Ngelmu.co – Hari-hari ini, ketika seluruh Amerika, bergolak karena #GeorgeFloyd dan #ICantBreathe-nya, yang meneguhkan bahwa #Rasisme #Racism, belum punah dari negara juru kampanye #HakAsasiManusia #HAM, kita kembali mengenang pria berkacamata itu.
Beberapa tahun lalu, ketika menyempatkan berziarah ke makamnya, dan bergambar di boulevard yang mengabadikan namanya, saya langsung ingat sebuah hadits:
وإنما الأعمال بالخواتيم
“Dan sesungguhnya amal-amal itu ditentukan oleh penutupnya,” (HR. Ahmad).
Malcolm X adalah nama yang jadi hujjah, tentang kelamnya hidup di alam zhalim rasisme. Nistanya diri yang kehilangan arah.
Berlikunya jalan menuju cahaya. Panjangnya masa ketertipuan oleh lentera palsu, dan singkatnya manis iman bersama kebenaran sejati.
Tapi sependek apa pun, itulah penutup indah, husnul khatimah, yang membuat nama Al Hajj Malik El Syabaz, abadi sebagai da’i Amerika, yang membawakan hidayah Islam, dan berjuta orang pun mendoakannya.
Lahir di Omaha Nebraska, pada 19 Mei 1925, saat dia masih kecil, ayahnya dinyatakan mati kecelakaan.
Dengan kesaksian beberapa orang menyebut kelompok rasis kulit putihlah, yang mendorongnya hingga tertabrak trem.
Tunjangan tak dibayarkan, hidup berpindah-pindah dalam ancaman Ku Klux Klan.
Ibunya mengalami gangguan jiwa. Lalu, dia dan saudara-saudaranya harus pindah dari satu panti asuhan ke rumah yatim lain.
Menjadi peraih nilai terbaik di sekolahnya, gurunya berkata, “Cita-citamu menjadi pengacara, mustahil untuk seorang kulit hitam”.
Dia pun keluar dan memulai berbagai kejahatan terhadap kulit putih, pencurian, kekerasan, bahkan menurut biografinya, jatuh pula dalam kenistaan hubungan sejenis, karena kesulitan ekonomi.
Fase terkelam hidup ini, diakhiri dengan vonis 10 tahun penjara, dan dari penjara itu, dia mengenal Nation of Islam.
Begitu keluar, dia bergabung dengan organisasi yang dipimpin oleh Elijah Muhammad itu, dan menjadi juru bicara utamanya yang begitu karismatik.
Ajaran Nation of Islam, selain ‘diwarnai sedikit’ nilai Islam, justru meliputi supremasi kulit hitam yang adalah insan asli bumi, kulit putih itu iblis, dan bahwa Elijah adalah Nabi yang diutus sebagai Juru Selamat.
Selama 12 tahun, Malcolm, mendakwahkan hal batil ini, dan interaksinya yang kian luas, membuat dia diajak berdiskusi oleh para Muslim sunni dari Timur Tengah dan Afrika.
“Pada usiaku yang ke-39,” ujar Malcolm, seperti ditulis dalam autobiografinya, yang disunting Alex Haley.
“Aku berada di kota suci Makkah. Saat itulah, untuk pertama kali dalam hidupku, aku berdiri di hadapan Yang Maha Kuasa, dan merasa menjadi manusia utuh,” sambungnya.
“Perjalanan haji telah membuka cakrawala berpikirku. Allah menganugerahkan cara pandang baru selama dua pekan di Tanah Suci.”
“Aku melihat hal yang tak pernah kulihat selama 39 tahun, hidup di Amerika Serikat. Aku melihat semua ras dan warna kulit bersaudara, beribadah kepada satu Tuhan, tanpa menyekutukan-Nya.”
“Benar pada masa lalu, aku bersikap benci pada semua orang kulit putih. Namun, itu karena ketidaktahuan.”
“Sekarang aku tahu, bahwa ada orang kulit putih yang ikhlas dan mau bersaudara dengan orang negro.”
“Kebenaran Islam, telah menunjukkan kepadaku, bahwa kebencian membabi buta kepada semua orang putih adalah sikap salah, seperti halnya jika sikap itu dilakukan orang kulit putih terhadap orang negro.”
Pangeran Mahkota —kelak Raja—Faisal ibn ‘Abdil ‘Aziz Al Sa’ud, menerima Malcolm, yang mengganti namanya menjadi Malik Al Syabaz, sebagai tamu negara.
Seperti penghormatan yang diterimanya dari pemimpin berbagai negara di Asia dan Afrika, ketika masih menjadi pemimpin Nation of Islam.
Seusai haji, dia diminta berkeliling mengunjungi Mesir, Ethiopia, Tanganyika, Nigeria, Ghana, Guinea, Sudan, Senegal, Liberia, Aljazair, dan Maroko, untuk berbicara di forum-forum yang dihadiri ribuan orang.
Dalam perjalanan pulang, dia mampir di Perancis dan Inggris, di mana pidatonya tentang Islam dan perjuangan kesetaraan, disambut riuh.
Malcolm X, akhirnya mendirikan Muslim Mosque Inc., dan Organization of Afro-American Unity, pada 28 Juni 1964.
Baca Juga: Sang Pangeran, Wine, dan Perempuan
Pada 21 Februari 1965, saat akan memberi ceramah di sebuah hotel di New York, Malcolm X, tewas diujung peluru tiga orang Afrika-Amerika, yang ironisnya dia perjuangkan nilai-nilai dan hak-haknya.
Para fanatis Nation of Islam, diduga berada di balik pembunuhannya.
Meski dia wafat di usia yang baru 39 tahun, dan baru amat sebentar membaktikan diri bagi dakwah, gaung perjuangan Malcolm, terus bergema.
Atas pengaruh Malcolm, Warith Deen Muhammad, yang menggantikan ayahnya memimpin Nation of Islam, pada 1975, membubarkan perkumpulan itu.
Lalu pada 1978, memimpin ratusan ribu anggotanya, hijrah menjadi Muslim sunni sejati, menjadikan tahun itu sebagai ‘tahun muallaf’ terbesar sepanjang sejarah dakwah di Amerika.
Sesungguhnya, amal-amal kita dilihat di penghujungnya; dan saya merasa begitu kerdil ketika menziarahi makam Malcolm X, hari ini.
Ya Allah, karuniakan pada kami husnul khatimah.
Oleh: Ustaz Salim A Fillah