Ngelmu.co – Janji Joko Widodo, tak jua terpenuhi, hingga akhir hayat Siti Dyah Sujirah (Mbak Sipon).
Pada 20214 lalu, harapan Sipon untuk menemukan sang suami–Wiji Thukul–sempat muncul ketika Jokowi, mencalonkan diri sebagai presiden.
Sebab, kala itu, Jokowi menegaskan bahwa Wiji Thukul harus ditemukan.
Ia menunjukkan keberpihakannya terhadap keluarga Wiji Thukul.
“Harus ditemukan. Harus jelas. Bisa ketemu, hidup atau meninggal,” tutur Jokowi pada Senin (9/6/2014).
Pernyataan yang kemudian menjadi harapan besar bagi Sipon.
“Waktu Jokowi terpilih sebagai presiden, saya berharap, semoga PR-PR [pekerjaan rumah] dari presiden sebelumnya, bisa terselesaikan.”
“Terutama kasus penghilangan Thukul,” ujar Sipon dalam diskusi film ‘Nyanyian Akar Rumput’, Sabtu (15/12/2018).
Namun, janji Jokowi saat kampanye tahun 2014 itu, tak jua terpenuhi.
Perlahan, harapan keluarga Wiji Thukul pun pupus.
“Kami menuntut keadilan dan janji-janji yang diucapkan oleh presiden. Saya sudah lelah dengan harapan. Harapan bagi saya itu racun!”
Demikian pernyataan putri Wiji Thukul, Fitri Nganthi Wani, yang tak mau lagi berekspektasi atau menggantungkan harapan kepada proses politik.
Sebab, sambungnya, politisi hanya bisa berjanji, tetapi tidak pernah memberikan kepastian.
Wani pun mencetuskan sebuah istilah baru, yakni politik harapan.
Bagi Wani, politik harapan adalah kondisi yang menyebabkan keluarga korban berharap kasus dapat selesai.
Namun, harapan tersebut justru dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Baik itu kepentingan politik, ataupun kepentingan lain.
Baca Juga:
Sampai akhirnya Sipon, mengembuskan napas terakhir, dan masa jabatan Presiden Jokowi juga akan berakhir.
Janji yang lahir di tahun 2014 itu tak kunjung dipenuhi.
Sipon, tidak pernah tahu di mana sang suami berada.
Desember 1998 merupakan momen terakhir bagi Sipon bertemu Wiji Thukul.
Sebelum akhirnya, Wiji Thukul dinyatakan hilang.
Sipon dan Wiji bertemu di Yogyakarta. Kala itu, Wiji tengah menjadi buron Orde Baru.
Lewat puisi-puisinya, Wiji dianggap membahayakan Orde Baru.
Pertemuan Sipon dan Wiji, berlangsung lama. Mereka berbincang di tangga gedung Seni Sono, Yogyakarta.
Kedua anak mereka, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah, ada di sana.
“Kami juga sempat makan siang di Malioboro. Mas Wiji membelikan sebuah selimut untuk Fajar, yang selalu dipakainya hingga sekarang,” kenang Sipon, 12 Desember 2002.
Masih lekat juga dalam ingatan, bagaimana Wiji Thukul mengantar Sipon dan kedua anak mereka ke Stasiun Tugu Yogyakarta; untuk kembali ke Solo.
Sipon mengaku sempat gemetar, ketika melihat sejumlah tentara di stasiun.
Namun, Wiji berusaha menenangkan, dengan berjanji bahwa mereka akan kembali bertemu satu bulan lagi.
Janji yang tidak pernah terwujud, hingga Sipon, meninggal pada Kamis (5/1/2023) kemarin.
Sipon dan Wiji Thukul menikah pada 1988. Mereka berdua berasal dari kelas ekonomi bawah.
Ayah Wiji Thukul, Wito Kemis, bekerja sebagai penarik becak.
Begitu juga dengan orang tua Sipon.
Sipon dan Wiji Thukul tinggal di Kampung Kalangan, RT 01/RW 14, Jagalan, Solo.
Mereka hidup di sebuah kampung yang menjadi langganan banjir, dengan lingkungan padat penduduk.
