Ngelmu.co – Teramat banyak hikmah dari peristiwa Iduladha. Kita pun dapat mengambil dari berbagai sisi kehidupan. Salah satunya tentang politik.
Kita bisa belajar, bagaimana mengelola kekuasaan, agar demokratis dan tidak semena-mena.
Coba kita tengok sejenak dialog yang melegenda antara Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as.
Percakapan keduanya diabadikan Allah dalam Al-Qur’an.
“Maka Tatkala anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai Anakku, sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu, Insya Allah Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Surat As Shaffat 37: 102).
Nabi Ibrahim as merupakan seorang ayah. Berhadapan dengan Ismail, anaknya.
Sebagai ayah, kekuasaan ada di tangannya. Ia dapat memaksa anaknya untuk patuh dan taat pada kehendaknya.
Apalagi yang akan dilakukan oleh Ibrahim adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Baca Juga:
Kita bisa berimajinasi, jika diri kita atau orang lain yang berada dalam situasi di atas.
Hampir dapat dipastikan, kita akan melakukan tindakan tegas, instruktif, dan no reserve. Tak ada dialog. Sifatnya paksaan.
Namun, tidak demikian dengan Nabi Ibrahim. Ia justru mengedepankan dialog.
Mengajak anaknya berbicara, meminta pendapatnya. Ibrahim begitu persuasif dan komunikatif, padahal kala itu, Nabi Ibrahim as menghadapi situasi konflik yang sangat pelik.
Ia harus menyembelih sang buah hati yang dinanti kehadirannya sejak lama.
Lalu, sekonyong-konyong datang perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyembelihnya.
Rangkaian kalimat indah terucap dari lisan Nabi Ibrahim. Diawali dengan sapaan dan bertanya dengan kerendahan hati.
Lalu, respons Ismail, tak kalah indahnya. Ia menjawab dengan untaian kalimat penuh kesopanan.
Bahkan, terlontar doa di ujungnya.
Peristiwa ini mendatangkan hikmah besar pada kita. Jika Nabi Ibrahim as kita ibaratkan sebagai pemimpin, dan Ismail jadi rakyatnya?
Maka tersaji relasi menakjubkan antara pemimpin dan yang dipimpin.
Sang Pemimpin mampu mengelola kekuasaannya dengan baik. Ia tak tergoda untuk berbuat otoriter saat menghadapi situasi konflik yang rumit.
Tidak semena-mena, tapi demokratis.
Dengan pendekatan persuasif semacam itu, umpan balik yang diberikan rakyatnya justru tak kalah dahsyat.
Tidak menentang atau resisten. Sebaliknya, mendukung penuh kebijakan yang akan dilakukan oleh pemimpinnya.
Begitulah hikmah penting Iduladha dari kacamata politik.
Allah sepertinya hendak mengajarkan kepada siapa pun yang diberi amanah untuk menjadi pemimpin. Bahwa, jangan semena-mena saat berkuasa.
Hargai rakyat. Rangkul dan ajak komunikasi, sehingga kelindan antara pemimpin dan rakyatnya harmonis.
Sebaliknya, sebagai rakyat, patuhilah pemimpin, selama perintahnya tidak bertentangan dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh: Ahmad Syaikhu