Ngelmu.co – Beberapa waktu lalu [sebelum kembali dicabut] lampiran Perpres 10/2021 yang memuat aturan soal izin investasi di bidang industri miras [minuman keras], memanen penolakan.
Muhammadiyah merupakan salah satu pihak yang memprotes keras, karena menilai kebijakan tersebut tak lagi mempertimbangkan aspek kemaslahatan bagi masyarakat luas [tetapi hanya memperhitungkan aspek investasi].
Namun, sikap tegas Muhammadiyah terhadap miras, bukan merupakan hal baru.
Sebab, sejak Indonesia belum merdeka, Ki Bagus Hadikusumo yang saat itu menjabat sebagai Ketua Hoofd Bestuur [sekarang disebut ‘Pimpinan Pusat’] Muhammadiyah, sudah bersikap demikian.
Setidaknya demikian yang Ngelmu kutip dari akun Instagram Persyarikatan Muhammadiyah, @lensamu.
Pada 10 November 1943, Ki Bagus Hadikusumo–bersama Soekarno dan Moh Hatta–mendapat undangan untuk menghadap Kaisar Jepang.
Tujuan utama kunjungan tiga delegasi Indonesia ke Jepang [selama 17 hari] adalah untuk mempercepat proses kemerdekaan Tanah Air.
Peristiwa berawal ketika ketiganya sampai di Jepang, dan diminta mengikuti sembahyang di Kuil upacara termulia bersama Kaisar Jepang.
Di mana salah satu rukun upacara sakral tersebut adalah harus meminum sake.
Bagaimana sikap Ki Bagus? Ia tidak bersedia meminum sake, karena ajaran agama Islam, mengharamkan minuman keras.
“Kemudian Ki Bagus Hadikusumo, menumpahkan arak itu ke lantai [karena tangannya gemetar]. Tentu saja hadirin menjadi berdebar-debar, termasuk para pembesar militer Jepang.”
Demikian tulis Sutrisno Kutoyo, dalam Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah (1998).
Kekhawatiran hadirin, berkaitan dengan sikap keras prajurit Jepang yang siap memenggal siapa pun, jika menolak perintah.
Terlebih Ki Bagus, bukan menolak permintaan biasa, melainkan dari seorang Kaisar.
Namun, Ki Bagus menjelaskan alasannya menolak minum sake kepada Kaisar, serta pejabat militer Jepang.
Atas kepandaiannya memberi penjelasan, Kaisar Hirohito pun tidak marah.
Bahkan, ia merasa takjub, hingga menghadiahkan cangkir serta cawan [tempat Sake] kepada Ki Bagus.
View this post on Instagram
Bersama Soekarno dan Hatta, tokoh Muhammadiyah itu juga mendapat kehormatan untuk bertemu langsung, sekaligus berjabatan tangan dengan Kaisar.
Ketiganya juga menerima penghargaan Bintang Ratna Suci dari Kaisar.
Soekarno mendapatkan lencana kelas dua [Kun Nito Juiho-Sho], sementara Ki Bagus dan Bung Hatta mendapat lencana kelas tiga [Kun Santo Juiho-Sho].
Nilai dari lencana penghargaan itu sangat tinggi, karena penerimanya hanya mereka yang dianggap dekat dengan anggota keluarga Kekaisaran.
Baca Juga: Ketika Rezim Sita Semua Harta Buya Hamka
Penolakan sake, bukan sikap tegas pertama Ki Bagus, dalam mempertahankan ajaran Islam.
Sebelumnya, ia menjadi tokoh utama yang mengajak umat Islam se-Indonesia untuk menolak Seikerei [ritual wajib dari kolonial Jepang].
Seikerei adalah sikap rukuk menghadap ke arah matahari terbit–setiap pukul tujuh pagi–sebagai tanda ketundukan pada Kaisar Jepang.
Ajakan Ki Bagus menolak Seikerei pun meluas hingga ke Sumatra.
Akibatnya? Ki Bagus harus berurusan dengan gubernur militer Jepang di Yogyakarta, Gunsaikan.
Tetapi lagi-lagi, karena kepandaiannya menjelaskan bagaimana ajaran Islam, Gunsaiken pun memahami, dan memperkenankan Muslim untuk tak melakukan Seikerei.
Ki Bagus membuktikan, bahwa seorang santri, ulama, dan Muslim yang kokoh menerapkan ajaran Islam, bukan ancaman bagi keutuhan Bangsa.
Sebab, sebaliknya, santri, ulama, dan Muslim adalah pihak yang rela berkorban serta mengutamakan keutuhan negara dan bangsa.
Sikap Ki Bagus pun menunjukkan keteguhan dan kebersihan akidah.
Ia juga mengutamakan hikmah serta ilmu dalam menampakkan ketegasan imannya.