Ngelmu.co – Abi Marutama yang merupakan lulusan fakultas hukum, memperkenalkan dirinya sebagai penyandang low vision, sejak lahir.
Abi lulus dari fakultas hukum yang membidangi hukum kemanusiaan internasional, hukum hak asasi manusia (HAM), dan kebijakan pemerintah terkait disabilitas.
Sekilas mengulas tentang low vision:
Low vision adalah gangguan penglihatan yang ditandai dengan penurunan tajam penglihatan.
Kondisi ini juga tidak dapat diperbaiki dengan kacamata, lensa kontak, atau pembedahan.
Pihak medis menyebut ini sebagai sisi bahaya gangguan penglihatan, dibanding dengan penyakit mata lain seperti katarak.
Sebab, katarak masih bisa disembuhkan dengan operasi.
Low vision juga berbeda dengan kelainan refraksi (miopia, hipermetropi, dan astigmatisme) yang bisa dikoreksi menggunakan kacamata atau lensa kontak.
Bahkan, masih bisa sembuh total secara permanen dengan lasik.
Low vision tidak sama dengan buta total, tetapi penurunan penglihatannya tidak dapat diperbaiki.
Meskipun masih bisa melihat angka, huruf, bentuk, dan juga peka terhadap cahaya.
Baca juga:
Low vision yang menemaninya sejak lahir, tidak membatasi langkah Abi untuk menggapai mimpi.
Ia berhasil menjadi awardee atau penerima Beasiswa Chevening 2023/2024.
Abi merupakan lulusan dari School of Law, University of Leeds, West Yorkshire, Inggris.
Ia punya alasan kuat yang membuatnya ingin melanjutkan kuliah di Inggris.
Abi mengaku tertarik belajar tentang Undang-Undang dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengatur tentang penyandang disabilitas di Inggris.
“Saya banyak membaca literatur mengenai perjuangan penyandang disabilitas di UK, dan cukup menarik.”
“Saya belum mengetahui tentang perundangan Inggris terhadap disabilitas di UK, gitu.”
“Untuk itu, saya tertarik mengejar studi di UK,” tutur Abi dalam acara Pembukaan Beasiswa Chevening di Kedutaan Besar Inggris Jakarta, Kamis (14/9/2023).
Selain berangkat dari minatnya tentang hukum dan HAM, Abi juga mengaku ingin mengetahui cara orang-orang Inggris memandang dirinya sebagai seorang penyandang disabilitas.
“Saya ingin merasakan, bagaimana warga Inggris, membantu saya sebagai seorang penyandang disabilitas.”
“Contohnya, saya pergi untuk membeli sesuatu, saya tahu bagaimana penduduk di sana membantu saya sebagai seorang disabilitas.”
Sempat Khawatir
Walau keinginan dan tekadnya kuat untuk bisa berkuliah di Inggris, Abi mengaku sempat khawatir di awal masa perkuliahan.
Ia merasa takut, kondisinya membuat aktivitasnya terbatas di sana.
“Saya cukup khawatir, karena dengan kondisi, dan saya baca di guidelines yang diberikan oleh Chevening itu segala sesuatunya harus diurus sendiri.”
Namun, kekhawatiran itu dihadapi dengan layanan yang diberikan oleh pihak Chevening.
Abi mengatakan, dirinya merasa banyak terbantu oleh pihak Chevening dan kampus tempatnya berkuliah.
“Jadi, saya khawatir, bagaimana pertama kali saya bisa sampai di UK? Saya harus ke mana, kemudian harus melakukan apa?”
“Ternyata respons dari sekretariat itu sangat baik, dan itu sesuatu yang mungkin di Indonesia, sangat jarang sekali yang temukan. Bahkan di level pemerintahan.”
Dalam sehari, kata Abi, bisa 15 email berbeda dari tiga hingga empat orang pihak University of Leeds yang menanyakan tentang kondisi dan kebutuhannya.
“Ini sesuatu yang tidak pernah saya dapatkan ketika saya kuliah S1 di Indonesia.”
“Sangat terkagum, dan di luar ekspektasi saya ketika membayangkan saya harus melakukan segala sesuatu sendiri.”
Aktif Berjuang
Di samping keterbatasannya, Abi justru memanfaatkan pengalamannya.
Pengalaman sebagai seorang profesional penyandang disabilitas penglihatan; untuk memberdayakan penyandang disabilitas Indonesia, dan mengadvokasi hak-hak disabilitas di Tanah Air.
Pada 2016 lalu, Abi bergabung dengan Jaringan Pembangunan Perkotaan yang Inklusif dan dapat Diakses Disabilitas.
Melalui komunitas tersebut, Abi dan teman-temannya berhasil mengajak penyandang disabilitas untuk berkontribusi sebagai pemangku kepentingan.
