Ngelmu.co – Giliran Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Yarsi, yang mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi), lewat poster, ‘Katanya begini, nyatanya begitu’.
Mengutip akun Twitter resmi, @BEMYARSI, mereka mengulas lima hal, yakni utang, HAM, demokrasi, kesejahteraan rakyat, dan swasembada pangan.
Utang
Katanya, saat kampanye Pilpres 2014, Jokowi, berjanji untuk tidak menambah beban utang negara dari luar negeri.
Utang pemerintah, katanya, tidak perlu lagi ditambah, selama pengelolaan APBN berjalan efisien.
Pernyataan ini keluar dari mulut Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo yang kini menjabat MenPAN-RB.
Jokowi-Jusuf Kalla (JK) yang saat itu maju Pilpres, tegas menolak menambah porsi utang luar negeri, jika terpilih.
“Kita mau mandiri, sehingga segala bentuk proses pembangunan pendidikan, infrastruktur, harus menggunakan dana sendiri.”
“[Jokowi-JK] Menolak bentuk utang baru, supaya bisa mengurangi beban utang setiap tahun,” kata Tjahjo, 3 Juni 2014 silam.
Faktanya? Tidak demikian dengan catatan ekonom senior Indef [Institute for Develompent of Economic and Finance] Didik J Rachbini.
Utang di era Presiden Jokowi, tuturnya, naik hingga 150 persen.
“Pada waktu SBY, terakhir memimpin, beralih ke Jokowi, utangnya itu sekitar Rp2.700 triliun,” jelas Didik.
“Bu Sri Mulyani, kemarin melihat datanya sendiri, Rp6.336 triliun,” imbuhnya, Rabu (24/3/2021).
“Jadi, [naik] 150 persen, dalam waktu hanya 5-6 tahun. Utang selama puluhan tahun, di-by pass lebih dari dua kali lipat,” sambungnya lagi.
Selain itu, kata BEM Yarsi, dari tahun ke tahun, rasio utang Indonesia di era Jokowi, juga terus mengalami peningkatan.
Permasalahan HAM
Katanya, melalui Menko Polhukam, Jokowi, telah menugaskan agar penyelesaian masalah hak asasi manusia (HAM) masa lalu, terus berlanjut.
“Saya telah menugaskan agar penyelesaian masalah HAM masa lalu, terus dilanjutkan, dan hasilnya bisa diterima semua pihak, serta diterima dunia internasional.”
Demikian kata Jokowi, di Hari HAM Sedunia, 10 Desember 2020 lalu, mengutip kanal YouTube Kemitraan Indonesia.
Faktanya? Permasalahan ini masih jauh dari kata selesai. Teranyar, pemerintah memang menerbitkan Peraturan Presiden 53/2021.
Namun, bagi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), pemerintah tak serius menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021-2025 yang terkandung dalam Perpres tersebut, mengalami kemunduran, dibanding RANHAM 2015-2019.
“KontraS menilai, RANHAM 2021-20215 ini mundur dari RANHAM sebelumnya,” kata Staf Divisi Advokasi Kontras Tioria Pretty, Kamis (24/6/2021).