Ngelmu.co – Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia melakukan advokasi terhadap kasus Diskriminasi dan Pelanggaran HAM atas Cacat Prosedur Pemberhentian Hayati Syafri, Dosen Bercadar di IAIN Bukittinggi, Sumatera Barat. Banding Administratif ke Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapek) Badan Kepegawaian Nasional dilakukan sebagai upayanya. Sebab, Hayati Syafri merupakan dosen yang memiliki sejumlah prestasi yang sukses ia torehkan, di antaranya:
- Meraih Gelar Doktor dengan Predikat Cum Laude GPA 3.83,
- Meraih gelar Magister dengan Predikat Cum Laude 3.80,
- Menjadi Peserta Terbaik dalam Pelatihan TFF Parenting yang diselenggarakan Yayasan Minang Peduli dan Pemko Bukittinggi
- Makalah terbaik di International Conference on Education “Teacher in Digital Age” oleh Fakultas Tarbiyah dan
- Teachers Training IAIN Batusangkar, September 2018,
- Lulus Sertifikasi Dosen dan dinyatakan sebagai Dosen Profesional tahun 2013,
- Selama tahun 2017, ia tujuh kali menjadi pembicara di seminar internasional, menjelaskan tujuh jurnal penelitiannya yang terpublikasi pada proceding ternama, ditambah dengan satu penelitian yang terpublikasi pada jurnal bergengsi yang terindeks scorpus.
Dengan demikian, genap delapan jurnal yang berhasil ia garap di tahun yang sama.
Selain itu, dosen bercadar satu ini juga dinilai profesional juga disiplin dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terbukti dengan Penilaian kedisiplinan dari pihak internal kampus, pada tahun 2016 dan 2017 lalu. Nilai kedisiplinan mencapai angka 90.
Berdasarkan keterangan mahasiswa yang ia ajar pun, Hayati merupakan dosen yang baik, cerdas, dan mahasiswa cukup mudah memahami apa yang diajarkan olehnya. Bahkan, ia berhasil melatih beberapa mahasiswa untuk tampil sebagai pembicara di seminar internasional, sebanyak 6 kali di tahun 2017.
Baca Juga: Soal Larangan Cadar, Menteri Agama Bela UIN Bukittinggi
Maka, Hayati pun mendapat penilaian prestasi kerja kategori baik dengan jumlah skor 87.14, sebagaimana Formulir Penilaian prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil bulan Januari sampai Desember 2017.
Diskriminasi dan Pelanggaran HAM terhadap Hayati terjadi karena Pemberhentiannya sebagai Dosen merupakan suatu proses yang cacat prosedur. Dilakukan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin tertanggal 18 Februari 2019 yang menyatakan bahwa Hayati melanggar ketentuan Pasal 3 angka 11 dan angka 17, Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010. Ia dianggap melakukan pelanggaran disiplin, yakni tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah.
Namun, terdapat beberapa hal yang menyebabkan pemberhentian tersebut dinilai tidak wajar, cacat prosedur, dan melanggar HAM yakni:
- Hayati diperiksa dan berujung pada pemberhentian oleh Kementerian Agama setelah sebelumnya mendapat teguran karena memakai cadar di lingkungan kampus. Penggunaan cadar dinilai oleh Pihak Kampus sebagai suatu hal radikal dan ekslusif. Selain itu, penggunaan cadar juga dikaitkan dengan pelanggaran UUD, Pancasila, sumpah PNS dan Kode Etik Dosen yang pada faktanya sama sekali tidak memiliki hubungan dengan substansi aturan yang dimaksud.
- Dari sisi penjatuhan sanksi, penetapan sanksi pelanggaran berat tanpa didahului teguran, dan peringatan tertulis merupakan suatu yang bertentangan dengan prosedur penjatuhan sanksi yang terdapat didalam PP 53/2010 tentang disiplin PNS. Penjatuhan sanksi berat tanpa diiringi teguran dan peringatan tertulis, tidak mencerminkan adanya upaya pembinaan PNS sebagai tujuan utama dari PP 53/2010. Hal ini menjadi rasional karena dalam hukum administrasi, penjatuhan sanksi pemecatan merupakan suatu upaya terakhir dalam penegakan disiplin PNS.
- Ketidakhadiran yang dipermasalahkan oleh Kementerian Agama, terjadi pada tahun 2017. Namun, baru dicari-cari permasalahannya pada tahun 2018, tepatnya setelah ada teguran menggunakan cadar oleh pihak kampus. Kondisi ini menggambarkan adanya upaya penjatuhan sanksi dengan cara mencari-cari kesalahan, bukan didasarkan pada fakta-fakta yang ada.
- Terdapat pemaksaan dalam penjatuhan sanksi pelanggaran disiplin PNS yang menyatakan Hayati tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah. Padahal faktanya, Hayati sudah mendapatkan izin dari atasan di kampus, atas ketidakhadirannya. Selain itu, meskipun tidak hadir, Hayati tetap menjalankan perannya sebagai dosen, sesuai dengan Tri Darma Perguruan Tinggi yakni mengajar, melakukan penelitian, hingga melakukan pengabdian masyarakat. Bahkan, Hayati tetap bisa melayani mahasiswa dalam bimbingan tugas akhir dengan menyediakan waktu konsultasi, saat mahasiswa membutuhkannya. Semua itu dapat dibuktikan dengan adanya laporan beban kerja dosen dan laporan kinerja dosen.
Berdasarkan fakta-fakta yang ada, dapat disimpulkan bahwa terjadi Diskriminasi dan Pelanggaran HAM dalam kasus Pemberhentian Hayati Syafri Dosen Bercadar IAIN Bukittinggi, Sumatera Barat, benar adanya.
Pelarangan bercadar merupakan salah satu bentuk penyimpangan terhadap hak warga negara dalam menjalankan agamanya, yang telah dijamin dalam Pasal 29, UUD 1945. Bentuk upaya paksa pelarangan bercadar tersebut dilakukan oleh Kementerian Agama, melalui penjatuhan sanksi Pelanggaran Disiplin PNS dengan prosedur yang cacat dan tidak berdasar.