Ngelmu.co – Netizen mengkritisi pandangan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid, terkait komunis, sebagai buntut kisruh Kamus Sejarah Indonesia Jilid I.
Pandangan tersebut terekam dalam video berdurasi 5 menit 4 detik, dan terunggah di kanal YouTube JAVIN TV, Kamis (22/12/2011) silam.
Netizen Mengkritisi
“Ternyata begini pandangan Pak Dirjen,” kata M Fauzi, seperti Ngelmu kutip dari kolom komentar unggahan tersebut.
“Saya tetap percaya, PKI sudah beberapa kali mengkhianati bangsa ini,” sambungnya.
“Cek tahun ’48, ’65. Semua sudah fix membunuh ulama dan Islam. Dan tidak beragama,” imbuhnya lagi.
Komentar lain datang dari Irman Aras, “Makin jelas sekarang apa yang disampaikan para ulama, pendiri bangsa, dan TNI kita tentang bahaya laten PKI dari dahulu. #MenolakLupa.”
“Inilah pentingnya umat islam menjaga bangsa ini, dan pentingnya sejarah di kurikulum generasi penerus,” tutur Fran Khadavi.
Sebab, di matanya, para pengkhianat bangsa, rawan untuk memanipulasi kebenaran sejarah bangsa.
“Memanipulasi kebenaran dengan menjadikan kebatilan sebagai pahlawan,” sambung Fran.
Lebih lanjut ia mengatakan, jika Firaun tidak tercatat dalam Al-Qur’an, bisa saja menjadi pahlawan, karena pernah menjadi Raja Mesir.
“Sejarah sangat penting dalam menjaga kebenaran dan moral bangsa,” ujar Fran.
“Agar tidak dibelokkan oleh para pengkhianat. Jika orang baik dan lurus tidak menjaga sejarah, maka iblis pun bisa membalikkan sejarah dengan mngatakan dirinya penyelamat,” imbuhnya.
“Jaga sejarah yang benar tentang bangsa dan agama, agar kebatilan tidak dijadikan pahlawan. Naudzubillahimindzalik,” lanjutnya lagi.
Baca Juga: Bukan Hanya Nama KH Hasyim Asy’ari, Jong Islamieten Bond juga Luput dari Kamus Sejarah
Netizen bernama Choirul Amnan pun mengkritik, “Pola pikir yang dipakai, sekarang dipakai untuk mendeskreditkan peran Islam.”
“Dan sekarang dia diangkat jadi pejabat Dirjen di Kemendikbud. Pantesan di Peta Pendidikan Pancasila dan agama hilang,” tulis Irwan Ismail.
“PKI pernah berkhianat, dan kita diharuskan percaya bahwa mereka adalah korban?” tanya Juan Fernandes, heran.
Sebenarnya, seperti apa pernyataan Hilmar dalam video bertajuk, ‘Kaum Kiri dalam Historiography Orde Baru’, yang kini beredar di media sosial?
Berikut selengkapnya:
Basis keberadaan, ya, basis legitimasi Orde Baru itu, ya, memang sejarah, ya. Dasarnya dia berdiri, itu karena melakukan manipulasi sejarah.
Dimulai tentunya dengan peristiwa G30S, ya, karena ‘kan 30 September, yang ceritanya dikonstruksi sedemikian rupa.
Sehingga terlihat bahwa peristiwa itu di… apa namanya… adalah kudeta oleh PKI.
Dan kita tahu bahwa itu sama sekali tidak betul, ya. Tidak ada dasar untuk mendukung argumentasi itu.
Dan sebetulnya di dalam studi-studi yang ada selama ini, persoalan itu juga sudah cukup jelas terlihat, gitu.
Tapi ya, alasan kenapa Orde Baru sangat berkepentingan untuk mengontrol pemahaman masyarakat mengenai sejarah, ya, karena basis legitimasinya hanya itu, ya.
Orde Baru, ketika dia muncul, adalah menyelamatkan Indonesia dari ancaman komunis. Itu klaim yang dia pakai, gitu.
Kenapa dia bisa melakukan pembunuhan begitu banyak orang. Kenapa melakukan pembersihan di mana-mana. Bahkan, [di] seluruh birokrasi, [sampai] akhirnya Soekarno terpinggir.
Alasannya adalah untuk menyelamatkan Indonesia, dari ancaman komunis. Jadi, sangat masuk akal kemudian, gitu, ketika harus menguasai pikiran orang banyak.
Titik tumbuhnya itu, titik pijaknya itu adalah PKI, gitu. Dengan menginjak PKI, gitu, maka seluruh narasinya mengenai sejarah itu jadi dibenarkan, gitu, ya.
Dan memang menarik, kalau misalnya dilihat wacana Orde Baru tentang sejarah, ya. Ada banyak sekali kontradiksi, gitu.
Mereka begitu menggebu-gebu, ya, menggambarkan peristiwa ’65, peristiwa Madiun ’48, gitu.
