Mengutip laman komunitas, Baha’i, pertama kali muncul dan berkembang di Iran, pada 1844.
Baha’i, bermula dari ajaran perdamaian Sayyid ‘Ali Muhammad [sang Bab].
Bahkan, Baha’i sempat dianggap sebagai sempalan Islam-Syiah, sampai akhirnya tidak diakui.
Lalu, Baha’i menyebar ke berbagai negara, dari India hingga Singapura. Jamal Effendi adalah salah satu penyebarnya.
Baha’i masuk ke Indonesia, pada abad ke-18, saat rombongan Jamal, berkunjung ke Surabaya–singgah di Bali.
Mereka juga berhenti di Makassar, menggunakan sebuah kapal kecil, berlayar ke Pelabuhan Parepare.
Raja Fatta Arongmatua Aron Rafan dan anak perempuannya, Fatta Sima Tana, menyambut.
Belakangan, Fatta Sima Tana, menyiapkan surat-surat adopsi untuk dua orang anak asli Bugis, Nair dan Bashir.
Ia hendak membantu serta mengabdi di rumah Akka. Sang raja juga sangat tertarik dengan Baha’i.
Mereka pun melanjutkan perjalanan ke Sedendring, Padalia, dan Fammana.
Menggunakan sampan, terus berjalan mengarungi sepanjang sungai, sampai tiba dengan selamat di Bone.
Di sana, Raja Bone–lelaki muda terpelajar–meminta mereka menyiapkan buku panduan untuk administrasi kerajaan.
Sayyid Mustafa Rumi, melaporkan bahwa mereka, telah menulisnya sejalan dengan ajaran-ajaran Baha’i.
Baha’i pun terus menyeret pengikut dari Indonesia.