Sekretaris Kabinet Pramono Anung dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa jika gempa Lombok dinaikkan statusnya menjadi bencana nasional, negara akan mengalami kerugian yang sangat besar. Pernyataan tersebut melukai hati warga Lombok dan memupuskan harapan mereka.
Dilansir dari CNNIndonesia, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan jika gempa Lombok ditetapkan menjadi bencana nasional statusnya, Indonesia akan mengalami kerugian sangat besar. Pramono Anung mengatakan jika gempa Lombok jadi bencana nasional, maka itu artinya akan menjadi travel warning bagi negara lain.
“Kalau kami menyatakan bencana nasional berarti bencana itu seluruh nasional dan menjadikan travel warning. Negara-negara bukan hanya ke Lombok tapi bisa ke Bali dampaknya luar biasa yang biasanya tidak diketahui oleh publik,” ujar Pramono, Senin (20/8).
Pramono menilai bahwa penetapan status bencana nasional benar-benar bisa berdampak sangat luas dan bisa menutup pintu wisatawan dalam bahkan luar negeri ke seluruh Pulau Lombok hingga Bali.
“Jadi supaya tidak salah karena begitu bencana nasional dampaknya luar biasa,” tutur Pramono.
Selain itu, hal senada juga disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Bahkan Luhut memberikan contoh bencana letusan Gunung Agung di Bali yang tak perlu ditetapkan statusnya menjadi bencana nasional.
“Pengalaman kami waktu di Bali, begitu dibilang bencana nasional, langsung (turun), lari. Padahal treatment-nya sama aja,” ujar Luhut.
Baca juga: Istana: Tak Tetapkan Bencana Nasional Untuk Lombok Karena Sektor Pariwisata
Pernyataan para pejabat negara tersebut pun kemudian ditanggapi oleh warga Lombok. Berikut adalah tulisannya:
Gempa Lombok Tanpa Status Bencana Nasional: Tak Aada Alasan Takut Pariwisata Rugi!
Senin, 20 Agustus 2018 kemarin menghadirkan duka baru bagi warga Lombok. Pernyataan sejumlah pejabat dan tokoh yang menutup peluang bencana Gempa Lombok dinaikkan statusnya menjadi bencana nasional, ibarat gempa baru yang dahsyatnya sampai meruntuhkan harapan.
Alasannya, pariwisata bisa terdampak serius jika status bencana ditingkatkan. Maka lengkap sudah keputusasaan, kegelisahan dan kekecewaan warga. Potensi kerugian sektor pariwisata dinilai lebih mencemaskan ketimbang penderitaan korban gempa.
Sebagai pelaku sektor pariwisata, dimana saya juga pernah menjabat Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah NTB dan anggota Tim Percepatan 10 Destinasi Pariwisata Prioritas Kemenpar RI, saya tak melihat itu sebagai sesuatu yang menggembirakan. Pernyataan itu justru menyedihkan. Sangat menyedihkan.
Pulau Lombok yang indah ini memang berkembang pesat karena kemajuan sektor pariwisatanya. Sektor ini sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah. Boleh dikata, daya beli masyarakat sangat dipengaruhi pertumbuhan komponen-komponen sektor pariwisata.
Pemerintah memang tak sepenuhnya salah. Bencana memang tak pernah pasti. Ketidakpastian dalam waktu yang panjang tak bakal menyenangkan. Apalagi bagi pelaku usaha.
Di Lombok, tentu saja itu berarti pelaku pariwisata. Travel warning, evakuasi pelancong, kamar-kamar hotel dan kursi peberbangan yang kosong, kendaraan sewa yang tak bergerak dari parkiran, adalah pemandangan horor.
Jadi harus diakui, jika kita bicara pemulihan pasca bencana terutama dalam hal perekonomian, maka sektor pariwisata harus menjadi prioritas. Tanpa aktivitas di sektor ini, jangan pernah bicara daya beli sebagai syarat berputarnya roda perekonomian daerah.
Sayangnya, saya tak melihat kekhawatiran atas terganggunya sektor pariwisata jika bencana gempa Lombok naik status menjadi bencana nasional ini sebagai hal yang pantas dan masuk akal di masa tanggap darurat ini.
Apa lagi yang dikhawatirkan? Wisatawan asing sudah dievakuasi. Wisatawan domestik takut datang. Kamar hotel dan penerbangan tak lagi banyak berisi wisatawan. Sebagian penghuni dan penumpang menuju Lombok saat ini adalah relawan atau orang-orang baik yang peduli bencana.
Maka bagi saya, argumen yang disampaikan pemerintah bahwa pariwisata akan merugi jika Lombok menyandang status kawasan bencana nasional adalah argumen yang lemah dan tak menunjukkan empati pada harapan warga.
