerombolan ‘preman’ itu,” beber Siji.
Beda Kata YLBHI dan Menko Polhukam
Setelah memukuli dan memborgol warga, gerombolan ‘preman’ membawa kelimanya ke Polsek Bener.
Baru pada selepas Magrib, mereka dipindahkan ke Polsek Purworejo.
Siji bukan satu-satunya warga yang ditangkap.
Setidaknya ada 67 orang yang sempat ditahan di Polres Purworejo, dan baru dibebaskan keesokan harinya, Rabu (9/2/2022).
Di mana 60 orang merupakan warga, yang 13 di antaranya anak-anak, 5 orang solidaritas, seorang dari LBH Yogyakarta, dan juga seniman, Yayak Yatmaka.
Meski potret yang beredar demikian, Menko Polhukam Mahfud MD tetap membantah informasi pun pemberitaan terkait situasi mencekam di Wadas.
“Semua informasi dan pemberitaan yang menggambarkan seakan-akan terjadi suasana mencekam di Desa Wadas, itu sama sekali tidak terjadi sebagaimana yang digambarkan, terutama di media sosial.”
Demikian kata Mahfud dalam jumpa pers, Rabu (9/2/2022), mengutip CNN Indonesia.
Namun, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, merespons.
Ia menyebut Mahfud, berbohong atas apa yang disampaikannya ke publik.
Isnur bilang, penjelasan Mahfud, bahwa tidak ada kekerasan terhadap warga Wadas, tidak sesuai fakta-fakta di lapangan.
“Cerita Pak Mahfud ini jelas tidak berdasar, dan berbeda dengan fakta-fakta yang ada di lapangan dan kami lihat,” tegasnya.
“LBH Jogja lihat di lapangan,” beber Isnur.