Ngelmu.co – MATA NAJWA ATAU KATA NAJWA
Acara Mata Najwa dan Kick Andy termasuk 2 program Talk Show yang dulu selalu saya ikuti. Keduanya punya gaya yang berbeda. Najwa Shihab, yang selalu menyebut dirinya “tuan rumah” Mata Najwa, selalu tampil khas dengan gaya bertanya yang menyelidik, mengulik segala sisi “tamu”nya secara mendalam, terkadang mencecar dan memberikan pertanyaan pancingan. Semua itu sah-sah saja, sepanjang masih proporsional dan tidak emosional. Tetapi, ketika memasuki tahun politik 2014, Najwa semakin menunjukkan ciri khasnya itu ternyata tebang pilih. Perlakuannya pada tamu tidaklah seragam, ada yang sengaja disanjung, ada pula yang habis-habisan dijatuhkan. Salah satu – eh salah dua – episode Mata Najwa (ketika masih tampil di stasiun Metro TV) yang bisa jadi perbandingan betapa bak langit dan bumi sikap Najwa sang tuan rumah kepada tamunya adalah episode ketika Najwa mengundang Megawati Soekarno Putri dan ketika mengundang Angel Lelga.
Januari 2014, empat tahun yang lalu, Megawati diundang Mata Najwa. Saya menantikan tayangan ini, sebab penasaran banget, ingin tahu bagaimana Megawati berdialog dengan Najwa yang ceriwis, mencecar, menyelidik bahkan memojokkan. Sedangkan Mega dikenal sebagai sosok yang tertutup pada pers, bicaranya biasanya searah ketika di forum partainya.
Ternyata, yang saya saksikan di acara Mata Najwa, gaya sang tuan rumah jadi berbeda. Nana berdiri dari kursinya, menyambut kedatangan Megawati. Bahkan suasana di studio pun seakan disetting untuk sang tamu istimewa yang dihormati. Rekaman yang diputar sebagai pelengkap acara adalah testimonial dari Surya Paloh – boss nya Najwa di Metro TV – yang mengenal Megawati dan tentu saja memberikan pujian kepada Mega. Di kursi penonton, duduk Rano Karno berdampingan dengan Joko Widodo, keduanya Gubernur Banten dan Gubernur DKI saat itu, sekaligus kader partainya Mega. Hadir pula Puan dan beberapa politisi PDIP. Ibaratnya sang tamu hadir dikawal suporter.
Sepanjang sesi acara, tak sekalipun Najwa menampakkan sikap memojokkan. Dia justru tampil sangat santun, malah kelihatan sedikit “inferior” jika dibandingkan dengan gaya Najwa biasanya, di hadapan tamu lainnya. Najwa seperti memposisikan dirinya di bawah Megawati. Najwa seolah sedang mewawancarai “boss”nya. Dengan situasi seperti ini, jelas Megawati merasa nyaman dan tetap bisa menjawab tiap pertanyaan dengan gayanya seperti biasa. Meski agak lambat dalam menjawab, tak sekalipun Najwa mendesak, apalagi memotong. Bahkan ada pertanyaan yang tak mau dijawab Mega, Najwa pun tak mendesak sama sekali, dia bahkan kemudian mengalihkan ke pertanyaan lain.
Beda banget ketika Najwa mengundang Angel Lelga. Kehadiran Angel Lelga di acara Mata Najwa karena keikutsertaannya dalam pesta politik, Pemilihan Umum tahun 2014, sebagai calon anggota legislatif (caleg) dari PPP. Angel maju sebagai caleg dari derah pemilihan Jawa Tengah V, satu dapil yang sama dengan Puan Maharani, putri Megawati. Disini Najwa tampak “garang” menghabisi Angel. Pertanyaan-pertanyaan menohok terus dilemparkan, meski Angel sudah jelas sejak awal tampak kedodoran dalam menjawab, namun tak sedikitpun Najwa menunjukkan belas kasihan. Najwa makin tampak superior dihadapan tamunya yang jelas tidak selevel dengannya dalam hal adu argumen. Sebenarnya, tanpa tampil mencecar pun, pemirsa sudah bisa menilai kapasitas Angel Lelga, kalau itu yang hendak ditunjukkan Najwa.
