Ngelmu.co – Lima juta buruh dari 15.000 pabrik yang tersebar di 34 provinsi; 440 kabupaten/kota, telah memutuskan untuk melakukan aksi mogok nasional, sebagai bentuk penolakan mereka terhadap kenaikan harga BBM.
Bagaimana imbasnya?
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira, menilai, aksi mogok kerja akan menjadi perhatian bagi pelaku usaha.
Apalagi kalau berlangsung cukup lama.
Dampaknya, produktivitas di berbagai sektor, baik manufaktur hingga jasa, akan mengalami penurunan.
“Yang rugi pengusaha dan pemerintah, karena produksi turun,” tutur Bhima, yang kembali Ngelmu kutip pada Senin (12/9/2022).
“Banyak target tidak tercapai, dan bagi pemerintah, rugi karena penerimaan pajak berkurang,” sambungnya.
Menurut Bhima, kerugian ini merupakan kesalahan pemerintah yang sebelumnya terlalu cepat mengejar pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Undang-undang yang di dalamnya terdapat banyak poin, yang tidak berpihak terhadap perlindungan tenaga kerja.
“Efek terhadap hubungan industrial di level paling kecil juga akan terpengaruh,” ujar Bhima.
“Fatal pengesahan Omnibus Law yang terburu-buru, tanpa mendengar aspirasi para pekerja,” jelasnya.
Kali ini, buruh akan kembali melakukan aksi, akibat keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), awal September lalu.
Baca Juga:
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, mengatakan, kenaikan harga BBM, akan menurunkan daya beli masyarakat.
Namun, di waktu yang bersamaan, Kementerian Ketenagakerjaan telah menekankan–berdasarkan aturan Omnibus Law UU Cipta Kerja–tidak akan ada kenaikan upah pada 2023.
Itu mengapa, buruh bergerak mengusung tiga isu:
- Penolakan kenaikan harga BBM;
- Penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja; dan
- Menuntut kenaikan upah minimum 2023, sebesar 10-13 persen.
Tiga isu tersebut, menurut Said, adalah satu kesatuan yang akan diperjuangkan para pekerja.
Selama bulan September, mereka akan melakukan aksi bergelombang dan bergantian di tiap daerah.
Tiap hari; kecuali Jumat, Sabtu, dan Ahad.
Adapun yang menjadi titik aksi di daerah adalah kantor gubernur, bupati atau wali kota, dan juga kantor DPRD.
Setelah menjabarkan jadwal aksi sepanjang bulan September, Said bilang, “Kalau tidak didengar, bulan Oktober, aksi akan diperluas lagi.”
“Puncaknya akan terjadi di akhir November. Kami mempersiapkan pemogokan nasional dengan cara stop produksi, keluar dari pabrik.”
“Mogok nasional akan diikuti 5.000.000 buruh dari 15.000 pabrik, melibatkan 34 provinsi dan 440 kabupaten/kota.”
Apa yang mereka harap dari aksi ini?
“Meminta gubernur, bupati, atau wali kota untuk membuat surat rekomendasi penolakan kenaikan BBM kepada presiden dan pimpinan DPR RI.”
“Aspirasi daerah harus didengar. Surat rekomendasi penolakan kenaikan harga BBM dikirim ke presiden dan pimpinan DPR.”
“Supaya mereka paham, bahwa kebijakan pusat telah menyengsarakan rakyat di daerah,” tegas Said.
Aksi ini juga meminta gubernur dan bupati untuk mendesak DPR, agar membuat pansus BBM.
Said berharap, DPR RI bisa membongkar alasan swasta, menjual BBM dengan harga lebih murah.
Begitu juga soal alasan terjadinya pembiayaan bersubsidi, dan mengungkap apakah ada mafia di penentuan harga BBM.
Selain itu, soal implikasi kenaikan harga BBM terhadap daya beli masyarakat, juga mesti dibahas, tutup Said.