Oleh: Arya Sandhiyudha, Ph.D*
Sambil menunggu kawan-kawan lain berdatangan untuk main futsal rutin dengan kawan-kawan, saya menyimak perbincangan di sosmed. Salah satu topik yang paling menyita per-hati-an Saya, terkait sikap segelintir pihak yang melakukan persekusi terhadap Ustadz Abdul Somad.
Momentum itu sepertinya menghanyutkan sebagian masyarakat Indonesia dalam dalam dua perasaan mendalam: Pertama, terharu dengan *_persatuan umat Islam di Bali_* menghadapi situasi tersebut. Kedua, _*mempertanyakan toleransi Bali*_.
Dalam poin yang kedua ini Saya tergerak ingin membuat tulisan singkat ini untuk mewartakan apa yang menjadi fikiran saya tentang Bali. Tentu saja saya perlu sampaikan bahwa *Bali tak layak disebut simbol intoleransi*. Ada oknum yang sengaja ‘melupakan sejarah’ untuk mencerabut kepribadian toleran demi kepentingan sesaat. Lebih _moax_ dan _zong_ lagi kalau betul ada oknum yang melegitimasi tindakan semacam ini dengan ‘embel-embel’ Bung Karno, karena Saya dan mayoritas keluarga besar adalah pengagum Bung Karno. Bung Karno itu nasionalis sekaligus internasionalis, bukan lokalis picik.
Ini mirip ungkapan dalam Islam yang menjadi jawaban dari tragedi Bom Bali 2002, yaitu _Al Islamu Mahjubun bil Muslimin_ yang artinya kerap Islam yang indah tertutupi oleh perangai manusia-manusia yang mengaku Muslim. Sebab Islam tak pernah membenarkan terorisme. Maka, kira-kira apa yang terjadi kemarin terhadap Ustadz Abdul Somad adalah _Bali nan toleran tertutup karena intoleransi segelintir oknum di Bali_. Itulah kenapa Raja Pemecutan XI, Dr. Ida Cokorde hadir sebagai simbol bantahan tersebut. Begitupun, komentar dari Raja Jembrana Negara, _Gung Aji_ Anak Agung Gde Agung Bagus Sutedja, putra Gubernur Bali pertama yang sohib-nya Bung Karno, yang bagi Saya merupakan “pakde” di Bali, karena tersambung melalui jalur ikatan pernikahan dari keluarga besar. Kata beliau yang masih Ketua Dewan Pimpinan Kolektif Kolegian Paiketan Puri Puri Sejebeg Bali dan Forum Silaturahmi Keraton se-Nusantara (FSKN) Bali, “Apa yang terjadi itu demi kekuasaan dan terlalu di _blow-up_, maklum cari popularitas. Isi pidatonya tidak ada yang istimewa.”
Ini jelas perangai buruk dari segelintir oknum dari kalangan kawula *alit* (rakyat kecil) yang terprovokasi dan termakan manipulasi dari Aktor *elit* Politik tertentu yang mencoba mengoyak kebangsaan kita *solid* demi pertambahan suara.
Saya memahami, kenapa Raja-raja tersebut sangat sensitif, sebab memang mereka mengalami dan turut berproses dalam sebagian sejarah toleransi yang ‘mewah’ itu. Dalam kaitan toleransi Bali, itulah kepribadian aseli yang setidaknya terbentuk akibat beberapa proses:
Pertama, kepribadian yang terbentuk dari proses *”Menjadi Bali”* ( _becoming Bali_ )
Warga Bali sendiri pada mulanya adalah *potret sosial masyarakat pendatang*. Asal usul eksistensi masyarakat Bali sangat kental dengan sejarah ragam “kedatangan” Majapahit di Bali, baik di era jayanya 1343 M ataupun pasca runtuhnya 1500an M. Sehingga, Bali dan Jawa pada akhirnya sangat sulit untuk dipisahkan. Mayoritas warga Bali yang kini disebut *”asli”* pada mulanya adalah *”pendatang”* Jawa. Penulis babad yang masyhur semisal Jero Mangku Ketut Subandi, sampai menyebut kedua entitas tsb terikat “esensi kesatuan” wilayah.
Maka, dalam sejarahnya dikotomi “aseli-pendatang” tidak ada dalam kepribadian masyarakat, sebab: (1). Hindu Bali terikat erat dengan Jawa, nyaris semua resi besar di Bali berasal dari Jawa, dari Mpu Kuturan (kakeknya *Mpu Tantular* penulis Sutasoma juga muasal narasi *Bhineka Tunggal Ika*) hingga Danghyang Nirartha. (2). Babad para penguasa/ pemimpin politik juga memperlihatkan kaitan erat Jawa dan Bali. *Prabu Airlangga*, leluhur para penguasa *Jawa Timur*, adalah keturunan Udayana asli Bali. Sebaliknya, para penguasa Bali di kemudian hari tak lain berasal dari para *Arya* dari Majapahit (Jawa). Jadi Jawa berkontribusi terhadap Bali, sebaliknya Bali berkontribusi terhadap Jawa, itulah integralitas kebangsaan terejawantah dalam bentuk yang paling kongkret.
Pada mulanya Bali, dihadirkan Singasari tahun 1286 M. Kemudian hadir era Majapahit, 1343 M. Dimana I Gusti Agung Pasek Gelgel menjadi raja sejenak (1343-1352 M) dibantu para Ksatria Jawa: Arya Kenceng, Arya Kenuruhan, Arya Belog, Arya Manguri, Arya Delancang, Arya Pengalasan, Arya Wangabang, Arya Kutawindra dan beberapa Weisa: Tankober, Tanmundur, Tankaur.
