Ngelmu.co – Setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya berhijrah ke Madinah, muslim tidak tertinggal di Makkah; kecuali beberapa dari mereka yang tidak bisa hijrah, karena sakit dan tua.
Seorang sahabat mulia bernama Dhamrah bin Jundub adalah salah satunya.
Kala itu, ia yang tidak mampu menanggung sulitnya perjalanan dan panasnya padang pasir, terpaksa tinggal di Makkah.
Namun, Dhamrah bin Jundub juga tidak kuat untuk tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin.
Dhamrah tidak tenang tinggal di Makkah. Ia membayangkan betapa indah dan nikmatnya hidup di Madinah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Alangkah syahdunya salat berjemaah di Masjid Nabawi; di belakang Rasulullah.
Dhamrah kembali merenungi ayat-ayat Al-Qur’an tentang perintah hijrah.
Lalu, perhatiannya menuju kepada lafaz ‘walaa yahtaduuna sabiila’, yang artinya ‘mereka yang tidak mengetahui jalan’.
Dhamrah gelisah dan berpikir dalam. Ia memang sudah tua, tetapi ia mengetahui jalan dari Makkah ke Madinah.
Dhamrah berpikir berulang, apakah ia harus menyusul hijrah, atau tetap tinggal di Makkah?
Keluarganya menyarankan agar Dhamrah, tetap tinggal di Makkah; karena usianya sudah renta, sehingga tidak memungkinkan melakukan perjalanan sejauh itu.
Namun, akhirnya Dhamrah, membulatkan tekad untuk berhijrah ke Madinah.
Ia menyiapkan diri untuk mengarungi perjalanan sejauh 487 Km.
Dhamrah bin Jundub pun berangkat menuju Madinah, meski di tengah perjalanan, sakitnya makin parah.
Ia menyadari, ajalnya akan segera tiba, dan tidak bisa sampai ke Madinah.
Dhamrah bin Jundub kemudian berhenti, dan menepukkan telapak tangannya yang satu ke telapak tangannya yang lain.
Gerakan itu dilakukannya sembari berucap, “Ya, Allah, ini bai’atku kepada-Mu.”
Lalu, ia menepukkan telapak tangannya lagi seraya berucap, “Ya, Allah, ini bai’atku kepada nabi-Mu.”
Dhamrah bin Jundub pun tersungkur dan mengembuskan napas terakhirnya.
Baca Juga:
Malaikat Jibril as, kemudian turun menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam; mengabarkan tentang apa yang dilakukan oleh Dhamrah bin Jundub.
Lalu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat-Nya:
“Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya [sebelum sampai ke tempat yang dituju], maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. An-Nisa’ ayat 100).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian mengumpulkan para sahabatnya, dan mengabarkan apa yang dialami Dhamrah bin Jundub.
Lalu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan hadisnya, “Sesungguhnya amal perbuatan dinilai berdasarkan niatnya.”
Baca Juga:
Jalan menuju Allah, sangat panjang. Namun, tidak disyaratkan harus sampai ke ujungnya.
Sebab, terpenting adalah siapa pun itu, ia ‘mati’ di dalamnya. Berbuat karena Allah, tidak disyaratkan harus mencapai tujuan.
Jika kita mati saat sedang dalam keadaan beramal dan berjalan di jalan-Nya, insya Allah, cukup; selama niat kita karena Allah.
Maka tetaplah berjalan menuju Allah, karena hati ini sangat lemah; sedangkan berbagai fitnah senantiasa siap menyambar.
Berdoalah selalu, agar Allah menjaga hati kita, untuk selalu berjalan menuju ketaatan terhadap-Nya.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala, senantiasa melindungi kita dari berbagai fitnah yang tampak pun tidak.
Aamiin allahumma aamiin.