Tiba-tiba saja ada yang menanyakan pernyataan seseorang bahwa kitab suci itu fiksi. Saya sebenarnya tidak tertarik dengan isu-isu semacam ini, meskipun di satu sisi hal tersebut justru membuktikan kebenaran Al-Qur’an yang tidak ada sedikit pun keraguan di dalamnya. Bukankah Al-Qur’an telah mengabarkan kepada kita mengenai anggapan orang-orang kafir bahwa Al-Qur’an itu bagi mereka hanyalah dongeng (fiksi)? Jadi, jika benar ada pernyataan seperti itu, justru menunjukkan kepada kita kebenaran Al-Qur’an
Tetapi bagi saya, bukan sikap reaktif yang perlu kita tunjukkan. Yang kita perlukan adalah duduk baik-baik untuk belajar dengan tekun mengenai agama kita sendiri yang jangan-jangan kita pun merasa asing dengannya. Betapa banyak orang yang berbicara menggunakan istilah agama, sementara pengertian dan pemahamannya justru tak dikenal oleh orang-orang terdahulu yang mempelajari agama ini. Betapa sering saya mendengar orang menggunakan ungkapan agama, tetapi pengertiannya jauh berbeda dengan yang ada dalam agama. Di saat yang sama, istilah yang bahkan seharusnya sudah kita kenal akrab sebelum berusia 10 tahun, saat disebut pun masih banyak yang sangat asing dengannya.
Apa artinya? Bahkan kita yang sudah sangat bersemangat kepada Islam pun masih perlu belajar lebih banyak dasar-dasar Islam atau malah pengetahuan Islam tingkat dasar. Maka, dalam beberapa urusan saya diam, bukan karena tak peduli, tetapi khawatir terjatuh pada keadaan sebagaimana yang dimaksud oleh Imam Al-Ghazali _rahimahullah ta’ala:_
*لَوْ سَكَتَ مَنْ لاَ يَعْرِفُ قَلَّ الاخْتِلاَف*ُ
“Seandainya orang bodoh itu diam, niscaya akan sedikitlah perselisihan.”
Nasehat Imam Al-Ghazali ini mengingatkan kita kepada perkataan yang dinisbahkan kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, nasehat yang sangat mirip:
لو سكت من لايعلم سقط الخلاف
“Andai yang tak berilmu mau diam sejenak; niscaya gugurlah perselisihan yang banyak.”
Apa yang akan terjadi jika kita tergesa-gesa menilai, menyebar-luaskan penilaian, tanpa bekal yang mencukupi? Kita dapat terjatuh (na’udzubillahi min dzalik) pada keadaan sebagaimana disebutkan dalam sebuah nasehat:
لو سكت الجاهل ما انتشر الجهل
“Seandainya orang-orang yang bodoh itu diam, niscaya kebodohan tidak akan tersebar.”
Apa maknanya? Bermudah-mudah mengomentari segala peristiwa bahkan urusan yang kita tidak tahu menahu mengenai hal tersebut akan menyebabkan terjadinya perselisihan yang banyak, mengobarkan gesekan dan menambah kebodohan di tengah-tengah masyarakat. Kebodohan itu kian merata sehingga kita semakin sibuk dengannya, sementara kebodohan itu sendiri tak kunjung kita atasi dengan bersungguh-sungguh belajar mengenai agama ini.
Tetapi ada yang mengingatkan bahwa tidak pantas seorang ulama diam saja melihat keadaan yang ada. Maka, sungguh saya ingin katakan bahwa saya bukanlah ulama. Saya sangat ingin menjadi ulama, tetapi saya masih terlalu jauh dari kualifikasi sebagai ulama. Pada saat yang sama, jika saya memiliki kompetensi pada suatu bidang dalam agama ini, bukan berarti saya memiliki kedalaman ilmu yang memadai dalam berbagai cabang ilmu agama. Padahal yang dianggap sebagai kompetensi saya pun, ilmu saya masih sangat sedikit.
