Ngelmu.co – 2014 silam, berdirilah sebuah kelompok yang menamakan diri mereka sebagai Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS), kelompok ini memproklamirkan beridirnya kekhalifahan di Mosul, Irak. Sejak saat itu, berbagai macam propaganda mereka sebarkan melalui media sosial.
Propaganda yang paling banyak menyentuh masyarakat adalah janji untuk hidup sesuai dengan syariat Islam. Tak hanya itu saja, mereka juga dijanjikan sebuah pekerjaan dengan gaji tinggi, pendidikan, kesehatan, hingga fasilitas hidup.
Merebaknya propaganda ini di berbagai negara, membuat beberapa orang berangkat ke Irak dan Syiria, hal ini juga terjadi di Indonesia. Febri Ramadhan, salah satu warga Indonesia yang memutuskan berangkat ke sana demi menjemput impiannya.
Kisah pilu ini, dimulai sejak 31 Juli 2015 lalu. Ketika sang ibu dan kakak perempuan satu-satunya pergi meninggalkan rumah, dengan alasan ke luar kota untuk mengobati kakaknya. Namun, setelah berbulan-bulan lamanya, keduanya tak kunjung kembali, bahkan kabar pun tak ia terima.
Hingga akhirnya, Febri merasa cemas dan mulai depresi kerena hidup seorang diri. Om, tante, dan kerabat lainnya mendadak menutup diri. Tak satu pun dari mereka yang bisa dihubungi. Febri pun hidup sebatang kara di kawasan Jakarta Selatan.
Tak sengaja, ketika sedang membuka komputer, ia merasa curiga bahwa ibu dan kakaknya bukan pergi ke luar kota, melainkan ke luar negeri. Dari jejak komputer terbaca situs biro wisata dengan tujuan Turki. Selain itu, ada pula promosi pemerintahan ISIS di bawah naungan Abu Bakr Al-Baghdadi. Sebuah negeri bak surga dengan penerapan syariat Islamnya. Kontras dengan kondisi perekonomian keluarga Febri yang sedang terpuruk.
“Saya pribadi nggak percaya soal kehidupan yang serba indah di Suriah. Tapi ketika menemukan situs-situs yang mempromosikan itu, akhirnya tergoda juga,” ujarnya dikutip dari detik.
Namun, awalanya bukan itu alasan lelaki kelahiran 19 Februari 1994 ini untuk pergi ke Suriah. Melainkan kerinduannya pada sang ibu.
“Saya kangen ibu, mau menebus kesalahan. Karena sebelum pergi, saya sempat marahan lah sama ibu,” imbuhnya.
September 2016 lalu, berangkatlah ia menyusul ibu dan kakaknya. Semua barang yang ada di rumahnya ia jual untuk biaya keberangkatannya. Sepekan berada di Turki, ia hidup layaknya seorang turis. Akhirnya bertemulah ia dengan penghubung yang membawanya ke perbatasan Suriah. Di sana sudah ada beberapa orang asing dari Eropa Timur yang punya tujuan sama. Sebelum naik ke bus, semua identitas dan perbekalan harus ditinggal.
“Saya cuma bawa barang satu ransel. Selebihnya disita di perbatasan,” ujar Febri.
Namun ternyata, Febri dan romongan masuk ke dalam perangkap salah satu fraksi ISIS. Sebulan lamanya mereka ditahan dan menghadapi sejumlah intimidasi agar mau ikut berperang.
“Mereka terus membujuk kami sambil mengintimidasi, kalau tidak mau akan dibunuh, dipenggal,” ujar Febri.
Dari sana, perjalanan mulai berlanjut ke daerah lain, hingga mereka tiba di Raqqah. Di kota tersebut, ternyata Febri bertemu dengan orang Indonesia yang menjadi pengurus salah satu fraksi ISIS. WNI itulah yang akhirnya mempertemukan Febri dengan ibu dan keluarga besarnya. Namun dengan syarat, hanya boleh dua hari saja, setelah itu ia harus mengikuti pelatihan militer.
Beruntungnya, saat itu kondisi kesehatannya sedang menurun. Febri mengalami diare dan muntah-muntah. Karena hal tersebut, ia pun bisa lolos dari kewajiban latihan militer.
Tentang lika-liku perjalanannya bertaruh nyawa masuk ke wilayah yang dikuasai ISIS, ia paparkan dalam memoar bertajuk “300 Hari di Bumi Syam: Perjalanan Seorang Mantan Pengikuti ISIS”. Buku itu diluncurkan dan dibedah Yon Mahmudi, PhD, Ketua Prodi Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam UI, serta pengamat Timur Tengah dan Terorisme M. Syauqillah, PhD.
Baca Juga: Din Syamsuddin Sebut ISIS adalah Buatan Amerika
Singkat cerita, setelah lolos, ia dan keluarga berhasil menyusup ke perbatasan untuk menyerahkan diri ke SDF (Syirian Democratic Forces). Mereka ditahan selama dua bulan sebelum akhirnya diserahkan ke UNCHR dan perwakilan Indonesia di Irak.
13 Agustus 2017, Febri bersama ibu dan 16 orang kerabatnya tiba di Jakarta. Selama sebulan mereka mengikuti program deradikalisasi oleh BNPT di Sentul.
“BNPT membantu kami kembali ke masyarakat dan diterima dengan baik. Kalau pun ada yang menghujat, itu cuma di internet aja,” ujar Febri.
Kini ia melanjutkan kuliah di fakultas sastra sebuah perguruan tinggi swasta. Di sela kuliah dia juga aktif menyerukan perdamaian lewat sebuah LSM yang didirikan aktivis Noor Huda Ismail.