Ngelmu.co – Bicara soal tingkat cadangan BBM di Tanah Air yang sangat tipis, yakni hanya 12 hari, Staf Ahli PT Pertamina (Persero) Rifky Effendi Hardijanto, menyebut Indonesia bagai kendaraan yang hampir kehabisan bensin.
“Ibarat naik mobil, lampu penanda bensin menyala kedip-kedip, pom bensin di mana kita enggak tahu,” tuturnya, di Balai Sarwono, Jakarta, seperti dilansir Tempo, Rabu (27/11).
Dengan analogi yang sama, Rifky mengatakan, akan lebih nyaman jika sebuah kendaraan bisa memenuhi tangki bahan bakarnya.
Namun, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Indonesia mengalami kendala, yakni kurangnya kilang.
Sebab, pembangunan kilang belum kembali dilanjutkan, setelah era 90-an.
“Terakhir kita bangun kilang balongan kapasitas 125 ribu barel pada tahun 1990-an awal. Sampai sekarang belum ada lagi. Akibatnya, kita harus impor,” ungkap Rifky.
Sedangkan masalah lain yang menanti adalah produksi minyak mentah Indonesia yang juga merosot, dari kisaran 1,6 juta barel ke 760 ribu barel per hari.
Sehingga muncul pertanyaan menyoal bahan baku yang diolah oleh kilang nantinya.
Jika persoalan tingkat cadangan atau stok level bahan bakar minyak tak segera ditangani, Rifky menyebut, kondisi itu bisa menimbulkan dampak politik yang sangat besar.
“Kalau untuk negara ini berbahaya, karena berdampak ke political cost yang luar biasa, ketika rakyat kekurangan bahan bakar,” sambungnya.
Cadangan BBM, menurut Rifky, bisa menjadi pertaruhan politik bagi pemerintah.
Pemerintahan, disebut bisa mengalami kejatuhan, bila terjadi kelangkaan bahan bakar di masyarakat.
Sebab, BBM telah menjadi kebutuhan mendasar bagi masyarakat Indonesia.
“Kebayang enggak kalau BBM langka? Harga berapa pun itu akan tetap dibeli, biaya menjadi tinggi,” kata Rifky.
Sementara saat ini, lanjut Rifky, tingkat cadangan BBM di Tanah Air memang sangat tipis. Maka, harus disikapi oleh jajaran petinggi perusahaan.
Termasuk Komisaris Utama Pertamina yang baru saja ditunjuk, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok.
“Sekarang ini stok kita hanya 12 hari, dengan luas wilayah seperti ini, enggak cukup,” ujar Rifky.
Imbasnya, lanjut Rifky, satu per satu daerah di Indonesia akan mulai mengeluhkan adanya kekurangan BBM.
Lebih lanjut ia mengatakan, di era sebelum krisis moneter, tahun 1990-an, Indonesia sempat memiliki tingkat cadangan minyak 35 hari, untuk dijual ke publik.
Namun, ketika perekonomian runtuh, International Monetary Fund datang, meminta perseroan mengurangi biaya peralatan, hingga maksimum 22 hari.
Atau sama saja dipotong sebanyak 13 hari.
“Ketika itu, banyak program yang diambil, seperti penghematan dan sebagainya, sehingga memotong biaya perawatan dan investasi,” pungkas Rifky.
Baca Juga: Meski Ada Penolakan, Ahok Akhirnya Resmi Jabat Komisaris Utama Pertamina
Akibatnya, infrastruktur yang ada, tidak cukup untuk menopang pertumbuhan permintaan yang cukup tinggi. Stok pun terus menurun.
Padahal idealnya, berdasarkan standar internasional, stok yang harus dimiliki suatu negara, mencapai 90 hari.
Seperti Amerika Serikat dan Jepang, mereka sudah memiliki stok melebihi standar. Begitupun dengan Thailand dan Vietnam, yang menuju ke tingkat tersebut.