Arya Sandhiyudha, Ph.D
Pengamat Politik Internasional
• Tunisia baru saja melaksanakan Pemilu ketiga pasca “Arab Spring”, Musim Semi ‘Demokratisasi’ Arab. Seakan menyambung nafas harapan kompatibilitas Islam dan Demokrasi, juga kapabilitas entitas Muslim Negarawan di ranah kontestasi demokrasi di sebuah negara yang multikultural.
• Kisah Tunisia ini jadi pengecualian ( exceptionalist) sebab cerita Mesir kerap membuat dunia pesimis tentang kesesuaian entitas “Muslim Negarawan” masuk ke dalam demokrasi. Tunisia seakan menjadi teman baru Turki yang menyambung kenyataan politik tentang kompatibilitas Muslim Negarawan, demokrasi, dan modernitas. Tunisia seperti menduplikasi kisah Turki yang membuat sebagian akademik percaya ‘sekulerisme’ juga punya varian baru yaitu ‘sekulerisme pasif’ yakni sekulerisme yang tidak agresif/asertif terhadap kehadiran aspirasi keagamaan di ranah publik.
• Melalui Turki dan Tunisia, kita bahkan melihat bahkan atasnama sekulerisme sekalipun, kenyataan politik dan nafas keagamaan tidak serta-merta layak diperangi atau dilarang dengan pelabelan: radikalisme. Selama segalanya dilalui dalam mekanisme dalam demokrasi substantif, tidak menabrak karang kemanusiaan, dan tidak mengoyak sampan keberagamaan.
• Pemilu 6 Oktober 2019 lalu menunjukkan bahwa orang-orang telah menolak pendirian sekuler yang garang (sekulerisme agresif/asertif) terhadap nafas keberagamaan. Sementara Partai Ennahda tetap menjadi pengecualian karena kesetiaan pada prinsip sekaligus sangat transformatif, lincah, dan adaptif.
• Simbol perubahan menjadi pelajaran penting dalam hasil Pemilihan Presiden. Kandidat independen Kais Saied sukses memenangkan suara rakyat secara mutlak 72,5%. Menariknya, Saied bukan hanya tidak memiliki pengalaman partai politik atau pengalaman politik yang mapan. Beliau juga tidak bergantung pada pidato politik atau kampanye massa, namun hanya mengandalkan pertemuan door to door dari rumah ke rumah untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Beliau menerapkan grounded leadership kepemimpinan akar rumput sekaligus menyiapkan revolusi baru pasca Musim Semi Arab dalam membangkitkan ekonomi dan menjamin keamanan publik.
• Kais Saied juga sangat populer di kalangan generasi muda dan pemilih pemula, karena citranya yang bersih, independen, dan dianggap sebagai solusi bagi kejenuhan terhadap pejabat politik yang koruptif dan sewenang-wenang. Kalangan relijius juga memilihnya karena dianggap sebagai paling terpelajar dan berpendidikan.
• Dalam Pemilu Legislatif, EnNahda menang karena dinilai performa kerjanya lebih baik daripada partai-partai lain. Satu hal yang juga membuat mayoritas warga Tunisia memilihnya, dibanding parpol yang sekuleristik.
• EnNahda mengamankan posisi tertinggi dengan 19,5% suara (52 kursi). Setelah Ennahda, Qalb Tunes mendapat 14,5% suara (38 kursi), Partai Demokrat mendapat 22 kursi, kemudian tiga partai terakhir masing-masing mendapat 16, 21, dan 14 kursi.
• Menariknya, di antara tujuh partai teratas, tidak ada partai yang berbasis sekuleristik. Partai yang berkuasa dan partai-partai koalisi utama sebelumnya telah secara dramatis kehilangan peringkat suara mereka, karena rakyat melihat nasionalisme bukan kenyataan politik, tapi sekedar komoditas politik hanya jargon menutupi praktik kolutif bagi-bagi kekuasaan dan praktik koruptif menambah kekayaan.
• Nidaa Tunes hanya mendapat tiga kursi, mengamankan posisi ke-10. Padahal partai ini mendapatkan 86 kursi dalam Pemilu 2014. Front Populer mendapat satu kursi, dan Afek Tounes mendapat dua kursi, sedangkan Free Patriotic Union (UPL) tidak mendapatkan kursi apa pun. Jumlah total empat partai dari pemerintah koalisi yang berkuasa ini 125 kursi dalam Pemilu 2014. Sekarang anjlok menjadi 6 kursi dalam Pemilu sekarang. Partai sekuleristik lama lainnya juga mengalami kerugian dalam hal kursi.
• Jadi, hasil ini menunjukkan hilangnya popularitas bagi partai sekuleristik. Mereka dianggap merugikan karena menciptakan pembelahan masyarakat ( social cleavages).
• Partai sekuleristik dianggap terlalu mengandalkan narasi radikalisme umat beragama sebagai komoditas politik. Sebab, rakyat merasakan sebagai kenyataan politik sebetulnya skala praktik radikalisme di Tunisia sangat kecil. Sama sekali tak bisa dipandang sebagai “representasi” umat beragama. Namun, partai sekuleristik menjadikan radikalisme umat beragama ini komoditas politik dan sebagai instrumen pemukul politik. Rakyat menyadari bahwa partai sekuleristik berupaya menutupi lemahnya kemampuan mengelola pemerintahan dan krisis ekonomi dengan membangun situasi pertarungan politik dengan membesarkan isu radikalisme ini. Partai sekuleristik menjalankan politisasi birokrasi. Sementara, rakyat mayoritas akhirnya menyadari ini merupakan jenis kejahatan politik yang melawan prinsip kebebasan sipil dan demokrasi. Rakyat Tunisia sadar, sebagai komoditas politik isu radikalisme memang dipakai pertama-tama dan terutama untuk memberangus lawan-lawan politik. Jadi naiknya isu ini tak ada kaitan dengan makin padamnya radikalisme itu. Sebab, memang bukan itu tujuannya.
• EnNahda, menghadapi model pendekatan propaganda dan operasi partai-partai sekuleristik agaknya pandai untuk mengayuh sampan di antara ancaman karang “radikalisme sebagai kenyataan politik” itu dengan karang besar “radikalisme sebagai komoditas politik”.
• EnNahda juga berhasil mempertahankan persatuan internal partai, yang mengompromikan ragam pendapat. Ini salah satu karakteristik yang menjadi faktor penting dari kepemimpinan Rachid al Ghannouchi, pemimpin utama Ennahda.
• EnNahda juga sepertinya akan berupaya membangun koalisi agar dapat mengelola pemerintahan dengan kerjasama efektif bersama Presiden Kais Saied dengan visi dan tim yang kuat.