Tak lama setelah matahari terbenam, Kamis 09/08/2018, yakni hampir tiga puluh enam jam sebelum batas akhir pendaftaran pasangan capres dan cawapres untuk 2019, akhirnya Jokowi mengumumkan bahwa koalisi partai-partai pengusungnya telah bersepakat untuk memasangkan dirinya dengan Ma’ruf Amin, Ketua MUI yang masih merangkap jabatan sebagai Ro’is Syuriah PBNU.
Pencalonan Mahfud MD sebagai cawapres Jokowi yang telah tersiar luas sebelumnya, dibatalkan. Menjelang senja, ia tersingkir dari panggung politik yang sedang ditonton khalayak dari seluruh penjuru.
Bagai menyaksikan sinetron yang menghentak-hentak emosi. Tidak menghibur, bahkan merusak keadaban dalam berpolitik.
Politik Negarawan
Di kawasan selatan Jakarta, dinamika perundingan politik berjalan lebih senyap namun banyak tikungan dan kelokan yang berliku-liku.
Habib Salim Segaf Aljufrie, Ketua Majelis Syuro PKS, tidak dipilih oleh Prabowo menjadi cawapres yang akan mendampinginya, walaupun namanya jelas tegas direkomendasikan sebagai Calon Wakil Presiden dalam Ijtimak Ulama yang disponsori GNPF Ulama pada akhir bulan Juli yang lalu. Nama Habib Salim telah muncul sebagai satu diantara sembilan capres/cawapres yang ditetapkan oleh Musyawarah Majelis Syuro PKS pada awal tahun ini.
Rekomendasi Ijtimak Ulama itu telah memicu perdebatan publik sepanjang dua pekan mengenai perlunya melahirkan pemimpin Indonesia yang mencerminkan perpaduan antara karakter nasionalis dengan religius, namun tidak berhasil meyakinkan Prabowo.
Tarik-ulur dalam perundingan tertutup antar partai-partai (calon) koalisi pengusungnya tentulah terjadi, melibatkan juga para elite ulama, aktifis dan politisi.
Mestinya Prabowo tak mengabaikan perjanjian kerjasama untuk pilpres 2019 yang pernah dibuat secara eksklusif antara Partai Gerindra dengan PKS , delapan bulan sebelumnya.
Nama Sandiaga Salahudin Uno menyeruak (lagi) ke panggung “copras-capres”, walaupun Wakil Gubernur DKI Jakarta itu baru naik tahta empat bulan saja.
Dalam jajaran pejabat teras Partai Gerindra, nama Sandi tercantum sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina.
Prabowo akhirnya memilih berduet dengan yang muda, saudagar dan kabarnya tergolong taat beragama.
Pimpinan PKS akhirnya mengundang (kembali) Prabowo untuk bertemu, pada Kamis 09/08/2018 sore menjelang matahari terbenam, untuk menyampaikan secara resmi dan secara langsung mengenai pokok-pokok persetujuan hasil perundingan panjang yang telah dijalani bersama-sama sejak 6 Desember 2017.
Dalam pidato deklarasi koalisi partai-partai untuk pengusungan paslon pada Kamis tengah malam, Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman memberi label “santri post-Islamisme” kepada Sandiaga Solahudin Uno, agar khalayak ramai dapat segera mengenali karakter nasionalis-religius yang melekat pada paslon yang diusung koalisi tiga partai (PKS, Gerindra dan PAN) yang telah terbentuk secara “de jure” dan “de facto” menjelang deklarasi.
Habib Salim bahkan berpantun, mengaitkan antara pesantren, “keren” dengan PKS yang tetap konsisten memperjuangkan ganti Presiden.
Pimpinan PKS telah menegaskan kembali misi utama dalam membentuk koalisi partai-partai untuk menantang petahana Jokowi, yakni merealisasikan kampanye tagar #2019gantipresiden serta tetap istiqomah bersama perjuangan ummat.
Pada umumnya, khalayak ramai melihat hasil akhir dari proses perundingan politik itu sebagai teladan dari Habib Salim yang mencerminkan seorang ulama yang berkarakter negarawan.
