Ngelmu.co – Usulan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk mengubah masa jabatan Presiden menjadi tiga periode masih terus menjadi sorotan. Hal tersebut sebagaimana yang diusulkan oleh Mantan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Arief Puyuono.
Menurutnya, tujuan mengubah masa jabatan Presiden menjadi tiga periode agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dapat mencalonkan lagi pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 mendatang.
“Amendemen UUD 1945 untuk masa jabatan presiden menjadi tiga periode bagi presiden yang sudah terpilih dua kali. Agar Jokowi dan SBY bisa kembali mencalonkan lagi di Pilpres 2024,” cuit Arief Poyuono seperti dikutip dari lini masa akun Twitternya, @bumnbersatu, Sabtu (13/3/2022).
Namun, usulan tersebut tidak diindahkan oleh banyak pihak. Bahkan, beberapa tokoh publik dan para pakar politik pun dengan kompak menolak ulusan tersebut.
PKS Tolak Usulan Tersebut
Salah satu penolakan datang dari politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nur Wahid. Ketua Majelis Syura PKS itu menolak wacana jabatan Presiden diubah menjadi tiga periode. Sebab, hal tersebut dinilai bertentangan dengan reformasi.
“Dulu reformasi dihadirkan dan UUD (Undang-Undang Dasar 1945) diamandemen justru untuk membatasi masa jabatan Presiden maksimal dua kali saja,” kata Hidayat Nur Wahid (13/3/2021).
Ia juga menyebut terdapat dua alasan mengapa periode masa jabatan Presiden dibatasi. Salah satu alasannya adalah untuk menjaga iklim demokrasi.
Adapun alasan lain, yaitu untuk mengurangi dampak buruk seseorang menjabat pemimpin negara dalam waktu lama, seperti KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
“Tidak terjadi budaya KKN dan represi rezim berkuasa,” ungkapnya.
Selain itu, menurut Wakil Ketua MPR ini, bahwa amandemen UUD 1945 hanya untuk sesuatu yang urgen. Perubahan tidak bisa dilakuakn berlandaskan kepentingan satu kelompok tertentu saja.
“Apalagi kalau amendemen UUD hanya untuk mengamankan kepentingan politik kekuasaan jangka pendek seperti itu,” sebut dia.
Penolakan dari Demokrat
Senada dengan Hidayat Nur Wahid, Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Kamhar Lakumani, menegaskan bahwa masa jabatan Presiden tiga periode telah melanggar UUD 1945. Kamhar mengatakan, pembatasan masa jabatan Presiden dua periode sudah diatur dalam amandemen UUD 1945.
Sebagaimana yang kita ketahui, UUD 1945 telah mengatur mengenai masa jabatan Presiden dan wakilnya ini selama lima tahun. Dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
“Jabatan dua periode sebagai amanah reformasi untuk memastikan sirkulasi dan pergantian kepemimpinan nasional dapat berjalan tanpa sumbatan dan menghindaran pada jebakan kekuasan,” kata Kamhar seperti yang dikutip dari CNNIndonesia Ahad (14/3/2021).
Menurutnya, masa jabatan Presiden yang terlalu lama dapat memicu pada watak kekuasaan absolut. Terlebih, Indonesia sudah memiliki pengalaman yang kurang baik.
“Bahaya dari ini telah diingatkan Lord Acton ‘Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely’, bahwa kekuasaan cenderung korup, kekuasaan, mutlak benar-benar merusak” katanya.
Selain itu, ia menilai bahwa tak ada capaian yang luar biasa di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo kali ini sebagai dasar untuk melakukan amandemen UUD 1945.
“Baik itu di bidang ekonomi, politik dan hukum sebagai dispensasi. Biasa saja, malah dibidang politik dan hukum ada beberapa indikator yang mengalami penurunan,” kata dia.
Penolakan dari Tokoh NU
Penolakan lain juga disampaikan oleh tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Nadirsyah Hosen atau lebih akrab dengan sapaan Gus Nadir.
Menurut Gus Nadir, sistem demokrasi yang ada di Indonesia harus terus diperbaiki. Oleh karenya, kepada siapa pun agar tidak tergiur dengan kekuasaan sehingga ingin menjabat lebih dari dua periode.
Gus Nadir juga mengatakan, bangsa ini harus mempersiapkan generasi selanjutnya untuk memimpin Indonesia yang sesuai dengan kerangka Pancasila.
Hal tersebut ia sampaikan melalui akun Twitter pribadinya @na_dirs pada Sabtu (13/3/2021) kemarin, saat membalas cuitan Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid terait PKS yang menolak wacana tersebut.
“Setuju Syekh @hnurwahid. Kita harus terus perbaiki kualitas demokrasi. Jangan tergoda dg kekuasaan untuk memerintah melampaui dua periode. Persiapkan generasi berikutnya untuk melanjutkan kepemimpinan di NKRI dalam kerangka UUD 1945 dan Pancasila,” kata Gus Nadir.
Penolakan dari Pengamat Politik
Penolakan juga disuarakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin. Ia mengatakan jabatan Presiden cukup dua periode saja.
“Itu sudah jalan terbaik dan hasil konsesnsus nasional,” ujar Ujang Komarudin.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) ini juga menambahkan, jabatan dibatasi hanya dua periode itu agar siapa pun Presidennya tidak korup dan tidak abuse of power [penyalahgunaan kekuasaan] serta tidak terlalu lama menjabat.
“Jika presiden menjabat tiga periode dan terlalu lama, maka kekuasaannya akan korup. Apalagi saat ini korupsi sudah terjadi dimana-mana. Menurut Lord Acton, power tends to corrup. Kekuasaan itu cenderung korup atau disalahgunakan. But absolute power corrupt absolutely,” katanya.
Jika kekuasaan yang absolut, lanjutnya, korupsi juga akan absolut. Sehingga ini akan membuat rakyat marah.
“Jika sampai ada skenario presiden tiga periode, rakyat bisa marah. Legowo saja 2 periode itu jalan tengah dan jalan terbaik. Karena jika sudah 2 periode, ingin tiga periode, dan lalu ingin empat periode,” tambahnya.
Baca Juga: Jokowi: Presiden Pertama RI yang Punya Anak dan Mantu Wali Kota
Ujang juga mengingatkan, bahwa bangsa ini tidak kekurangan orang hebat. Dengan adanya wacana jabatan Presiden tiga periode seolah-seolah tak ada Capres yang layak untuk maju.
“Dan banyak capres yang akan bermunculan. Seolah-olah tak ada Capres yang layak maju itu suatu pikiran yang tak tepat,” pungkasnya.