UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 [penetapan Presiden Republik Indonesia, Nomor 1/PNPS Tahun 1965] tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama [Presiden Republik Indonesia].
Pasal 1
[Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok agama itu]
Penjelasan untuk Pasal 1
Dengan kata-kata ‘di muka umum’, dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu (Confusius).
Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia, karena enam macam agama ini adalah agama-gama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia.
Maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 UUD, mereka juga mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan, seperti yang diberikan oleh pasal ini.
Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism, dilarang di Indonesia.
Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2, dan mereka dibiarkan adanya.
Asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini, atau peraturan perundangan lain.
Terhadap badan/aliran kebatinan, pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat, dan ke arah Ketuhanan yang Maha Esa.
Hal ini sesuai dengan ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, lampiran A, bidang I, angka 6.
Dengan kata-kata ‘kegiatan keagamaan’, dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai agama, mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya.
Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama, yang untuk itu mempunyai alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya.
‘Negara Harus Jamin Kehidupan Seluruh Warga’
Mengutip Detik, Rabu (28/7), Yaqut memberikan penjelasan lebih lanjut. “Konstitusi kita tidak mengenal istilah agama ‘diakui’ atau ‘tidak diakui’.”
“Juga tidak mengenal istilah ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’. Hal ini bisa dirujuk pada UU PNPS tahun 1965 tersebut,” jelasnya, lewat pesan singkat.
Yaqut mengeklaim, kehadirannya di acara komunitas Baha’i, semata-mata untuk memastikan negara menjamin kehidupan warganya.
Ia kembali menegaskan hal ini sesuai dengan konstitusi serta peraturan perundang-undangan.
“Negara harus menjamin kehidupan seluruh warganya. Apa pun agamanya, apa pun keyakinannya,” kata Yaqut.
Respons DDII
Terlepas dari itu, pada Selasa (27/7) kemarin, DDII [Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia]–bersama sejumlah tokoh ormas Islam–serius mengkaji Baha’i.
“Kajian itu dilakukan, karena banyaknya WhatsApp yang masuk ke Pimpinan Dewan Da’wah.”
Menyusul beredarnya video ucapan selamat Hari Raya Baha’i ‘Naw Ruz 178 EB’ yang disampaikan oleh Menteri Agama RI.
Dalam video tersebut, Menteri Agama, menyampaikan ucapan selamat Hari Raya Baha’i, dengan menyatakan diri, sebagai wakil resmi Pemerintah RI.
Dengan pengakuan dan sambutan resmi dari Menteri Agama tersebut, pertanyaan yang banyak disampaikan oleh masyarakat adalah: