Ngelmu.co – Tanggal 11 Desember 2019, mungkin menarik untuk menjadi episode simpel, dari sampel (contoh) entitas bangsa besar.
Yakni, hari ketika delegasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dipimpin langsung Presiden PKS, Mohamad Sohibul Iman, berkunjung ke Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI).
Seperti ucap Ketua PGI, Ibu Pdt. Henriette Hutabarat-Lebang, saat konferensi pers, ini betul-betul merupakan ‘surprise’.
Dalam dugaanku, ini bukan hanya surprise bagi PGI, tapi bagi PKS juga, ini sejarah tersendiri.
Inilah kali pertama, secara resmi, PKS ke PGI untuk ramah tamah, bercakap hingga kurang lebih dua jam.
Ini juga surprise bagi publik, karena tiga faktor.
1. Tipologi keduanya (PGI-PKS) yang dapat disebut merupakan ‘entitas keyakinan keagamaan’.
PKS memang parpol, tapi kerap menyebut diri sebagai ‘Partai Da’wah’, sehingga dapatlah kita membacanya sebagai pesan kedekatan dengan habitus ‘ummat Islam’.
2. Konteks pertemuan ini tidak terlalu lama pasca Pemilu, yang melahirkan residu pembelahan masyarakat (social cleavage), termasuk dalam isu keyakinan keagamaan.
3. Momentumnya tepat, setelah PGI selesai Kongres memilih ketua baru, dan sehari sebelum pelantikan Ketua PGI periode 2019-2024.
Sehingga, pertemuan kemarin dihadiri oleh ‘dua’ Ketua PGI, yang masih menjabat, yakni Ibu Pdt. Henriette dan yang segera dilantik, Pak Pdt. Gomar Gultom.
Ini menjadi pesan kontinuitas yang baik.
Walhasil, dialog mengenai isu-isu ‘hangat’ tak terhindarkan, mulai dari radikalisme, hingga sekulerisme di era masyarakat berorientasi ekonomi dan industri.
Melawan Industri Imajinasi Radikal dengan Dialog
Pertemuan PGI-PKS itu sendiri sudah berbicara, di mana keduanya lebih memilih ‘berdialog tentang imajinasi’, daripada langsung percaya dengan ‘dialog imajiner’, yang beredar di internal entitas masing-masing, tentang entitas lain.
Seperti kata Presiden PKS, kelangkaan komunikasi dapat menciptakan imajinasi yang negatif dan prejudice antara satu entitas terhadap entitas lain, tanpa klarifikasi.
Satu di antara tema yang terklarifikasi ketika terjadi dialog antar entitas keyakinan keagamaan semacam ini adalah memperbincangkan imajinasi negatif tentang narasi ‘radikalisme’ umat beragama.
Rakyat kerap disajikan kebingungan, manakah radikalisme sebagai kenyataan politik, dan mana yang komoditas politik.
Sebab, secara skala, praktik radikalisme faktanya sangat kecil. Namun, kerap dipaksakan menjadi ‘representasi’ umat beragama tertentu.
Maka, penting sekali me-waspadai, menjadikan imajinasi radikalisme umat beragama, sebagai industri, sementara upaya memberantas fakta radikalisme itu sendiri justru sangat minim.
Dalam perbedaan yang keduanya miliki, pertemuan PGI-PKS layak diapresiasi, karena telah berani untuk saling bercakap.
Tentu saja seperti kata Ibu Pdt. Henriette, ini adalah langkah untuk menemukan kesamaan dan kerja sama menghadapi ancaman egoisme, individualistis, konsumtif, serakah, yang dapat memecah belah bangsa.
PGI-PKS, nampaknya sama-sama tidak happy dengan simplifikasi dalam melihat entitas keyakinan keragaman masing-masing yang faktanya beragam.
Namun, se-akan kerap hanya spektrum tertentu yang di-angkat-di-ungkit, sehingga membuatnya ‘tertuduh’ sebagai sumber ekstrimitas dan radikalisme.
Keduanya, PGI-PKS meyakini, religiusitas justru obat mujarab dari penyebab rusaknya kebersamaan.
Sebagai organisasi di ranahnya masing-masing, keduanya meyakini perlunya menjaga peran melakukan moderasi terhadap entitas keyakinan keagamaan masing-masing.
