Ngelmu.co – Pemerintah Indonesia dan Singapura telah meneken perjanjian ruang udara; Flight Information Region (FIR), pada Selasa (25/1/2022) lalu.
Kesepakatan tersebut melahirkan silang pendapat antara guru besar hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana dengan anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi.
Singapura Cerdik, Indonesia Terkecoh
Prof Hikmahanto bilang, dasar keinginan pemerintah melalui kebijakan tersebut sudah tepat; mengambil alih pengelolaan FIR di atas Kepulauan Riau.
Maka kebijakan itu, menurutnya, patut mendapat dukungan.
Namun, Hikmahanto juga menyoroti detail perjanjian FIR tersebut, karena ternyata, tidak merefleksikan kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Ternyata Singapura sangat cerdik dalam menegosiasikan perjanjian FIR, sehingga para negosiator Indonesia terkecoh.”
Demikian tutur Hikmahanto saat dikonfirmasi terkait rilis kepada media, Ahad (30/1/2022) kemarin, mengutip Republika.
Menurutnya, perjanjian FIR yang seharusnya dikelola oleh Indonesia dalam ketinggian berapa pun saat perjanjian, efektif berlaku.
Namun, ternyata FIR yang berlaku di wilayah tertentu untuk ketinggian 0-37.000 kaki, didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura.
Hikmahanto melihat, Singapura ingin tetap memiliki kewenangan pada ketinggian tersebut.
Pasalnya, bagi Singapura, ketinggian itu sangat krusial. Mengingat pesawat udara mancanegara melakukan pendaratan serta lepas landas di Bandar Udara Changi.
“Singapura ingin tetap menjadikan Bandara Changi sebagai hub untuk berbagai penerbangan ke penjuru dunia. Keselamatan harus dipastikan,” tutur Hikmahanto.
Jika mereka menyerahkan FIR kepada Indonesia, menurutnya, akan mengancam keberadaan Bandara Changi sebagai hub internasional.
Maka itu Hikmahanto menilai, ada dua kecerdikan Singapura dalam mengecoh negosiator Indonesia.
“Pertama, Singapura mengecoh dengan bermain pada isu yang sangat detail,” ujarnya.
Bagi ahli hukum yang menegosiasikan sebuah perjanjian, ada peribahasa yang selalu menjadi panduan; the devil is in the details.
Maksud dari peribahasa itu adalah di mana seorang ahli hukum, untuk menang dalam bernegosiasi, harus bermain di level yang sangat detail.
Jika lawan negosiasi tidak suka dengan urusan detail, maka akan menjadi makanan empuk, jelas Hikmahanto.
Boleh saja Indonesia berbangga bahwa pengelolaan FIR, telah berhasil diambil alih oleh RI, setelah puluhan tahun berjuang.
“Namun, dalam kenyataannya, Singapura masih tetap sebagai pihak pengelola, karena mendapat pendelegasian,” kata Hikmahanto.
Pemaketan Perjanjian
Aturan untuk poin itu juga tertuang dalam detail perjanjian FIR, terkait pendelegasian Indonesia ke otoritas penerbangan Singapura.
Bahkan, pendelegasian diberikan selama 25 tahun, dan bisa diperpanjang sesuai kesepakatan kedua negara.
Artinya, pemerintah Indonesia tidak memiliki cetak biru untuk melakukan pengambilalihan.
Mulai dari infrastruktur yang dibutuhkan, hingga sumber daya manusia yang mengoperasikan.
“Kedua, kecerdikan Singapura adalah memaketkan perjanjian FIR dengan perjanjian pertahanan,” ucap Hikmahanto.
Pemaketan yang demikian, sangat merugikan Indonesia, ketika pada 2007, saat perjanjian ektradisi ditandemkan dengan perjanjian pertahanan.
Di sini, Hikmahanto menilai, Singapura tahu untuk efektif berlakunya perjanjian FIR.
Selain wajib diratifikasi oleh parlemen masing-masing, juga harus dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi.
Maka itu Singapura, akan mensyaratkan pada Indonesia untuk melakukan secara bersamaan pertukaran dokumen ratifikasi kedua perjanjian sekaligus.