Lalu bagaimana dengan pernyataan seseorang bahwa kitab suci itu fiksi? Baiklah, mari kita gunakan agama ini sebagai takarannya. Saya sendiri tidak melihat tayangan tersebut karena saya tidak mempunyai TV. Karena itu saya akan berbicara mengenai kaidah umum.
Pertama, orang yang mengemukakan pernyataan tersebut apakah memaksudkan secara khusus tentang kitab suci agama kita atau tidak? Jika iya, kita perlu telusuri lebih lanjut maksud dari perkataan itu secara utuh. Jangan sampai terjadi kasus sebagaimana kemarahan Imam Adz-Dzuhli kepada muridnya, yakni Imam Al-Bukhari. Jika tidak, mengapa kita sibuk dengan sesuatu yang tidak dialamatkan secara pasti kepada kita??!
Kedua, pernyataan tersebut dikemukakan oleh seorang muslim atau bukan? Jika pertanyaan pertama berkait dengan obyeknya, yakni Al-Qur’an maupun bagiannya _(semisal Surat Al-Ma’idah),_ maka pertanyaan kedua lebih berkait dengan keyakinan orang yang menyatakan. Jika ia bukan seorang muslim, tidak pula memaksudkan perkataannya tersebut dengan Al-Qur’anul Karim, tetapi mengemukakannya sebagai pandangan pribadi terhadap yang dianggap sebagai kitab suci secara umum, maka apa urusannya dengan kita? Yang berhak untuk tersinggung atau tidak ya yang seagama dengannya karena itu kan berhubungan dengan penghayatan maupun keyakinannya kepada kitab suci agamanya. Kalau seorang muslim didorong untuk melaporkan seseorang karena perkataan berdasar keyakinannya kepada kitab suci agamanya, apakah bukan justru tindakan mencampuri agama lain? Jadi, sebagai seorang yang menghormati pemeluk agama lain, sangat tidak pas jika kita melaporkan seseorang karena perkataannya tentang kitab suci, sedangkan perkataan tersebut tidak ditujukan secara khusus kepada Al-Qur’an.
Ini baru dari dua aspek saja. Banyak hal lain yang bersifat kaidah umum yang perlu kita cermati dan pahami. Yang jelas, sejauh perkataan tersebut tidak ditujukan kepada kitabuLlah, kita tidak dapat gegabah menudingnya sebab boleh jadi itu berkait dengan keyakinan seseorang berdasarkan apa ia pahami dari agamanya. Tugas kita adalah belajar dan mengakrabi agama kita sendiri, kitab suci kita sendiri, yakni Al-Qur’an dan berusaha tadabbur.
Pada saat yang sama, mari kita ingat kembali firman Allah Ta’ala:
وَمِنْهُم مَّن يَسْتَمِعُ إِلَيْكَ ۖ وَجَعَلْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَن يَفْقَهُوهُ وَفِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرًۭا ۚ وَإِن يَرَوْا۟ كُلَّ ءَايَةٍۢ لَّا يُؤْمِنُوا۟ بِهَا ۚ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءُوكَ يُجَـٰدِلُونَكَ يَقُولُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ إِنْ هَـٰذَآ إِلَّآ أَسَـٰطِيرُ ٱلْأَوَّلِينَ
Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkani (bacaan)mu, padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya. Dan jikapun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata: “Al-Quran ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu.” (QS. Al-An’am, 6: 25).
Ayat ini memberi gambaran yang jelas kepada kita bagaimana orang kafir, baik yang memegangi agamanya maupun tidak meyakini adanya tuhan yang patut disembah, menganggap kitabuLlah sebagai dongeng. Maka, Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.
Satu hal yang sering saya tekankan, sekali lagi, tak perlu meminjam perkataan orang yang tidak mengimani agama ini untuk menunjukkan kebenaran Islam. Kita telah belajar dari ilmu hadis bahwa matan (redaksi perkataan) saja tak cukup menjadi dasar untuk menggunakan sebagai pegangan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Mohammad Fauzil Adhim