Tidak melakukan kekerasan, tidak serakah dan mementingkan diri sendiri, saling memaafkan, rekonsiliasi, dan memperjuangkan keadilan.
Masyarakat Pasca-Sekuler dengan Relijiusitas Moderat
Masyarakat ‘pasca-sekuler’ gagasan terbaru Jurgen Habermas, menjelaskan kebangkitan signifikansi agama dalam mewujudkan cita-cita mulia keadilan, kemanusiaan, kesejahteraan di ruang publik.
Keinginan PGI-PKS untuk sama-sama membangun manusia Indonesia yang religius, mungkin salah satu cermin masyarakat pasca-sekuler itu, religius, moderat (wasathiyah), dan dialogis.
Sekulerisme pragmatis kerap digunakan sebagai instrumen politik, untuk menutupi lemahnya kemampuan mengelola pemerintahan.
Dan krisis ekonomi dengan membangun situasi pertarungan politik.
Dengan membesarkan isu radikalisme ini, tanpa peduli apakah radikalisme benar-benar padam atau tidak, karena bukan itu tujuannya.
Gagasan bahwa agama mesti dipisahkan jauh dari negara, kini telah banyak yang meninjau ulang.
Kesadaran ini muncul, lebih kepada melihat agama memainkan peran penting dalam politik dan peristiwa global saat ini.
Oleh karenanya, justru dialog antar agama dapat memainkan peran sebagai katalis dan tren masa depan, dalam komunikasi budaya.
Dialog antar agama, dapat menjadi cara untuk mencegah antar entitas berbasis keyakinan keagamaan memiliki imajinasinya sendiri, terhadap entitas keyakinan keagamaan lainnya.
Ekonomi, Industri, dan Modal Sosial
Mungkin ada saja yang skeptis, bahwa pertemuan dua entitas keyakinan keagamaan yang berbeda seperti PGI-PKS ini, tidak akan berdampak pada tujuan-tujuan materiil.
Rasanya kita perlu memberikan kesempatan dan waktu, sekaligus pembuktian tentang tesis yang mengatakan dialog antar peradaban, saling percaya, akan menjadi modal sosial yang baik untuk kemajuan masyarakat berorientasi ekonomi dan industri.
Jangankan untuk Indonesia, Fukuyama menyebutkan, bahkan kekuatan industri yang mapan seperti AS, Kanada, Cina, Jerman, Italia, Jepang, Korea, dan kawan-kawan.
Mereka tetap membutuhkan modal sosial yang baik.
Baca Juga: Pasca Silaturahmi Kebangsaan, PGI Ingin Titip Aspirasi Lewat PKS
Bagaimanapun, masyarakat berorientasi ekonomi dan industri, tetap membutuhkan konsensus moral dan prinsip kerja sama, agar lebih mudah menekan biaya transaksi, dan sekaligus dapat meningkatkan daya saing.
Fukuyama mengatakan, bahwa negara dengan kekuatan industri mapan pun, apabila terjangkit individualisme akut, dan tidak peduli persahabatan, maka akan bermasalah dalam banyak aspek non-ekonomi.
Misalnya, penurunan kehadiran ibadat jemaat di gereja, dan keanggotaan dalam organisasi persaudaraan atau sukarela, akan berimplikasi pada tingkat perceraian.
Di mana itu, dalam beberapa aspek, dapat menguras modal sosial yang ujungnya juga akan berdampak ekonomi.
Jadi, ketika Fukuyama menawarkan teori umum kemakmuran dalam The End of History and the Last Man (1992).
Fukuyama seperti mengatakan:
“Lihatlah ‘budaya’, kemewahan visi etik yang juga akan berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat”.
Dalam modal sosial itu, kita tidak bisa menafikan, bahwa kesaling-percayaan, juga bersumber dari nilai-nilai tradisi dan agama.
Itu semua diyakini Fukuyama, dapat meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan komersil dari masyarakat, yang berorientasi ekonomi dan industri.
PGI-PKS, tentu bukan satu-satunya sampel, tapi sejarah pertama keduanya bertemu dan berdialog ini, layak dirayakan sebagai episode baru dialog antar peradaban.
Ciri penguatan karakter bangsa besar.
Oleh: Arya Sandhiyudha, Ph.D
Direktur Eksekutif, The Indonesian Democracy Initiative (TIDI)