Pada kenyataannya, manusia laki-laki dan perempuan, sebagai manifestasi dari kehendak Allah Swt, memiliki kecenderungan untuk bersama-sama memberi makna bagi kehidupan di bumi ini.
Dari kehidupan bersama tersebut, lahirlah ketentraman dan kasih sayang, cinta, kemesraan, kehangatan, ingin bermakna bagi orang lain, dan perasaan ingin memiliki dan dimiliki yang mengantarkan manusia meniti jalan kesempurnaan secara lebih baik. Melalui hidup bersama itu pula manusia dapat melestarikan keberadaan generasinya.
Dengan demikian, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah, dan sesuai nalar sehat dan fithrah kemanusiaan, manusia diciptakan dengan pasangan, laki-laki dan perempuan; bukan laki-laki dengan laki-laki-laki atau perempuan dengan perempuan.
Faktanya, setiap manusia normal mendambakan pasangan yang fithri untuk dirinya. Dambaan tersebut semakin menjadi-jadi setelah dewasa. Oleh karena itu, Islam mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita sebagai pasangan otentiknya yang sah secara agama, social, dan budaya melalui apa yang disebut pernikahan.
Hukum Islam memandang bahwa hasrat seksual adalah fithrah manusia dan sekaligus menjadi kekuatan alami yang merupakan sebuah kodrat. Jadi hukum Islam telah mengatur saluran hasrat seksual biologis manusia melalui pernikahan yang sah secara agama, sosial, dan budaya. Allah berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا (النساء: 3).
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS.Al-Nisaa’[4]: 3).
Abdi Sumaithi