Ngelmu.co – Kasus Lapas Sukamiskin masih terus bergulir. Bahkan Indonesia Lawyers Club (ILC) membahas kasus Lapas Sukamiskin itu pada tanggal 24 Juli 2018 kemarin.
Polemik terkait fasilitas mewah yang didapatkan para narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin mencuat setelah adanya OTT KPK terhadap Kalapas Sukamiskin, Wahid Husein. Wahid Husein ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka karena diduga menerima suap terkait dugaan jual beli sel tahanan dan jual beli izin keluar lapas.
Ketika KPK melakukan penggeledahan di Lapas Sukamiskin, mereka menemukan adanya fasilitas mewah yang berada di dalam sel narapidana korupsi Fahmi Darmawansyah. Lantas, fasilitas yang dianggap mewah ini menjadi sorotan publik.
Namun, apakah semua atau sebagian besar kesalahan ada di pundak para napi? Apakah semua fasilitas yang diterima merupakan suap? Bagaimana jika napi yang memiliki fasilitas tertentu dikarenakan kondisinya yang tak bisa dihindari?
Apakah ini semua salah para Napi? Atau salah petugas sipir? Atau pejabat Lapas sampai Menkumham?
Baca juga: Yasonna: Kelima Kalinya Mengganti Kalapas Sukamiskin
Berikut adalah tulisan yang mencoba membahas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut.
Pejabat Masalah, Napi Dibelah
Menyaksikan ILC di TVOne tadi malam membuat senyum lucu sekaligus miris atas pernyataan polos Malik, seorang mantan napi, maupun komentar-komentar humor satir ala Arswendo. Namun kritik tajam Permadi lebih tepat terutama tentang judul ILC yang seharusnya dirubah menjadi: “Jual Beli Fasilitas Lapas, Kenapa PURA-PURA Kaget?”
Festivalisasi dan dramatisasi seperti biasa dilakukan dalam OTT oleh KPK tidaklah mengagetkan publik atas urusan jual beli fasilitas Lapas. Semua rakyat dari lapisan manapun sudah lama mengetahui. Khususnya lapisan masyarakat yang keluarganya punya urusan dengan Lapas atau Rutan. Maka menjadi aneh kalau para pejabat yang bertanggungjawab pada Direktorat PAS, bahkan Menkumham sekalipun pura-pura kaget dan baru mengetahui fenomena ini setelah kasus OTT Kepala Lapas oleh KPK mencuat di media.
Apa yang terjadi di Lapas Sukamiskin adalah hal yang merata terjadi di seluruh Lapas di negara ini. Hanyasaja, karena menimpa seorang Napi tipikor yang pengusaha dan kasusnya melibatkan pejabat dan politisi, plus istrinya yang seorang artis, maka kasus Kepala Lapas Sukamiskin menjadi bulan-bulanan. Seolah ikut menari diatas tetabuhan KPK ini, para pejabat terkait mulai over acting. Sidak malam-malam, membawa reporter dan host talkshow, dan menyita berbagai “barang mewah” yang ada di kamar para Napi. Dan terakhir pemberhentian dua pejabat di atas Kalapas oleh pak Menteri.
Tentu saja kehebohan pengungkapan fasilitas Lapas ini bukan yang pertama, dan kemungkinan besar bukan yang terakhir. Lalu solusi apa yang bisa dihasilkan? Rio Capella yang alumnus Sukamiskin mempertanyakan motif kehebohan pemberitaan kasus ini yang seolah-olah hanya menyalahkan para Napi Tipikor di Sukamiskin sebagai biang kerok semua persoalan. Apakah KPK yang entah karena apa, masih menyimpan dendam kesumat pada para politisi yang sudah dikirim ke Lapas? Atau seperti analisa Fahri Hamzah bahwa ini langkah stress KPK yang tidak mampu selesaikan kasus-kasus besar triliyunan rupiah, sehingga memberi hiburan pada rakyat dengan kasus-kasus uang receh puluhan sampai ratusan juta rupiah dengan berbagai bumbu sensasinya?
Baca juga: Kalapas Sukamiskin Tertangkap Tangan Oleh KPK
Lalu muncul pula host talkshow Mata Najwa yang ikut sidak malam-malam ke KPK, dan membidik Luthfi Hasan Ishaaq yang dianggap representasi pemilik fasilitas mewah di Lapas. Disusul buzzer penggembira yang menyebarluaskan foto-foto panas dari jaman lawas dari isteri pengusaha yang kena OTT, padahal sang isteri sudah taubat dan berhijab rapat. Selesaikah persoalan jual beli fasilitas Lapas dengan semua orkestra dan festivalisasi ini? Rasanya tidak.
Dengan nalar sehat sederhana, deretan barang mewah terlarang yang disita dari kamar-kamar Napi Tipikor, apakah mungkin masuk ke dalam Lapas tanpa seijin para petugas disana? Mungkinkah barang-barang tersebut masuk tanpa sepengetahuan pejabat Lapas? Mulai dari KPLP sampai Kalapas? Apa iya saung-saung mewah itu dibangun oleh para Napi tanpa ijin dari para petugas dan pejabat Lapas? Siapa yang memberi ijin? Apakah Kalapas yang baru tiga bulan menjabat itu? Atau para pejabat sebelumnya? Lalu adakah tindakan pak Menteri terhadap pejabat yang lalu? Adakah KPK atau Mata Najwa mengekspos pejabat-pejabat Lapas sebelumnya? Atau kadivpas dan kakanwil kemenkumham sebelumnya?
Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) yang disorot Mata Najwa, mengungkapkan hal menarik. Bahwa barang-barang mewah yang ada di kamarnya adalah warisan dari para Napi yang sudah keluar Sukamiskin. Setrika, microwave, rice cooker, adalah warisan dari (alm) Teddy Tengko, Emir Moeis, dan Napi kasus Chevron Indonesia. Ya betul warisan, karena para alumnus Sukamiskin rata-rata pantang membawa pulang barang-barang Lapas. Buang sial, kalau perlu baju mereka semua diwariskan di Lapas atau dibuang ke laut. Bahkan kamar yang ditempati LHI adalah kamar warisan Teddy Tengko yang meninggal di kamar itu, dan konon angker sehingga tak diminati Napi-napi lain. LHI tidak pernah membawa barang-barang mewah itu, melainkan barang-barang itu sudah ada sebelum ia masuk ke Sukamiskin. Bukan LHI pula yang membangun saung-saung maupun fasilitas kamar mandi di kamarnya.
Ternyata LHI masuk Sukamiskin melalui prosedur standar: 6 hari diinapkan di kamar orientasi, digembok. Baru kemudian menempati kamar bekas Teddy Tengko atas SK dari KPLP dan Kalapas Marcelina tahun 2014. Catatan kesehatan LHI atas penyakit Ambeien yang menyebabkannya bolak balik ke Rumah Sakit Cipto saat persidangan, adalah diantara hal yang menjadi pertimbangan keluarnya SK tersebut. Sepeda Statis yang disebut Najwa sebagai barang mewah juga ternyata hanya berharga tidak sampai sejuta, dan diijinkan masuk ke kamarnya atas alasan kesehatan berdasarkan rekomendasi dokter.
Sungguh apa yang dibidik dalam pemberitaan ini menjadi tidak jelas. Kalau media termasuk Mata Najwa mau benar-benar mengadakan liputan investigasi atas jual beli fasilitas Lapas, jangan Sukamiskin yang jadi contoh. Rutan dan Lapas Salemba, Cipinang, Medaeng, Kerobokan, dan Tanjug Gusta. Jual Beli Fasilitas belum apa-apa dibanding pemeliharaan aktifitas perputaran uang yang maha dahsyat di penjara-penjara tersebut. Mulai dari perjudian skala kecil sampai besar, pengendalian peredaran narkoba di dalam dan di luar Lapas, bisnis pelacuran, dan lain-lain. Semua telah berlangsung sejak lama, dan semua dikordinasi dengan tertib oleh para petugas dan pejabatnya. Yang penting tidak ribut, semua senang. Hal ini pernah diungkap bahkan oleh wartawan dan media asing tentang LP Kerobokan misalnya.
Apakah ini salah para Napi? Atau salah petugas sipir? Atau pejabat Lapas sampai Menkumham?
Menurut Malik, mantan Napi yang hadir di ILC tadi malam, hanya ada dua jenis napi di Lapas: sukamiskin dan sukakaya, atau penghuni Lapak Buaya dan penghuni Lapak Kamar. Dalam bahasa Napi lain, dua jenis napi adalah napi anak hilang dan napi atm. Napi yang sukamiskin jumlahnya lebih dari 90%, dan yang sukakaya tidak sampai 10%. Kalau anda jadi Napi, tidur ditumpuk, lalu ditawari kamar dengan harga tertentu, kira-kira anda mau atau tetap memilih ditumpuk? Kalau Napi sukamiskin ya pasrah ditumpuk. Tapi Napi sukakaya dan dia punya uang, tentu memilih beli kamar. Demikian pula kalau anda sakit, Ambeien yang berdarah-darah misalnya, dan perlu WC duduk, sementara Lapas hanya ada WC jongkok, lalu petugas menawarkan: silakan beli WC duduk dan bayar sendiri ongkos pasangnya di kamar anda, bagaimana respon anda? Atau tak perlu repot, sudah banyak kamar modifikasi peninggalan napi sebelumnya.
Apakah salah petugas? Coba bayangkan, petugas sejumlah 3400 orang harus menjaga 138 ribu napi (lihat https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/03/26/o4nfjf326-ini-perbandingan-jumlah-sipir-dengan-narapidana-di-indonesia ). Di Salemba, 3600an napi hanya dijaga oleh 20an petugas. Bagaimana mereka menjaga ketertiban? Dipakailah sistem kelompok-kelompok, suku-suku, dan dipilihlah kepala-kepala suku untuk menjamin ketertiban masing-masing kelompok. Aman, asal ada beberapa dispensasi bagi kepala-kepala suku yang membantu petugas. Para pejabat meng-amini saja praktek puluhan tahun ini karena memang hanya itu cara meredam potensi keributan besar yang setiap saat siap meletus di lapas dan rutan.
Maka dispensasi, fasilitas, dan lain-lain memang awalnya lahir dari kebijakan lapangan yang menuntut diskresi khusus. Namun ada juga yang berkembang menjadi sebuah lahan yang dibisniskan. Apalagi dengan perputaran uang harian yang sangat dahsyat. Selama semua tenang-tenang saja, tidak ribut, tidak membuat liputan dan sidak, maka lanjutkan.
Lalu mengapa dalam kasus Sukamiskin seolah menjadi kesalahan para Napi saja? Karena mereka Napi tipikor? Karena pejabat buang badan? Karena media butuh politiktainment? Jangan-jangan bukan sekedar Pejabat Masalah Napi Dibelah, tapi ini supply and demand KPK, Media, dan lain-lain di tahun politik, menyongsong Pileg dan Pilpres, harus ada Napi Tipikor mewakili Parpol semacam LHI yang harus di-bully sekali lagi untuk menaikkan nilai tawar pihak-pihak yang butuh?
Aufa Khairi