Oleh: Masz Ton
“JIKA kita menang, kita ambil putra-putri terbaik Indonesia, dari manapun asalnya. Kalau ada yang terbaik di PDIP kita ambil….!”
Ini penggalan kalimat seorang Prabowo Subianto. Kalimat ini diucapkan bukan dalam forum kampanye, bukan dalam forum diskusi publik. Tapi dari obrolan santai terbatas dengan tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.
Jika itu diucapkan dalam forum kampanye atau diskusi publik, orang tentu menduga PS sedang melakukan pencitraan. Sedang pura-pura baik mau mengajak lawannya bersama-sama membangun Indonesia. Orang akan anggap ada tujuan elektoral di balik kata-kata manisnya itu.
Karena diucapkan dalam forum terbatas, diskusi dengan orang-orang lingkaran dekatnya. Orang-orang Ring 1. Tidak terpublikasi. Maka jelas tidak ada kepentingan elektoral di balik kata-katanya.
Kalimat itu tulus. Keluar dari mulut seorang warga negara yang mencintai negaranya. Mencintai persatuan dan kesatuan, yang selama puluhan tahun di jaganya dalam posisinya sebagai prajurit Sapta Marga. Demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, juga kedaulatan bangsa, nyawanya pun rela di letakan di ujung bedil dan belati.
PS tidak Omdo dengan kalimat itu. Dia sudah membuktikannya saat mengusung Anies Rasyid Baswedan pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2016 lalu. Padahal publik tahu siapa Anies di Pilpres tahun 2014. Jejak digitalnya masih ada hingga kini, Bagaimana dia dengan narasinya yang memikat mengajak masyarakat untuk tidak memilih PS dengan bumbu cerita-cerita seram seputar sepak terjang PS.
Apakah PS dendam. Tidak. Dia ambil Anies. Dia abaikan suara-suara di sekitarnya yang menolak keras Anies karena rekam jejaknya yang menjelek-jelekan PS. Mau tau apa yang dikatakan PS ketika itu? “Kalau sudah urusan negara, kesampingkan urusan personal”.
Inilah yang menjelaskan kenapa dalam dua debat Pilpres, PS sama sekali tidak offensif. Tidak mau menyerang. Bahkan ketika perdebatan masuk ke ranah pribadi. Menyinggung persoalan-persoalan yang tidak pantas masuk arena debat Presidensial.
Pada serangan di debat pertama, Sandi minta ijin untuk membalas. PS melarang. Pun PS melarang Sandi mengeluarkan bahan serangan yang sudah disiapkan sebelum debat dimulai.
Para pendamping, tim debat, semua kesal, marah, gregetan. Bukannya membalas serangan, PS malah berulangkali mengucapkan kata ‘sepakat’, ‘setuju’, ‘sependapat’ terhadap apa yang diucapkan lawan debatnya. Bahkan dia bilang kalau jalan pikirannya sama buat apa mendebat. “Untuk apa kita diadu-adu”. Duh…..
Di grup-grup relawan Prabowo-Sandi muncul beragam komentar kecewa. Yang timses tidak becus, tim debat kurang bisa memoles paslon, dan komen miring lainnya. Penonton kuciwa pendeknya.
Sementara di kubu mitra debat sorak sorai membahana. Merasa bangga jagoannya berhasil memojokkan PS. Merasa menang debat. Meskipun itu tak berlangsung lama. Fact check, cek fakta yang berseliweran di medsos meruntuhkan ‘kemenangan’.
Alih-alih merayakan kemenangan, tim sukses, pendukung, relawan petahana malah sibuk klarifikasi data-data salah yang tersampaikan di debat. Sibuk cari cara pembenaran.
Dalam percakapan dengan tim di sela acara debat, dia sempat berucap, pertarungan ini sangat keras. Kalau saya ikut-ikutan menyerang khawatir perseteruan di bawah makin mengkristal. Khawatir karena urusan elektoral muncul konflik horizontal. Karena itu dia memilih jalan damai. Jalan negarawan. Jalan yang memang semestinya ditempuh pemimpin. Jalan Presidensial.