Sebagian lain terperangkap pikiran negatif : PKS saat ini kalah berunding melawan duet antara pakar strategi perang dengan “professional fund manager”.
Ada juga yang menafsir dengan pelajaran yang diambil dari “kekalahan” dalam perundingan Hudaibiyah, padahal terbukti menghasilkan kemenangan yang lebih besar dan lebih nyata di masa depan.
Kolaborasi Politik
Pada saat ini, tak satu partai politik pun yang dapat maju sendirian mendaftarkan paslon untuk pilpres 2019, karena terhalang oleh ketentuan ambang batas 20 % kursi parlemen nasional atau 25 % perolehan suara sah.
Ada partai-partai yang memperoleh keleluasaan membangun koalisi cukup dengan dua partai saja diantara mereka : PDIP, Golkar dan Gerindra.
Sisanya, mereka musti saling bekerjasama tiga partai atau lebih untuk mencapai kecukupan syarat electoral threshold partai atau gabungan partai-partai peserta pilpres 2019.
Kompromi-kompromi politik menjadi prasyarat agar dapat memastikan pengamanan bottomline setiap partai : terhindar dari ancaman diskualifikasi dalam pemilu parlemen 2014 akibat “pasal karet” UU Pemilu serentak itu. Tak sepatutnya ada partai yang memilih abstain dalam pilpres 2019.
Ada lagi yang menjadi perbincangan publik, yakni terpampangnya wajah sang Capres atau Cawapres 2019 dalam kertas suara diharapkan dapat mendongkrak perolehan kursi parlemen partainya.
Yang tak memperoleh portofolio capres atau cawapres, daya dongkrak pilpres terhadap hasil pemilu parlemen dikhawatirkan rendah. Para pakar menyebutnya coat-tail effects.
Spekulasi
Analisis yang lebih jauh dan lebih mendalam mencoba melihat bahwa pilpres tahun 2019 hanyalah jembatan bagi generasi baru para calon pemimpin Indonesia yang akan berlaga pada tahun 2024.
Menurut partai-partai koalisi yang mengusungnya, Cawapres Jokowi haruslah mereka yang tampak bersahabat dengan kaum muslimin, sehingga berfungsi ganda dan kontradiktif : memastikan Jokowi tetap berkuasa selama dua periode dengan cara menunggangi arus kebangkitan politik Islam, namun pada saat yang sama orang itu tidak prospektif menjadi calon petahana pada 2024.
Dengan kontradiksi itu, semua kandidat presiden dan wakil presiden pada pilpres 2024 diharapkan “start from zero”.
Nampaknya Sandiaga Uno berusaha menempuh jalan sebaliknya.
Jika sukses dalam pilpres 2019, ia berharap memperoleh limpahan sumberdaya dan kesempatan agar dapat maju tanpa hambatan yang berarti sebagai kandidat petahana pada 2024.
Ada juga spekulasi yang melihat perlombaan menuju puncak kekuasaan ini sebagai bagian penting dari strategi mengelola personal brand sembari mencari peluang mendongkrak nilai saham-saham(nya) di lantai bursa.
Nalar spekulatif itu tentu mencerminkan analisis yang berpihak pada doktrin politik sekular, yang sungguh-sungguh bercorak Machiavelist : “Never Conceal Your True Intentions”.
What Next?
Jokowi telah bergeser ke “kanan”, tetapi Prabowo tergoda oleh ikon “millenials”. Mengapa ?
Mungkin kubu yang satu merasa risau dengan label anti Islam, sedangkan yang lain percaya diri karena namanya telah tertulis dalam Rekomendasi Ijtimak Ulama.
Mungkin mereka membaca potensi pasar pemilih 2019 dengan kacamata yang berbeda.
Yang satu menelisik dengan cermat arus perubahan “lifestyles” terkait kekalahan Ahok di pilkada Jakarta 2017, sementara yang lain mencukupkan diri dengan pemetaan “political demography”. Mungkin.
Menggabungkan dua sudut pandang itu niscaya dapat menjadikannya sebagai peta pasar calon pemilih yang utuh.
Begitu.
Allahu’alam bishshowwaab
Jakarta, 10/08/2018
SMS