Ngelmu.co – Banyaknya kepala daerah di berbagai daerah, khususnya di Jateng yang tersandung kasus korupsi. Bayangkan, untuk di daerah kantong PDIP, Jawa Tengah saja ada 33 kepala daerah yang ditangkap melalui Operasi Tangkap Tangan alias OTT KPK karena kasus korupsi. Termasuk dua kader PDIP yang baru-baru ini ditangkap KPK yakni Walikota Blitar Samanhudi dan Bupati Tulungagung Sahri Mulyo yang juga calon bupati terkuat.
Banyaknya kepala daerah yang tersandung korupsi ini, tentu saja membuat roda pemerintahan rusak. Bisa dipastikan akan berakibat pada kemiskinan yang semakin besar dan rakyat semakin menderita. Sebabnya, anggaran yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat, justru dinikmati kepentingan sendiri.
Menanggapi hal tersebut, PDIP mengkritisi kinerja KPK yang masih fokus pada Operasi Tangkap Tangan (OTT), dibandingkan sistem pencegahan korupsi. Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menilai bahwa kesan yang muncul dari OTT ini adanya kepentingan politik ini. Hasto memberikan contoh seperti pada kasus OTT terhadap Samanhudi dan Sahri Mulyo.
“Mereka berdua tidak terkena OTT secara langsung. Namun mengapa beberapa media online tertentu di Jakarta dalam waktu yang sangat singkat memberitakan OTT kedua orang tersebut, seakan menggambarkan bahwa keduanya sudah menjadi target dan memang harus ditangkap baik melalui OTT langsung maupun tidak langsung,” ujar Hasto dalam keterangan kepada wartawan, Ahad (10/6), dikutip dari Republika.
Hasto mempertanyakan proses penangkapan OTT KPK. Hastomenuturkan bahwa yang ditangkap di Kota Blitar faktanya seorang penjahit, dan bukan pejabat negara. Begitu juga di Kab Tulungagung seorang kepala dinas dan perantara, bukan Sahri Mulyo. Namun, keduanya lalu dikembangkan bahwa hal tersebut sebagai OTT terhadap Samanhudi dan Sahri Mulyo.
“Ada apa dibalik ini?,” ucapnya.
Hasto menyatakan bahwa berbagai OTT yang dilakukan KPK, merupakan bukti sistem pecegahan korupsi KPK selama ini masih sangat lemah atau ‘mandul’. Hasto Kristiyanto menegaskan PDIP ikut geram dan marah dengan kader yang melakukan tindak pidana korupsi. Namun PDIP menilai OTT yang dilakukan KPK selama ini memiliki kecenderungan menargetkan hanya pada pejabat negara yang memiliki eletabilitas tinggi.
“Kami sudah memberikan sanksi tertinggi yang bisa kami lakukan, yaitu pemecatan seketika, tidak mendapat bantuan hukum dan mengakhiri karir politiknya,” kata Hasto.
Baca juga: Sumbang 33 Kepala Daerah, Jateng Darurat Korupsi
Sudah begitu banyak kepala daerah yang sudah ditangkap. Pada kenyataannya, menurut dia, saat ini publik disuguhkan menikmati drama OTT tersebut secara asyik.
“Apakah memang sudah begitu rusak karakter dan mentalitas pejabat bangsa ini, atau karena sistem pemilihan langsung yang mendorong sikap koruptif, atau pencegahan korupsi yang mandul?,” imbuh Hasto.
Hasto menegaskan bahwa PDIP jelas mendukung sepenuhnya pemberantasan korupsi. Dan ia mengklaim PDIP tercatat sebagai Partai yang langsung memberikan sanksi maksimum bagi para koruptor.
Namun, Hasto menanyakan terkait dengan OTT di Blitar dan Tulungagung yang menyasar kader PDIP. Hasto mempertanyakan apakah OTT KPK tersebut murni merupakan pemberantasan hukum atau ada kepentingan politik yang mempengaruhinya.
“Saat ini saya sedang berada di Kota Blitar dan Tulungagung. Banyak yang bertanya, apakah OTT ini murni upaya pemberantasan hukum, atau sebaliknya, ada kepentingan politik yang mempengaruhinya?,” kata Hasto.
Hal itu dikarenakan, kata Hasto, mengingat yang menjadi sasaran adalah mereka yang memiliki elektabilitas tertinggi dan merupakan pemimpin yang sangat mengakar. Samanhudi misalnya, terpilih kedua kalinya dengan suara lebih dari 92 persen.
Hasto menegaskan bahwa PDIP sejatinya memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada KPK. Manakala OTT tersebut dilakukan dengan berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dalam hukum dan sesuai mekanisme hukum itu sendiri. Sayangnya, ia mensinyalir OTT tersebut dipengaruhi oleh kontestasi pilkada. Sebab, tidak ada yang bisa memastikan segala sesuatunya dilakukan secara proper dan sesuai mekanisme hukum yang jujur dan berkeadilan.
Hasto menyatakan bahwa di masa lalu, hal itu juga pernah dilakukan oknum KPK, misal terkait dengan pencoretan bakal calon menteri yang dilakukan tidak sesuai prosedur. Demikian juga soal kebocoran sprindik Anas Urbaningrum misalnya.
Hasto berharap KPK melakukan kinerjanya sesuai dengan SOP yang ada, dan OTT KPK yang dilakukan tanpa kepentingan subyektif demi agenda tertentu. Karena bila hal ini terjadi, maka banyaknya pejabat daerah yang terkena OTT KPK tidak hanya membuat pemerintahan daerah pincang akibat korupsi. Tetapi lebih jauh lagi, hal tersebut sudah menyentuh aspek yang paling mendasar, kegagalan sistem pencegahan korupsi negara.