Saat itu, kebanyakan warga setempat bekerja sebagai buruh pabrik, penarik becak, pedagang kecil, penjahit, dan tukang parkir.
Sebelum menikahi Sipon, Wiji Thukul membuat sebuah puisi untuk wanita tercintanya itu.
Berjudul ‘Jangan Lupa, Kekasihku’, yang di dalamnya terdapat bait yang menggambarkan bagaimana kesederhanaan mereka.
Jangan lupa kekasihku
Jika kau ditanya siapa mertuamu
Jawablah: yang menarik becak itu
Itu bapakmu, kekasihku
Konon, menurut adik kandung Wiji Thukul, Wahyu Susilo, puisi itulah yang digunakan oleh sang kakak untuk melamar Sipon.
Dalam Harian Kompas edisi 10 Maret 2001, Sipon menceritakan awal pertemuannya dengan Wiji Thukul.
Sipon mengaku tidak mengira, bahwa calon suaminya itu adalah orang yang suka menulis puisi.
Ia sempat heran, Wiji Thukul yang hanya seorang buruh, tapi banyak memiliki teman seniman.
Sebagai penyair, Wiji pernah mendapat penghargaan dari Belanda, Wertheim Encourage Award pada l991.
Namun, kala itu, Wiji menolak berangkat ke Belanda untuk menerima penghargaan tersebut.
Sebab, anak pertama mereka, Fitri Nganthi Wani, akan lahir.
Sampai saat ini, sertifikat penghargaan dari Belanda itu pun tidak pernah sampai ke tangannya.
Bagi Sipon, apa yang ditulis oleh Wiji dalam puisi adalah sebuah kenyataan di lingkungannya.
Ia juga tidak mengerti, mengapa suaminya menjadi buron Orde Baru, bahkan sampai harus hilang.
Pasalnya, di mata Sipon, Wiji Thukul adalah sosok suami yang bersahaja, bertanggung jawab, serta mau memahami pendapat istri.
Kepada Sipon, Wiji Thukul juga selalu menekankan sikap jujur dan terus terang.
“Suami saya selalu mengajarkan, kita tidak perlu malu mengungkapkan keadaan kita sebenarnya,” kata Sipon.
“Kami berasal dari keluarga miskin. Ayah Wiji Thukul, Pak Wito Kemis, penarik becak, dan kebetulan bapak saya juga penarik becak.”
“Jadi, buat apa malu? Asal pekerjaan itu halal,” ucap Sipon.
Selama hidupnya, Wiji Thukul bekerja sebagai buruh serabutan. Terakhir, ia menekuni pekerjaan sebagai tukang pelitur.
Adapun Sipon, untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ia membantu dengan menjahit dan membuat baju konveksi.
Lalu, dipasarkan hingga ke Malioboro, Yogyakarta.
Baca Juga:
Sepengetahuan Sipon, suaminya bukanlah aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Namun, Wiji Thukul memang kerap terlibat sejumlah aksi buruh di sekitar Surakarta, yang beberapa di antaranya digerakkan oleh para aktivis PRD.
“Sewaktu deklarasi PRD di Jakarta, Wiji Thukul memang diminta membacakan puisinya,” ungkap Sipon.
Belakangan diketahui, bahwa Wiji Thukul aktif di Jaringan Kebudayaan Rakyat (Jaker), yang berafiliasi dengan PRD.
Saat Orde Baru mengumumkan bahwa PRD merupakan partai terlarang pada 1997, Wiji Thukul pun ikut menjadi buron.
Pemerintah–melalui Menko bidang Politik dan Keamanan waktu itu, Soesilo Soedarman–pada 28 Desember 1997, yang mengumumkan status tersebut.
Wiji, ketika dinyatakan sebagai buron di televisi, ia tengah terbaring sakit di rumahnya.
Ia sakit setelah diciduk dan dihajar aparat keamanan, karena terlibat aksi mogok buruh di PT Sritex Sukoharjo, Maret 1996.
Kelopak mata kanan Wiji Thukul, sobek. Retina matanya juga terganggu, akibat dihajar dengan popor senapan.
Akankah keberadaan Wiji Thukul, terungkap jelas? Siapa yang benar-benar dapat mengungkapnya?