Ngelmu.co – Sebelum pengesahan RUU menjadi UU, Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Prof Daniel Mohammad Rosyid, membuat sebuah tulisan mengenai Omnibus Law Ciptaker.
Ia, menilai RUU itu, sebagai instrumen pamungkas untuk benar-benar menjadikan rakyat Indonesia, pembantu di negerinya sendiri.
Pernyataan demi pernyataan, Daniel, sampaikan dalam tulisannya berjudul, ‘Omnibus Law Cipta Jongos’.
Berikut selengkapnya, seperti dilansir pwmu.co, Senin (5/10):
Beberapa hari ini, Pemerintah bersama DPR, sedang kejar tayang untuk segera menyetujui RUU Omnibus Law Cipta Kerja, menjadi UU.
Tujuan utama RUU ini adalah mempermudah investasi, yang dalam kesempitan finansial saat ini, serta sistem keuangan ribawi, akan sangat di-dominasi oleh asing.
Rezim penguasa saat ini, bahkan di tengah pandemi COVID-19, berupaya melalui prosedur legislasi yang mencurigakan, untuk mempermudah investasi asing, serta kedatangan tenaga kerja asing, ke Indonesia.
Di hampir semua sektor penting, yang oleh UU lainnya, sudah di-liberalkan.
Mengapa ini terjadi?
Biaya politik yang tinggi, baik bagi eksekutif maupun legislatif, telah menyebabkan bangsa ini masuk ke mulut singa.
Berupa utang yang makin menggunung, dan mulut buaya investor asing yang dengan leluasa mengeksploitasi berbagai kekayaan alam negeri ini.
Sambil menjadikan massal masyarakatnya, sebagai buruh dengan hak-hak minimal.
Rekrutmen politik yang makin mahal, menyebabkan banyak pejabat harus bersekongkol dengan para cukong domestik maupun asing, yang makin menguasai sumber-sumber ekonomi nasional.
Pernyataan Menko Polhukam, Mahfud MD, baru-baru ini, membenarkan sinyalemen ini.
Rakyat Indonesia Bersiap Jadi Jongos?
RUU Omnibus Law, sejatinya merupakan instrumen pamungkas untuk benar-benar menjadikan masyarakat Indonesia, sebagai jongos di negeri sendiri.
Upaya sebelumnya, dilakukan melalui pemelintiran pendidikan menjadi persekolahan massal paksa.
Terutama sejak reformasi, 20 tahun silam, saat republik ini dibelokkan ke jurang kapitalisme liberal.
Pendidikan melalui persekolahan massal, bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Persekolahan paksa massal, dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga kerja yang cukup terampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik.
Sekaligus cukup dungu, untuk menerima pekerjaan yang makin kotor dan beresiko, dengan upah yang rendah.
Sehingga para istri buruh, pun harus ke luar dari rumah untuk ikut bekerja.
Posisi tenaga kerja dalam rancangan RUU Omnibus Law, ini makin lemah dalam menghadapi pemilik modal.
Bahkan melalui UU No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren, rezim ini telah mulai menyekolahkan pesantren.
Pesantren, bakal kehilangan kemandiriannya, baik secara kurikulum maupun keuangan.
Persis seperti persekolahan massal paksa milik pemerintah, sebagai instrumen teknokratik penyiapan masyarakat buruh yang sekuler.
Pesantren, akan di-reposisi sebagai bagian dari mesin pen-jongos-an massal.
Upaya lainnya adalah UU yang mengatur keuangan ribawi, sesuai dengan konstitusi IMF.
Persekolahan bersama televisi, merupakan institusional duo, dalam rangka menyiapkan masyarakat konsumtif yang hidup dari utang.
Riba itu menjadikan utang, tidak sekadar utang. Tapi utang yang memperbudak manusia, sekaligus merampas kedaulatannya.
Utang adalah instrumen penjajahan. Melalui riba ini, proses pemiskinan bangsa terjadi.
Melalui proses koruptif yang dilegalkan. Sekalipun korupsi di Indonesia, masih berlangsung, skalanya masih relatif kecil, dibanding korupsi legal melalui riba ini.
Riba adalah akar pemiskinan bangsa. Saat Work from Home (WFH) dan Study from Home (SFH), menjadi kegiatan selama enam bulan terakhir, pandemi, membuka peluang agar masyarakat Indonesia, kembali ke rumah, sebagai satuan edukatif dan produktif.
WFH, harus digeser menjadi Work at Home, sedangkan SFH, diubah menjadi Study at Home.
Memang, membutuhkan keberanian untuk berpikir dan bekerja dengan cara baru.
Tapi ini adalah cara paling masuk akal, dalam menghentikan proses penjongosan bangsa ini.
Namun, kaum buruh, harus segera di-ingatkan, bahwa mereka akan diperalat oleh kaum komunis baru, untuk mewujudkan rencana-rencana kotornya.
Kaum komunis, sanggup mengahalalkan semua cara untuk mencapai tujuannya.
Bahkan dengan cara-cara yang haram dan biadab sekalipun, termasuk indoktrinasi massal melalui persekolahan dan riba.