Ngelmu.co – Seorang pria bernama Stephen Vidman, membagikan kisah tentang dirinya yang terkena strok di usia muda, 28 tahun.
Stephen mengalami gejala umum yang kerap diabaikan oleh banyak orang.
Awalnya, saat tengah bekerja, mahasiswa pascasarjana ilmu saraf di Universitas Negeri Ohio itu sempat berbincang dengan ibunya melalui telepon.
Namun, beberapa saat kemudian, Stephen merasa pusing.
Stephen pun berpikir bahwa gejala itu mungkin efek samping dari obat yang ia minum.
Sampai akhirnya ketika Stephen mencoba untuk berbicara, ia kesulitan mengeluarkan kata-kata.
“[Saya] akhirnya mencoba untuk melepaskannya, dan saya jatuh,” cerita Stephen kepada The Ohio State University.
Beberapa mahasiswa yang melihat Stephen terjatuh, langsung menolong dan meminta bantuan kepada salah satu profesor mereka, dr Em Harrington.
Harrington yang merupakan seorang ahli saraf yang bekerja di dekat kantor mereka, dengan sigap mengevaluasi kondisi Stephen.
“Awalnya, saya berpikir mungkin ia mengalami kejadian syncope, seperti penurunan tekanan darah secara tiba-tiba,” tutur Harrington.
Namun, setelah memberikan sejumlah pertanyaan kepada Stephen, Harrington curiga bahwa yang bersangkutan mengalami strok.
Pasalnya, Stephen tidak bisa menjawab pertanyaan. Bicaranya pun cadel dan bergumam.
“[Stephen] melihat sekeliling, bertingkah seperti sedang mencoba mengatakan sesuatu, tetapi tidak bisa,” jelas Harrington.
“Saya melihat wajahnya. Saya menyuruhnya mengangkat wajah dan alisnya, [dan tampak] kelemahan wajah sepenuhnya,” sambungnya.
Baca juga:
Salah satu mahasiswa menelepon ambulans untuk membawa Stephen ke rumah sakit.
Namun, karena ambulans membutuhkan beberapa waktu untuk sampai di lokasi, mereka pun mengambil keputusan lain.
Menurut Harrington, mereka memutuskan untuk membawa Stephen ke departemen darurat di rumah sakit.
Di mana di sana terdapat perawatan strok yang berada tepat di seberang kantor mereka.
Mereka mendudukkan Stephen di kursi roda kantor, kemudian mendorong yang bersangkutan hingga sampai di sana.
“Saya tahu, [Stephen] mengalami strok besar, berdasarkan presentasinya. Baginya, waktu sangat penting, dan saya tidak ingin menunggu,” ujar Harrington.
Sesampainya di rumah sakit, dokter langsung melakukan trombektomi atau prosedur untuk menghilangkan gumpalan yang menyumbat pembuluh darah pemicu strok.
Dokter menduga bahwa strok terjadi, karena Stephen, pernah mengalami kecelakaan 10 tahun lalu, dan mengakibatkan aortanya pecah.
Dokter pun memperbaiki aorta Stephen yang transeksi–dengan cangkok jaringan sapi–untuk menyambung kembali potongan-potongan tersebut.
Sejak itu, Stephen menggunakan beta-blockers untuk mengurangi tekanan pada aortanya.
“Dokter menduga, area yang melemah di mana aortanya diperbaiki, memungkinkan gumpalan tumbuh perlahan selama bertahun-tahun.”
“Dan itu putus secara tiba-tiba, sehingga menyebabkan strok,” kata Stephen.
“Kami tidak tahu persis bagaimana atau mengapa, tapi itu asumsi utama.”
“Saya tidak akan mengalami strok lagi, selama saya menjaga kolesterol tetap rendah dan sehat. Sepertinya, itu hanya sekali,” tutup Stephen.