Banyak di antara kita masih terpesona dan pada hal-hal simbolik. Tertipu tampilan luar. Terpukau pada pencitraan.
Ada pemimpin yang lompat dari motor meski memakai stuntmant, kita tercengang. Ada seorang petahana yang menggaet kyai jadi cawapresnya, kita kagum. Bahkan siap mendukungnya.
Ada pelukan antara dua capres, kita bergemuruh melontarkan puja puji. Ada presiden yang menutup Asian Games dari tenda pengungsian, kita juga berbinar-binar.
Bukan berarti kita tak boleh mengapresiasi hal yang bersifat simbolik. Silakan, tapi ada batas waktu dan nalarnya. Kendalikan dengan akal sehat dan melihat rekam jejak yang bersangkutan.
Karena ada yang lebih penting dari itu yakni substansi. Isi, bukan kulit. Wajah bukan topeng.
Apa artinya menggandeng seorang kyai jadi cawapres jika ulama masih saja dicurigai dan dibatasi dakwahnya?
Apa artinya bermanis-manis dengan umat dan ulama, keluar masuk pesantren jika suara azan via speaker saja harus diatur?
Apa artinya memeluk lawan politik jika masih saja berperilaku tak adil terhadap mereka yang meneriakkan #2019GantiPresiden?
Lihat bagaimana Ustadz Abdul Somad (UAS) yang ruang dakwahnya makin dipersempit. Dulu, saat namanya direkomendasikan Ijtima’ Ulama, mereka menghimbau agar UAS fokus di dakwah saja.
Kini, setelah UAS tak jadi cawapres, gerak dakwahnya dilokalisir. Dia diintimidasi sampai akhirnya membatalkan banyak jadwal ceramahnya di Jatim dan Jateng.
Untuk itu, jangan mudah tertipu dengan simbol. Apresiasi sejenak. Tapi tetap kritis karena kita ingin sesuatu yang substantif.
Sayangnya, saat kita mengkritisi, dianggap orang yang selalu berpikiran negatif alias nyinyir. Padahal negeri ini sudah di tepi jurang.
Utang menumpuk. Dolar menguat. Ulama dinistakan. Subdisi dicabut. Harga-harga melangiit. Dan demokrasi dikebiri atas nama keteraturan dan ketertiban, persis seperti Orde Baru.
Tapi kita dininabobokan dengan pencitraan melalui simbol-simbol. Dan banyak di antara kita yang tak menyadarinya.
Erwyn Kurniawan
Penulis