Begini, Febri, sadar jika buzzer tak melulu bertindak karena motif ekonomi.
“Ada juga yang motif ideologis, politik, atau entahlah. Mungkin juga perasaan,” tuturnya, Kamis (1/7) kemarin.
Namun, yang menjadi persoalan adalah saat kegiatan mereka berjalan secara terstruktur.
“[Para buzzer] Menyerang kredibilitas orang tertentu, apalagi pihak yang kritis terhadap penguasa,” jelas Febri.
Terus, kenapa fenomena buzzer bisa sampai dibilang hama demokrasi?
“Saya tertarik melihatnya dari hak asasi yang dicantumkan di konstitusi,” ujar Febri.
“Setiap orang memiliki hak untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, hingga menyampaikan informasi di semua jalur yang tersedia,” imbuhnya.
Baca Juga:
Lantas, kenapa menyamakan buzzer dengan hama demokrasi, jika menurut Febri, buzzer juga punya hak yang sama?
“Bukan itu poinnya, yang menjadi persoalan adalah ketika informasi yang buzzer sebar, hoaks,” tegasnya.
Sebab, informasi seperti itulah yang jika terletak dalam konteks hak berkomunikasi, dapat disebut sebagai informasi sampah.
“Problemnya, gimana jika sampah tersebut disebar secara masif?” tanya Febri. “Sampah itulah yang pada akhirnya mengotori ruang publik,” sambungnya.
Padahal, berbagai pihak punya hak konstitusional untuk menerima informasi yang benar di ruang publik.
“Penghormatan terhadap keterbukaan, sekaligus kebenaran informasi, adalah bagian penting dari proses berdemokrasi,” ujar Febri.
Tak bisa memungkiri, buzzer [yang dibahas oleh Febri ini] memang merusak prinsip penghormatan tersebut.
Pasalnya, mereka dengan enteng menyebar berita bohong–hoaks. Mereka juga membiaskan informasi.
Sampai-sampai masyarakat, mendapat informasi yang keliru, atau bahkan, terpecah, hingga menimbulkan keresahan di tengah-tengah mereka.
“Dalam konteks inilah,” kata Febri, “ruang publik, ruang demokrasi kita saat ini, menjadi rusak dan kotor akibat praktek buzzer sebagai hama demokrasi ini.”
Lantas, adakah cara untuk melawan kumpulan hama ini?