Bahkan, tahun 1352 Majapahit mengutus Sri Aji Krisna Kepakisan memimpin Bali. Akhirnya, para pemimpin asal Jawa itu secara turun temurun melahirkan bangsawan Bali sampai era kini.
Setelah kehadiran Majapahit itulah orang-orang Jawa berduyun datang ke Bali, termasuk di dalam gelombangnya adalah orang-orang *Muslim*-nya.
Jadi hadirnya *Muslim* di Bali sebenarnya umumnya sudah Islam sejak di Jawa-nya, mereka *bukan hadir untuk Agenda Islamisasi* terhadap agama mayoritas penduduk yang lebih dahulu dianut.
Ini perlu dicetak tebal agar tiada upaya mereduksi lalu kemudian menjadi bahan provokasi dari bermasyarakat yang berkepribadian harmonis.
Kedua, kepribadian yang terbentuk dari proses _menyama braya_ *Mempertahankan Bali* ( _defending Bali_).
Tidak seperti tudingan penjajah Belanda yang menyebut Hindu Bali sebagai agama fanatik. Saya lebih setuju dengan simpulan ilmiah kalangan orientalis – liberal yang justru lebih percaya bahwa *Bali adalah “museum hidup” dari nilai-nilai prinsip kebangsaan Indonesia*. Hal ini terbukti dari toleransi hidup berdampingan yang dilandasi konsep _menyama braya_ (bersaudara; kombinasi kata bahasa Bali-Lombok) sehingga Hindu Bali menyebut umat Islam dengan istilah krama Slam, _nyama Slam_.
Penjajah Belanda menyebut Hindu Bali sebagai agama fanatik itu karena sakit-hati terusir akibat ejawantah konsep Menyama Braya ini top banget efeknya.
Ada dua faktor penjelasan-nya: (1) Pada mulanya, penjajah Belanda pada era kolonial mau mengontrol Bali dan Lombok dengan menggabungkannya di bawah *satu pemerintahan Keresidenan*. Akan tetapi, alih-alih mudah dikontrol atau hendak diadu domba yang terjadi malah: (2). Pemimpin dan masyarakat Bali-Lombok *bersatu untuk melawan adu domba oleh penjajah* Belanda.
Harmoni Hindu-Muslim juga secara alami pernah terjadi dalam banyak kisah dan tempat lainnya. Saya sudah mengurai sebagian di serial kebangsaan sebelum-sebelumnya.
Sebutlah satu diantaranya sejarah keberlangsungan kampung Pegayaman. Itu merupakan dampak perluasan *Mataram era Sultan Agung* (Raden Mas Rangsang/Prabu Hanyokrokusumo) ke wilayah *Jawa Timur* (Giri Kedaton, Gresik) tahun 1635/36. Hingga akhirnya memikat *Raja Buleleng* untuk *menghadapi kerajaan Hindu lain* di Bali yang merongrong eksistensi Buleleng. Pasukan Mataram yang dilibatkan seluruhnya Muslim, akhirnya menetap, serta atas kebijaksanaan Raja diberi tanah pelungguhan yang menjadi cikal bakal Muslim Jawa di Buleleng.
Jadi tidak pernah ada juga entitas Muslim itu membentuk kerajaan sendiri, biasanya mereka cukup dengan memiliki *”wakil ummat”* tapi perannya tetap integral menyokong dengan kerajaan yang sudah ada.
Ide mempertahankan eksistensi salah satu entitas dengan saling menegasikan antar entitas justru akan mengoyak kebhinekaan dan melemahkan NKRI.
Ketiga, kepribadian yang terbentuk dari sosok *Bung Karno*, yaitu *nasionalis dan internasionalis, bukan lokalis picik*.
Ada sebuah patung ‘mini’ 1,5 meter yang terletak di Jalan Veteran, Singaraja, di depan Sekolah Dasar Negeri 1 Paket Agung. Diapit oleh Kantor Bupati Buleleng, Rumah Jabatan Bupati, dan Gedung DPRD Buleleng. Kenalilah itu patung ayahanda Bung Karno, yakni Raden Soekemi Sosrodihardjo.
Ayahnya Bung Karno dulu seorang *guru Jawa* yang datang dengan *misi pendidikan* ke Buleleng, Bali yang kemudian menikahi Ida Ayu Nyoman Rai. Ibunda Bung Karno kemudian turut serta ke Jawa dan melahirkan Bung Karno. Kisah cinta dan pernikahan Raden Soekemi dan Dayu Nyoman Rai tahun 1887 adalah momen bersejarah sekaligus modal sosial perjalanan negara-bangsa ini.
Jadi kalau kini Bali ditakdirkan menjadi Ibukota pariwisata Indonesia, maka salah satu _¬taksu_ (daya pemikat)-nya adalah proses sejarah yang membentuk kepribadian yang menjadi modal sosial Bali. Bagi kaum pengusaha, mewujudnya konsep ini juga akhirnya lebih menarik untuk menjadi solusi sekaligus aset pariwisata yang sangat potensial, dibandingkan jalan pintas yang represif karena terhasut ketakutan tak berdasar ( _irrational fear_ ) terhadap suatu gejala keragaman.
Bagi _kids jaman now_, mari dengan kreatif menjaga warisan jaman old yang dapat membuat kita _the best_ dalam soal Keindonesiaan. Sebab _the future is ours_, jangan biarkan mimpi Indonesia Emas rusak dengan virus ahistoris yang membuat kita menjadi ekslusif, represif, dan anti-kemajemukan.
Penulis adalah Direktur Eksekutif MaCDIS ( Madani Center for Development and International Studies)