Ngelmu.co – Para pengungsi etnis Rohingya, bergembira. Hal tersebut dikarenakan bersatunya pasangan pengungsi Rohingya yang mengadakan pernikahan.
Pasangan Shofika Begum dan Saddam Hussein adalah mempelai yang bergembira saat itu. Mereka melaksanakan pernikahan dengan cara yang sangat sederhana, namun tentunya tidak mengurangi aura kebahagiaan. Kebahagiaan tetap terpancar dari pasangan pengantin dan para pengungsi lainnya.
Mempelai perempuan terlihat begitu mempesona. Pola dekoratif yang berasal dari tinta tumbuhan Henna tergambar indah di kedua tangannya.
Kebahagiaan tersebut bukan omong kosong belaka, seluruh tamu undangan yang hadir menari dan bergembira di tenda berwarna yang sudah disediakan. Ruangan tempat mempelai berada pun tercium aroma wewangian.
Sebelum hari H pada bulan ini, seekor sapi disembelih untuk dijadikan santapan para tamu. Demi lebih memanjakan lidah, kari pun disiapkan. Pesta resmi dimulai setelah pasangan itu mengucap ijab kabul. Setelah prosesi keagamaan, keluarga serta tamu langsung menuju tenda yang dipisah antara laki-laki dan perempuan untuk menyantap makanan.
Kebahagian dan kemeriahan tetap sama, perbedaannya cuma satu. Hussein dan Begum yang merupakan keturunan Rohingya tidak merayakan hari bahagianya di tempat mereka lahir dan tumbuh besar, negara bagian Rakhine, Myanmar. Pasangan ini adalah dua dari sekitar 660 ribu warga Rohingya yang menyelamatkan diri dari Rakhine menuju Bangladesh. Alasan mereka menyelamatkan diri dari Rakhine hanya satu, yaitu lari dari pembantaian oleh militer Myanmar.
Sebenarnya, Hussein dan Begum sudah berencana menggelar pernikahan di kampung halaman mereka di Maungdaw, Rakhine. Akan tetapi, rencana tinggal rencana. Hari bahagia terpaksa mereka pindahkan ke kamp pengungsian Kutupalong di Cox’s Bazar, Bangladesh. Mimpi menikah dalam suasana damai di lingkungan rumah terpaksa batal karena kekerasan yang dialami etnis Muslim dari pihak militer Myanmar.
Meskipun tidak berada di rumah, Hussein bersyukur tetap bisa melangsungkan pernikahan. Bahkan, ada keuntungan besar yang dirasakan ketika mereka menikah di kampungnya.
Hussein menuturkan bahwa untuk menggelar pesta pernikahan di kampungnya, selain mengeluarkan biaya pernikahan, mereka diwajibkan untuk membayar sebesar 370 dolar AS atau Rp 5 juta kepada pejabat desa sebagai biaya administratif.
Kebahagiaan tetap meliputi pesta pernikahan nan sederhana yang berada di tenda pengungsian memang tidak bisa luntur. Walau masa depan masih belum jelas, Hussein tetap optimistis menatap hari depan dengan belahan jiwanya.
Hussein menginginka untuk segera memiliki momongan. Hussein juga mengatakan bahwa dirinya dan keluarga mau kembali ke Myanmar jika diberikan kewarganegaraan Myanmar.