Ngelmu.co – Rasanya menarik untuk memperbincangkan sejarah pembentukan BMKG, BNPB, BNN, hingga KPK.
Terlebih, setelah Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, menyebut bahwa keempat lembaga merupakan bentukannya.
“Saya yang membuat BMKG, BNPB. Bukan bermaksud untuk menyombongkan diri. BNN, KPK, masih banyak lagi, dan lain sebagainya.”
Demikian tutur Ketua Umum PDIP itu, dalam sambutannya [secara virtual] di Rakorbangnas [Rapat Koordinasi Pembangunan Nasional] BMKG 2021.
Lantas, bagaimanakah sejarah pembentukan BMKG, BNPB, BNN, dan KPK?
BMKG
Mengutip bmkg.go.id, sebelum resmi menjadi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), LPND [lembaga pemerintah non departemen] ini bernama Badan Meteorologi dan Geofisika.
Awalnya, pada 1841 silam, pengamatan meteorologi dan geofisika di Indonesia, dilakukan secara perorangan, oleh Kepala RS di Bogor, Dr Onnen.
Kegiatan pun semakin berkembang dari tahun ke tahun, seiring dengan semakin diperlukannya data hasil pengamatan cuaca dan geofisika.
Lanjut ke tahun 1866, Pemerintah Hindia Belanda, meresmikan kegiatan pengamatan perorangan ini menjadi instansi pemerintah.
Dengan nama ‘Magnetisch en Meteorologisch Observatorium’, atau Observatorium Magnetik dan Meteorologi, dan Dr Bergsma adalah pemimpinnya.
Mereka membangun jaringan penakar hujan, pada 1879, sebanyak 74 stasiun pengamatan, di Jawa.
Di tahun 1902, pengamatan medan magnet bumi, pindah, dari Jakarta ke Bogor.
Pengamatan gempa bumi pun mulai berjalan pada 1908, dengan pemasangan komponen horisontal seismograf Wiechert di Jakarta.
Sementara pemasangan komponen vertikal, berlangsung di tahun 1928.
Sebelumnya, pada 1912, terjadi reorganisasi pengamatan meteorologi, dengan menambah jaringan sekunder.
Sedangkan penggunaan jasa meteorologi untuk penerangan, mulai berjalan di tahun 1930.
Nama instansi kembali berubah pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), dari meteorologi dan geofisika, menjadi Kisho Kauso Kusho.
Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia (1945), instansi, dipecah menjadi dua.
Biro Meteorologi berada di Yogyakarta–lingkungan Markas Tertinggi Tentara Rakyat Indonesia–khusus melayani kepentingan Angkatan Udara.
Jawatan Meteorologi dan Geofisika berada di Jakarta, tepatnya di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga.
Pemerintah Belanda, mengambil alih Jawatan Meteorologi dan Geofisika pada 21 Juli 1947, dan mengganti namanya menjadi ‘Meteorologisch en Geofisiche Dienst’.
Namun, pemerintah Indonesia tetap mempertahankan Jawatan Meteorologi dan Geofisika sebagai instansi. Terletak di Gondangdia, Jakarta.
Lalu, setelah penyerahan kedaulatan negara Republik Indonesia dari Belanda (1949), Meteorologisch en Geofisiche Dienst berubah menjadi Jawatan Meteorologi dan Geofisika.
Mereka berada di bawah Departemen Perhubungan dan Pekerjaan Umum.
Lanjut ke tahun 1950, secara resmi, Indonesia masuk sebagai anggota Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization.
Kepala Jawatan Meteorologi dan Geofisika pun menjadi ‘Permanent Representative of Indonesia with WMO’.
Pada 1955, Jawatan Meteorologi dan Geofisika, berubah nama menjadi Lembaga Meteorologi dan Geofisika–di bawah Departemen Perhubungan.
Sampai di tahun 1960, namanya kembali menjadi Jawatan Meteorologi dan Geofisika, di bawah Departemen Perhubungan Udara.
Nama instansi ini masih terus berubah, seperti pada 1965, menjadi Direktorat Meteorologi dan Geofisika.
Namun, kedudukannya tetap di bawah Departemen Perhubungan Udara.
Tahun 1972, Direktorat Meteorologi dan Geofisika, berubah nama menjadi Pusat Meteorologi dan Geofisika.
Sebagai instansi setingkat eselon II, di bawah Departemen Perhubungan.
Keputusan itu, sebelum statusnya naik menjadi instansi setingkat eselon I, dengan nama Badan Meteorologi dan Geofisika (1980).
Kedudukannya tetap berada di bawah Departemen Perhubungan.
Pada 2002, Keputusan Presiden RI Nomor 46 dan 48 tahun, mengubah struktur organisasi.
Menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), dengan nama tetap, Badan Meteorologi dan Geofisika.
Baru melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2008, Badan Meteorologi dan Geofisika, berganti nama menjadi BMKG.
Statusnya, tetap sebagai LPND, hingga Presiden Susilo Bambang Yuhoyono, mengesahkan UU RI Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, pada 1 Oktober 2009.