Sebagai… apalah… kudeta komunis, atau pokoknya perbuatan buruk dari Partai Komunis Indonesia, gitu.
Nah, kebingungan ketika harus menghadapi pemberontakan ’26, gitu. Jadi, pemberontakan 12 November ’26, mau digambarkan seperti apa, gitu?
Kalau mau dianggap sebagai pemberontakan komunis, itu pemberontakan yang benar, kok. Itu melawan kolonialisme.
Jadi, bagaimana sebuah pemberontakan terhadap kolonialisme juga mau dianggap kesalahan, gitu.
Nah, narasinya kita bisa lihat dalam banyak sekali… apa namanya… bagian itu, bolongnya kelihatan, gitu, ya.
Justru karena itu, justru karena mereka mencoba meniadakan peran dari gerakan kiri, komunis, di dalam sejarah Indonesia, gitu.
Dan harga yang mesti mereka bayar, ya, itu dengan masuk terjebak dalam kontradiksi-kontradiksi semacam itu, gitu, ya.
Dari segi produksi pengetahuan sejarah, itu, dari hulu sampai hilir, itu dikuasai oleh Orde Baru, gitu.
Dan ada banyak produk-produk lain, misalnya seperti museum, film, terus juga drama. Dulu di sekolah-sekolah tuh pelajaran PSPB, ya.
Jadi, Pelajaran [Pendidikan] Sejarah Perjuangan Bangsa itu ada sosiodrama, namanya, gitu, ya.
Di mana anak-anak tuh harus mementaskan cerita yang dibuat oleh Orde Baru sendiri, mengenai kekejaman di Lubang Buaya, gitu.
Kita tahu dari banyak studi, seperti studi terhadap visum, ya.
Para korban, para jenderal yang dibunuh itu, bahwa cerita yang dibuat oleh Orde Baru, dan kemudian menyebar, itu tidak betul, gitu, ya.
Bahwa, jenderal tidak ada yang dipotong kemaluannya, matanya tidak dicungkil, gitu.
Tapi di sekolah-sekolah, murid bukan hanya diminta menghafal, tapi bahkan memerankan, gitu, ya.
Peristiwa penyulikan jenderal dan penyiksaan yang dilakukan itu, gitu.
Jadi, produksi pengetahuan, menurut istilah saya tuh dari hulu sampai hilir, betul-betul dikendalikan.
Dan seandainya ada tafsir yang alternatif sifatnya, yang digunakan, ya, mekanisme pelarangan, ya.
Jadi, represi, gitu. Bukunya dilarang, kadang-kadang pengarangnya juga, penulisnya dipersiksa, ditangkap, kalau perlu dipenjarakan.
Dan yang jelas, di ruang publik, ya, tidak ada kesempatan bagi orang untuk mengemukakan pikirannya sendiri, gitu, ya.
Apalagi kalau itu bertentangan dengan penguasa Orde Baru, gitu. Jadi, mesin-mesin yang digunakan tuh mulai dari pendidikan sampai kepada peralatan represif itu tadi, gitu.
Video Wawancara Terbagi 5 Segmen
Sementara JAVIN TV menuliskan pengantar konten, seperti berikut:
Sejarah pergerakan kemerdekaan di Indonesia, tidak lepas dari peran kalangan Kiri.
Mereka bahu-membahu menentang kekuasaan kolonialisme bersama kelompok lain, seperti kaum nasionalis dan kelompok Islam.
Dalam salah satu kesempatan, JAVIN, sempat mewawancarai sejarawan Universitas Indonesia Hilmar Farid.
Mengenai sepak terjang kalangan Kiri, dan bagaimana pembunuhan massal di tahun 1965, berdampak dalam perjalanan kebangsaan Indonesia, hingga hari ini.
Wawancara tersebut terbagi dalam lima video, di mana empat lainnya bertajuk:
- Efek Terror Pembunuhan Massal 1965, dengan durasi 2 menit 39 detik;
- Islam vis a vis Komunisme?, dengan durasi 3 menit 6 detik;
- Revolusi atau Perang Kemerdekaan, dengan durasi 1 menit 22 detik; dan
- Sekitar 1945, dengan durasi 4 menit 43 detik.
Said Didu Ikut Bertanya
Dalam beberapa hari terakhir, sejak polemik Kamus Sejarah Indonesia Jilid I muncul ke permukaan, publik terus menyampaikan protesnya.
Begitu juga dengan para politisi, hingga mantan pejabat negara, salah satunya eks Sekretaris BUMN M Said Didu.
Pada Rabu (21/4) kemarin, melalui akun Twitter pribadinya, @msaid_didu, ia bertanya.
“Pancasila kalian hilangkan. Pejuang dan pendiri NU, kalian hapus. Tokoh PKI, kalian munculkan. Kalian sebenarnya siapa, dan mau apa?”
Seolah tak berhenti sampai di situ, sebagai Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, warganet juga terus menyoroti rekam digital Hilmar.
Salah satunya dari cuitan politikus, Fadli Zon, Senin (5/10/2020) lalu.