Ketika erupsi Gunung Agung terjadi dan berdampak pada sektor pariwisata, saya sempat berfikir dan melontarkan gagasan bahwa Indonesia mestinya memiliki standar operasi prosedur (SOP) pariwisata dengan strategi baru terutama untuk “mengondisikan psikologis” para wisatawan. Memilih membatalkan kunjungan dan pulang, mestinya bisa jadi opsi terakhir ketika situasi benar-benar buruk.
Saat itu saya melakukan sebuah riset kecil, bertanya pada sejumlah wisatawan yang kebetulan sama-sama mengalami nasib “ terjebak “ di bandar udara, apakah situasi buruk tersebut menjadi alasan mereka membatalkan kunjungan? Dari jawaban-jawaban mereka, saya mengambil kesimpulan bahwa ada dua alasan utama.
Pertama, mereka merasa tidak aman bepergian di saat “ bencana alam“ terjadi di sebuah destinasi wisata. Lalu yang kedua, mereka melihat terbatas dan sulitnya mengakses informasi bencana dan destinasi alternatif yang bisa menjadi pilihan nyaman bagi mereka yang masih ingin melanjutkan perjalanan. Hal-hal ini yang kemudian menginspirasi saya kemudian bersama teman-teman dan anak-anak muda pengiat pariwisata menginisiasi sebuah gerakan kerelawanan bertajuk #temannyawisatawan.
Kekhawatiran merugi itu kemudian menurut saya juga menunjukkan pemerintah terutama perangkat di NTB ini malas dan kehilangan daya kreatif sehingga meminta pemerintah pusat peduli pada potensi kerugian itu.
Padahal menurut saya, di sektor pariwisata mestinya penanggulangan krisis bukan lagi sekadar menyiapkan skenario-skenario menghadapi sikon terjelek seperti evakuasi dan ‘travel warning’. Tapi juga bagaimana agar bisnis bisa tetap ‘rebound’ dan punya efek berganda yang positif dalam waktu yang tak terlalu lama setelah fase krisis terlewati.
Artinya, soal ketidakpastian yang tak menyenangkan itu harus ada solusinya. Bukan malah dijadikan alasan untuk menentukan status bencana dengan mengesampingkan peluang penanganan bencana yang lebih efektif dan optimal karena langsung dikendalikan oleh pemerintah pusat.
Saya kira ‘saking’ khawatirnya, mereka melupakan bahwa pariwisata sebagai aktivitas ekonomi kreatif juga punya daya hidupnya sendiri. Pariwisata ini industri kreatif, bisnis kreatif. Maka kreativitas para pelaku akan membawanya pada keseimbangan baru, destinasi alternatif dan bisa jadi potensi-potensi pasar maupun produk yang tak terfikirkan sebelumnya. Tugas pemerintah adalah memfasilitasinya, mendukungnya, bukan sekadar mengkhawatirkannya.
Dalam benak saya, pilihan paling realistis saat ini adalah dengan memasifkan promosi Kawasan Mandalika yang berada di selatan, tentu saja menyasar pasar paling potensial dengan penguatan merek “moslem friendly destination” alias pariwisata halal. Kemudian menyiapkan destinasi alternatif dan membantu pemulihan sektor ekonomi kreatif, sehingga ketika fase krisis telah terlampaui, maka pariwisata juga telah siap mendukung dan meraup untung.
Sekali lagi, pemerintah terutama pemangku kebijakan sektor pariwisata mestinya fokus menyusun opsi dan prioritas yang dapat menjadi pijakan untuk menekan potensi dampak turunan bencana gempa ini. Tantangan dan peluang untuk melambung harus difasilitasi. Jangan berlindung di balik alasan ‘rugi’ untuk menutupi kemalasan berfikir inovatif dan kreatif.
Akhirnya, saya yakin bahwa para pelaku pariwisata bisa memaklumi dampak temporal pasca bencana, merekapun pasti akan memanfaatkan masa itu untuk mencurahkan kreativitasnya untuk survive. Tapi pemerintah, baik pusat maupun daerah harus ingat, rakyat takkan pernah memaafkan dan melupakan kalahnya kemanusiaan.
Maka ijinkan saya sebagai Putera Lombok, menundukkan kepala, merendahkan badan dengan takzim, memohon agar status bencana nasional itu dapat dipertimbangkan lagi sebelum terlambat. Sebelum kerja keras yang telah ditunjukkan menjadi sia-sia dan ketidakpercayaan akan itikad baik pemerintah pada warga Lombok meluas.
Saya,
Taufan Rahmadi
#temannyawisatawan