Ngelmu.co – Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuziy, mencuitkan tiga pernyataan kontroversi di akun Twitternya terkait sejumlah pihak yang dianggap Rommy telah nyinyir terhadap pemerintah pada hari Jumat (20/4) lalu. Tanpa menyebut ‘pelaku’, Romy, sapaan Romahurmuziy, menyindir alasan sejumlah pihak yang kerap ‘nyinyir’ terhadap pemerintahan.
Romy menuliskan “Dan diantara sebab2 orang yg nyinyir terhadap pemerintahan adalah:
- Tak kebagian kuasa;
- Pernah menikmati kuasa namun tidak lagi; dan
- Orang yang kepengen berkuasa tapi belum kesampaian keinginannya. Jadi, ini soal siapa makan kue saja. The end.
Baca juga: Daripada Urusi Partai Lain, Romy Harusnya Urus Saja PPP dan Ahok
Tak diketahui pasti istilah nyinyir yang dimaksud Romy dalam tweet nya tersebut. Namun saat ini, istilah nyinyir kerap diartikan sebagai istilah menyindir.
Terkait cuitan Romy tersebut, Ketua DPP Gerindra Bidang Advokasi dan Hukum, Habiburokhman, ikut memberikan tanggapan terhadap cuitan nyinyir Romy tersebut. Habiburokhman menyindir Romy yang kini berada di kubu pemerintah.
Habiburokhman menyatakan bahwa di negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, kritikan dan sindiran terhadap pemerintah wajar dan sangat perlu dilakukan. Sebab, menurut Habiburokhman, hak untuk menyampaikan pendapat dari masyarakat masuk serta dilindungi oleh konstitusi negara.
“Aturannya jelas, aturan mainnya jelas, konstitusi, jadi bukan hanya konsitusi ya, tapi Pasal 28 UUD 1945 itu juga merupakan hak dasar asasi manusia, di deklarasi universal HAM pasal 28, gitu lho, hak konstitusi, hak asasi, hak hukum, jadi enggak jelas itu, kalau tiga hal penting tersebut seolah diabaikan, hanya dengan pransangka buruk bahwa itu karena tidak mendapat kekuasaan atau lainnya. Pak Romy ini belajarnya di mana? Kita kan bebas menyampaikan pendapat. Itu sangat disayangkan sekali,” ujar Habiburokhman seperti yang dilansir oleh Kumparan, Minggu (22/4) malam.
Diketahui memang samapai sejauh ini PPP mengklaim cukup setia mendukung pemerintahan Joko Widodo. Bahkan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang, Romy selaku ketum partai, juga terang-terangan mendekatkan dirinya ke orang nomor satu di Indonesia, Jokowi.
Ketika disinggung terkait kepentingan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Habiburokhman menilai, sebaiknya Romy tak perlu bermanuver seperti itu. Sembari berkelakar, pria yang juga aktif di Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) itu, mengingatkan Romy ihwal perjuangan bangsa yang susah payah membangun reformasi.
Baca juga: Sindir Pengkritik Pemerintah, Gus Romy PPP Panen Bully Fadli Zon dan Netizen
“Tapi kan ya jangan gitu amat. Kalau hanya demi mendapatkan kursi cawapres begitu, apa karena beliau berambisi menjadi cawapres? Kemudian menyampaikan pendapat yang terkesan membabi buta. Kita ini ya, Pak Romy, susah payah merebut demokrasi. Dulu memang, zaman dulu, sebelum reformasi kalau itu bahkan dibilang menunggangi. Kalau sekarang harusnya kita menikmati tradisi demokrasi, misalkan mengkritik. Pemerintah mana yang enggak perlu kritik masyarakat?” tutur Habiburokhman.
Menurut Habiburokhman, jika pemerintah tidak dikritik dan hanya dijejali hal-hal baik, Indonesia akan terancam pada situasi yang buruk. Habiburokhman menklaim bahwa kritik itu dilakukan untuk memperbaiki negara. Habiburokhman juga menyampaikan bahwa saat seseorang menyampaikan pendapat atau kritikan dilindungi oleh tiga lapis, yaitu, Hak konstitusi, Hak Asasi Manusia dan Hak Hukum.
“Jadi dasarnya ada tiga lapis ya. Hak Konstitusi, Hak Asasi Manusia dan Hak Hukum. Itu aturannya sudah sangat fundamental. Meskinya seorang ketua parpol sangat paham lah ya aturan main itu,” ujar Habiburokhman.
Habiburokhman menyampaikan alasan mengapa pemerintahan Jokowi perlu dikritik, yaitu melihat ekonomi hingga hukum Indonesia saat ini. Sehingga, Habiburokhman menegaskan, pemerintah tak perlu merasa alergi dikritik. Jika terus menampik, Habiburokhman mengkahwatirkan, Indonesia akan memiliki pemerintahan diktator.
“Kritik kok dibilang nyinyir ya? Sekarang gini, kalau kritik soal ekonomi, dulu harapan masyarakat, Jokowi berkuasa, dolar di bawah sepuluh ribu rupiah. Ternyata faktanya sekarang Rp 13 ribu hampir Rp 14 ribu. Pertumbuhan ekonomi dikatakan akan tujuh persen, ternyata enggak sampai. Harga-harga melambung tinggi. Lalu di bidang hukum, banyak terjadi tuduhan standar ganda. Nah, kalau itu kita enggak boleh kritik, waduh sangat memprihatinkan sekali gitu lho,” ungkap Habiburokhman.