Ia menuliskan keterangan untuk sebuah foto yang diunggah dalam kicauan tersebut.
“Foto lawas, Diskusi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB UI), sekitar Oktober 2010.”
“Saya dan Taufiq Ismail [penyair] dari sisi Manifes Kebudayaan [anti PKI], versus Martin Aleida [mantan wartawan Harian Rakjat/PKI] dan Hilmar Farid [aktivis PRD, kini Dirjen Kebudayaan] membela Lekra/PKI.”
Tanggapan Mantan Mendikbud Muhadjir
Sudah banyak pihak, memprotes Kamus Sejarah Indonesia Jilid I yang sempat beredar di situs resmi Kemendikbud, Rumah Belajar [terunggah sejak 2019 lalu].
Pasalnya, kamus tersebut tidak memuat nama pendiri NU KH Hasyim Asy’ari.
Namun, Hilmar mengatakan bahwa penyusunan Kamus Sejarah Indonesia Jilid I itu, berjalan pada 2017, dan merupakan proyek gagal.
Artinya, Mendikbud saat itu masih dijabat oleh Muhadjir Effendy. Bagaimana tanggapan yang bersangkutan?
Lagi-lagi, nama Hilmar yang disebut. Persoalan ini, kata Muhadjir, sepenuhnya diketahui oleh Hilmar.
“Yang tahu duduk masalahnya Pak Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan,” jawabnya, melalui pesan singkat, Rabu (21/4) kemarin, mengutip CNN.
Hilmar Akui Keteledoran
Kembali ke Hilmar. Ia memang telah mengakui, bahwa luputnya nama KH Hasyim Asy’ari dari kamus adalah ketidaksengajaan.
“Terjadi keteledoran, yang mana, naskah yang belum siap, kemudian diunggah ke laman Rumah Belajar,” ujarnya, Selasa (20/4).
“Untuk memastikan ini tidak… kemudian jadi berlarut, ya, kami sudah menurunkan,” sambung Hilmar.
“Jadi, sudah tidak ada lagi di website Rumah Belajar,” imbuhnya lagi.
Hilmar juga menyampaikan, bahwa Kemendikbud, akan melibatkan pemangku kepentingan terkait, termasuk organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah.
“Untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan, benar-benar niatnya untuk mengoreksi kesalahan.”
Muncul Tokoh Komunis saat Nama KH Hasyim Asy’ari Luput
Namun, Wakil Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid (HNW), masih bersuara.
Sebab, ia yang telah membaca kamus terkait secara keseluruhan, menyebut bukan hanya nama KH Hasyim Asy’ari yang luput.
Hal yang sama juga terjadi pada putra KH Hasyim Asy’ari, yakni KH Wahid Hasyim. Sosoknya juga tidak tercantum dalam kamus.
Bahkan, lanjut HNW, Kamus Sejarah Indonesia Jilid I juga tidak mengulas tokoh-tokoh Muslim lainnya [yang telah diakui sebagai pahlawan nasional].
Di antaranya:
- Mantan Ketua PB Muhammadiyah yang juga merupakan anggota BPUPKI, sekaligus pendiri MIAI [Majelis Islam A’la Indonesia] yakni KH Mas Mansoer;
- Tokoh Masyumi yang juga pencetus serta pemimpin PDRI [Pemerintah Darurat Republik Indonesia] yakni Mr Syafruddin Prawiranegara;
- Pencetus Mosi Integral [keputusan parlemen yang menyelamatkan NKRI] sekaligus tokoh Partai Masyumi, yakni Mohammad Natsir; hingga
- Guru Muhammadiyah yang berjasa dengan Resolusi Djoeanda [menjadikan Indonesia betul-betul NKRI, bercirikan Nusantara, dan lain sebagainya] yakni Ir Djoeanda.
Berbagai pihak semakin tak habis pikir, karena sejumlah tokoh yang tercatat pernah memberontak dan memecah belah bangsa, justru ada di kamus.
Seperti profil Henk Sneevliet yang tersemat pada halaman 87.
Sosok yang tak lain adalah pendiri Indische Social-Democratische Vereniging (ISDV), organisasi kiri, partai komunis pertama di Asia.
Kamus tersebut juga mengulas profil Raden Darsono Notosudirjo (Darsono), di halaman 51.
Tokoh Sarekat Islam (SI) yang pernah menjabat sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI), pada 1920-1925.
Begitu juga dengan profil Semaoen, Ketua PKI [semula ISDV] yang ada di halaman 262. Ia adalah aktivis komunis, sekaligus pimpinan aksi PKI [1926].
DN Aidit yang juga pernah menjabat sebagai Ketua PKI pun masuk dalam Kamus Sejarah tersebut, tepatnya di halaman 58.
Siapa Aidit? Pembawa PKI sebagai partai terbesar keempat di Indonesia, pada Pemilu 1955.
Sekaligus menjadikan partai komunis terbesar ke-3 di dunia, setelah Rusia dan Cina.