Tepatnya, dalam Agenda Perkotaan Baru yang diadopsi oleh PBB dalam Konferensi Habitat III yang diselenggarakan di Quito, Ekuador.
Begitu juga pada 2018, Abi menjadi Analis Hak Asasi Manusia di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Abi bekerja pada isu-isu berbagai hak disabilitas, dan membantu mempromosikan inklusi disabilitas pada skala nasional.
Salut dengan kegigihan Abi.
Sebagai informasi, pendaftaran Beasiswa Chevening 2024 ini telah dibuka pada 12 September 2023, dan akan berlangsung hingga 7 November mendatang.
Adapun bantuan pendidikan yang disediakan oleh pemerintah Inggris ini merupakan beasiswa yang memiliki banyak keunggulan dibanding beasiswa lain.
Acara Pembukaan Beasiswa Chevening Tahun Akademik 2024/2025, berlangsung di Gedung Kedubes Inggris, Jl Patra Kuningan, Jakarta, Kamis (14/9/2023) kemarin.
Beberapa awardee mengutarakan keuntungan mendapatkan Beasiswa Chevening tersebut.
Mereka juga menyampaikan keunggulan berkuliah di Inggris.
Apa saja sih manfaat Beasiswa Chevening ini? Berikut di antaranya:
Pendaftaran Mudah
Salah satu keunggulan Beasiswa Chevening adalah syarat pendaftarannya yang mudah.
Beasiswa ini tidak memiliki syarat batasan usia, dan memberikan kesempatan bagi pendaftar untuk bisa memilih jurusan serta kampus yang sesuai dengan profil dirinya.
Sebagaimana disampaikan oleh pewarta berita di salah satu stasiun televisi, Marializia Hasni yang juga merupakan awardee beasiswa ini.
Ia mengatakan, Beasiswa Chevening tidak membedakan pelamar dari golongan mana, melainkan dilihat berdasarkan profil pribadi yang kuat.
“Chevening enggak pandang bulu, beasiswa ini benar-benar melihat profil kita secara utuh,” kata lulusan University of Birmingham tersebut.
“Jadi, enggak mengotak-ngotakkan, ‘Oh, ini golongan itu’, biasanya ‘kan ada beasiswa yang memprioritaskan untuk researcher atau tenaga pengajar dan lainnya,” jelas Maria.
“Bahkan, buat orang yang tadinya seperti saya, enggak punya pengalaman pun pemahaman banyak tentang UK.”
“Tapi melihat profil saya yang memang cocok dengan profil yang diinginkan chevening yang menggarisbawahi influencing dan future leader, akhirnya itu membuat saya lebih diterima.”
Maria juga menuturkan bahwa beasiswa ini tidak mengharuskan pelamar memiliki pemahaman yang dalam tentang UK.
Beasiswa Chevening, melihat pelamar dari segi kemampuannya dalam influencing dan future leader.
Networking Awardee yang Kuat
Noto Suoneto juga merupakan salah satu alumni dari penerima Beasiswa Chevening.
Ia mengatakan bahwa keuntungan bagi penerima beasiswa tersebut adalah mendapat relasi yang luas dan berjangka panjang.
“Kita sudah dipastikan, bahwa ini akan sustain. Ini bukan komitmen satu dua tahun, tapi long lasting,” kata Suoneto.
Menurut alumni dari University of Birmingham tersebut, kekuatan relasi antaralumni Beasiswa Chevening juga cukup kuat.
Bahkan, sesama awardee beasiswa ini memiliki kekuatan sebagai bagian dari Inggris.
“Bukan berdasarkan ras kita apa, bukan berdasarkan background studi kita apa.”
“Bahkan, kalau kita sering berinteraksi, saat dia tahu kita sesama cheveneur, kita tidak tanya lagi dari kampus mana, tahun berapa, enggak.”
“Kita cheveneur, dan kita bagian dari UK,” jelas Noto.
Terbuka untuk Difabel
Sebagai beasiswa yang disediakan oleh negara yang ramah disabilitas, Beasiswa Chevening, tentu membolehkan para penyandang disabilitas untuk mendaftar.
Seperti yang dikatakan di awal oleh awardee, Abi Marutama.
Betapa ia merasa warga Inggris, begitu membantunya sebagai seorang penyandang disabilitas.
Contohnya, saat ia pergi untuk membeli sesuatu, ia tahu bagaimana penduduk di sana membantunya sebagai seorang difabel.
Durasi Kuliah
Beasiswa Chevening ini juga menyediakan kesempatan pendaftar untuk memilih banyak universitas ternama di Inggris.
Di negara tersebut, perkuliahan master biasanya berlangsung selama satu tahun, dan lebih singkat daripada negara-negara lain.
Kalau kamu mau mengikuti jejak mereka, kamu bisa daftar Beasiswa Chevening yang sudah dibuka sejak 12 September lalu di sini…
Selamat berjuang!