Jika hanya salah satu, Singapura tidak akan menyerahkan dokumen ratifikasi, dan karenanya, perjanjian tidak akan efektif berlaku.
“Singapura ber-kalkulasi, perjanjian pertahanan tidak akan diratifikasi oleh DPR, mengingat menjadi sumber kontroversi pada 2007,” kata Hikmahanto.
“Sehingga tidak pernah dilakukan ratifikasi,” sambungnya.
Kalau saat ini, hal ini kembali menjadi kontroversi dan akhirnya tidak diratifikasi oleh DPR, maka Singapura tidak akan menyerahkan dokumen ratifikasi perjanjian FIR.
Akibatnya, perjanjian FIR tidak akan berlaku efektif.
Konsekuensi ikutannya adalah FIR, tidak pernah beralih pengelolaannya ke Indonesia, dan tetap dikelola oleh Singapura.
Namun, jika perjanjian pertahanan diratifikasi oleh DPR, serta dokumen ratifikasi perjanjian FIR dan pertahanan dipertukarkan sehingga kedua perjanjian ini efektif berlaku, Singapura tetap mengelola FIR di ketinggian 0-37.000 kaki atas dasar pendelegasian sebagaimana diatur dalam perjanjian FIR.
“Bahkan, Singapura mendapat satu keuntungan lagi, yaitu perjanjian pertahanan yang di tahun 2007 ditentang oleh banyak pihak di Indonesia, bisa efektif berlaku,” jelas Hikmahanto.
Anggota Komisi I DPR Merespons
Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi, memberikan tanggapan.
Ia menyebut, pihaknya tidak yakin Singapura mengecoh pemerintah Indonesia atas perjanjian tersebut.
Bobby juga membahas, adanya kemungkinan strategi-strategi tertentu yang disiapkan pemerintah Indonesia, terkait perjanjian itu.
Lalu, ia menyinggung negosiasi Pemerintah RI dengan Singapura, yakni ekstradisi.
“Ya, saya rasa bukan begitu [terkecoh], mungkin ada strategi-strategi tertentu dari pemerintah,” tutur Bobby, Ahad (30/1/2022), mengutip Detik.
“Karena ‘kan ada perjanjian bilateral lainnya, yaitu ekstradisi,” sambungnya.
Bobby juga mengaku, pihaknya belum menerima laporan resmi dari pemerintah, atas perjanjian tersebut.
Ia kemudian memastikan, pihaknya akan menggelar rapat dengan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), dalam waktu dekat.
Tujuan tidak lain adalah untuk membahas perjanjian tersebut.
“Sampai saat ini, kami belum mendapatkan laporan resmi isi perjanjian tersebut, yang nanti dalam rapat terdekat dengan Kemenhan dan Kemenlu,” ujar Bobby.
Lebih lanjut, menurutnya, Komisi I DPR RI juga akan menanyakan terkait perjanjian itu.
Apakah telah memenuhi amanat UU 1/2009 tentang Penerbangan dan Konvensi Chicago; yang mengatur kegiatan penerbangan sipil internasional.
“Akan kami tanyakan, kiranya, apakah perjanjian tersebut sudah memenuhi definisi kedaulatan wilayah udara sesuai Pasal 5 UU 1/2009 dan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, yaitu utuh dan penuh,” jelas Bobby.
Dengan demikian, ia menilai, perjanjian antara Indonesia dan Singapura, yakni FIR, tidak menjadi polemik dan perlu diapresiasi.
“Sehingga tidak perlu dipolemikkan lagi, dan apresiasi kinerja pemerintah yang selanjutnya harus memelihara kedaulatan udara tersebut untuk kemakmuran negara,” tutup Bobby.
Baca Juga:
Sebelumnya, Presiden Jokowi bertemu dengan PM Singapura Lee Hsien Loong, di Bintan, Kepulauan Riau, pada Selasa (25/1/2022) lalu.
Pertemuan itulah yang kemudian menghasilkan beberapa kesepakatan soal pengelolaan kawasan udara Kepulauan Riau dalam perjanjian FIR.