Ngelmu.co – Bukannya jera, mengapa penista agama justru marak? Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan, menyampaikan pandangannya.
Berikut selengkapnya:
Dalam mengimplementasikan kehidupan beragama, kerap terdapat perbedaan dan penyimpangan.
Perbedaan agama, keniscayaan yang mengharuskan toleransi, karena perbedaan agama dan keyakinan merupakan ketentuan Allah.
Di sisi lain, perbedaan dalam bentuk penyimpangan, menimbulkan praktik beragama yang kurang nyaman.
Bahkan, kontraproduktif; karena niat jahat dari tujuan beragama.
Pemahaman menyimpang tampaknya berawal dari niat buruk.
Lalu, melahirkan praktik kehidupan beragama menyimpang atau menyesatkan yang disebabkan banyak faktor, yang terjadi pada semua pemeluk agama.
1. Lemahnya Literasi
Pertama, lemahnya literasi memahami teks suci masing-masing agama.
Misalnya ketika memahami makna Tuhan, dalam berbagai perspektif agama yang menimbulkan kesalahpahaman.
Seperti ungkapan, “Allahmu lemah, Allahku kuat”.
2. Adanya Intervensi
Kedua, tidak bisa dipungkiri, adanya intervensi politik-kekuasaan dalam memberikan pemahaman agama yang mereduksi makna Tuhan.
Dalam upaya penyatuan konsep keyakinan beragama, bagi para pemeluk agama (sinkretisme).
3. Konsep Ketuhanan
Ketiga, sebagian masyarakat belum dapat membedakan konsep ketuhanan bersifat universal dan khusus, yang dianut masing-masing pemeluk agama.
4. Lemahnya Pemahaman
Keempat, lemahnya pemahaman terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan.
Terutama terkait interaksi kehidupan beragama dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
5. Hegemoni Ilmuwan
Kelima, hegemoni ilmuwan yang membuat pemahaman beragama kian sempit.
Bahkan dikotomi antara agama dengan pengetahuan umum lainnya, yang melahirkan sekularisme.
Baca Juga:
Sayyid Muḥammad Naquib al-Aṭṭas (1931), ilmuwan bidang filsafat keagamaan, merekomendasikan mengembalikan muruah kebangsaan dan keislaman negerinya.
Ia bicara itu di pentas internasional, untuk menjawab hubungan yang tidak selalu mesra antara Islam dan modernitas.
Sayyid Muḥammad Naquib al-Aṭṭas mengkritik jantung sekularisme, dengan mencari makna terdalam Islam, sebagai agama dan pondasi etika serta moralitas.
Secara tegas, ia mengajak para ilmuwan membebaskan tamadun; dari kungkungan Barat.
Sayyid Muḥammad Naquib al-Aṭṭas mencoba mengkritik sekularisme.
Dengan solusi mencari makna terdalam dari Islam, untuk mewujudkan kehidupan beragama yang memiliki peradaban maju.
Islam menjunjung tinggi nilai keadilan untuk memajukan peradaban oleh ilmuwan, ulama, mubalig; dengan tujuan:
1. Menguatkan Literasi Konsep Beragama
Pertama, memperkuat literasi konsep beragama yang bersifat pokok dalam menanamkan nilai tauhid.
Sehingga keyakinan yang dianut umat beragama, tidak mudah tergoyahkan.
2. Memahami Konsep
Kedua, konsep ‘tuhan’ dari masing-masig agama, perlu dipahami.
Agar dapat membedakan konsep ‘Tuhan’ yang universal; dan sebaliknya, menghindari keyakinan bersifat sensitif.
Di satu sisi, tidak mengintervensi kayakinan agama lain, di sisi lain, meyakini masing-masing agama dengan prinsip ‘bagimu agamamu, bagiku agamaku’.
3. Menanamkan Pemahaman
Ketiga, menanamkan pemahaman agama bersifat pemurnian keyakinan masing-masing. Sehingga sinkretisme dapat dihilangkan.
4. UU PNPS 1/1965
Keempat, Indonesia mempunyai Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Pasal 1 menyatakan:
[Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia, atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok agama itu].
5. Meneguhkan Nalar
Kelima, meneguhkan kembali nalar kehidupan beragama, berdasarkan akal sehat.
Dengan dasar, “Apakah kalian tidak memikirkan/merenungkan isi Al-Qur’an atau hati mereka terkunci,” (QS. Muhammad: 24).
Menghidupkan akal sehat dalam bingkai konstitusi merupakan kewajiban setiap warga, hingga pejabat negara.
Sebab, Indonesia adalah negara hukum. Ada konsekuensi bagi semua pihak mematuhi konstitusi.
Baca Juga:
Indonesia bukan negara agama, karena tidak menjadikan agama tertentu sebagai dasar negara.
Namun, Indonesia sebagai negara beragama, yakni mengakui banyak agama dan keyakinan berdasarkan UUD 1945.
Kehidupan beragama diatur konsitusi dengan memberikan ruang kepada pemeluk agama.
Bagi pemeluk agama, perlu paham beragama dalam konteks bernegara.
Sebab, negara menjamin dan memberikan kebebasan beragama, seperti ditegaskan UUD Pasal 29 ayat (2):
[Bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu].
Sebaliknya, adanya pandangan yang mengatakan agama melalui tokoh agama menjadi sumber kekacauan, merupakan pandangan naif dan penuh kebencian.
Sebab yang terjadi, meminjam ungkapan Wakil Presiden RI (2004-2009) dan (2014-2019) Jusuf Kalla:
“Yang menjadi sumber kekacauan di Tanah Air adalah para pendengung, maka harus ditertibkan aparat penegak hukum.”
Sejatinya, kehidupan beragama merupakan ikhtiar mewujudkan rasa aman, damai, sejahtera; berdasarkan keadilan.
Sebaliknya, kehidupan yang menimbulkan kekhawatiran, ketakutan; merupakan praktik yang bertentangan dengan akal sehat beragama.
Oleh: Sekjen MUI Pusat Amirsyah Tambunan