Banggakah Najwa jika dia terlihat superior dan hebat dihadapan seorang Angel Lelga? Ibarat seorang mahasiswi jurusan ilmu komunikasi politik semester 5 berdebat dengan anak SMP kelas 1. Kalau pun menang, si mahasiswi tak akan tampak hebat. Sebaliknya, si bocah SMP tak akan dikatakan bodoh. Sebab keduanya tidak selevel. Sebagai jurnalis kawakan yang sudah berkali-kali tampil menghadapi politisi senior, seharusnya Najwa malu kalau dia menghadapi Angel Lelga dengan menggunakan peluru yang sama dengan peluru yang dipakainya “menembak” politisi yang sudah malang melintang di Senayan. Seharusnya Najwa tahu, lawan yang dihadapinya kelas apa (kalau diibaratkan ring tinju), sehingga dia tak perlu memboroskan jab-jab dan pukulan ekstra keras hanya untuk meng-KO-kan lawan yang memang tak seimbang bobotnya. Bahkan kalau mau uji nyali sekaligus menguji kepiawaiannya mengulik segala sisi nara sumber, seharusnya pada saat menghadapi Megawati lah Najwa harus mampu tampil superior, harus bisa mendesak Megawati menjawab semua pertanyaannya, termasuk kalau Mega tak mau menjawab. Dari 2 episode ini – Megawati dan Angel Lelga – sebenarnya kita sudah bisa menilai kualitas Najwa Shihab sebagai host dan juga “arah” dari acara Mata Najwa.
Saya pikir setelah pindah stasiun TV, program Mata Najwa akan berubah format dan style. Ternyata dugaan saya keliru. Najwa justru makin menunjukkan “kualitas” yang sebenarnya. Betul memang Najwa selalu tampil mencecar, tapi ketika menghadapi Anies Baswedan cecaran Najwa sudah tak lagi proporsional bahkan sudah over dosis. Betapa tidak, pertanyaan yang dia lontarkan belum selesai di jawab Anies, Najwa sudah memotong dan mengajukan pertanyaan lain. Itu terjadi berulangkali bahkan nyaris setiap kali Anies menjawab, baru setengah jalan, sudah dipotong dan “dipaksa” untuk disimpulkan seperti maunya Najwa. Padahal, untuk setiap pertanyaan Anies selalu menjawab spontan, GPL alias gak pake lama, tanpa butuh waktu berpikir sambil “eh…, eh…, anu…”.
Simpulan yang dibuat Najwa untuk setiap jawaban Anies, bukanlah simpulan dari penjelasan Anies, melainkan simpulan yang ada di benak Najwa, simpulan yang sudah disiapkan sejak awal. Bahkan meskipun Anies menjelaskan ‘A’, Najwa tetap berusaha mengarahkan kesimpulan menjadi ‘B’. Untunglah Anies berjiwa petarung, dia bertahan, Anies terus melanjutkan argumennya dan menolak digiring Najwa untuk meng-iya-kan simpulan ‘B’ yang dipaksakan disodorkan Najwa. Najwa tidak lagi mencecar tapi memaksa agar tamunya menjawab sesuai keinginannya. Bagaimana mungkin untuk sebuah pertanyaan yang butuh penjelasan, eeeh…, ketika dijelaskan malah dipotong dan ditimpa pertanyaan lain.
Untunglah yang jadi tamu Anies Baswedan, dia hanya sedikit menegur Najwa dengan sepenggal kalimat singkat “eh, anda gak boleh begitu”. Coba kalau yang duduk di kursi Anies itu Ahok, kemudian merasa dicecar oleh host, bisa jadi sudah dimaki-maki dengan kata-kata kasar si host. Kelihatan sekali ada unsur emosional yang sangat besar porsinya, turut ambil bagian dalam penampilan Najwa Rabu malam lalu. Bandingkan dengan saat Najwa mewawancarai Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, BJ. Habibie, dll, sebagai tamu di acara Mata Najwa sekitar 4 tahun lalu. Akan tampak sekali bedanya. Silakan dicari di youtube rekamannya, semoga masih ada.
Saat mewawancarai Anies Baswedan, Najwa kelihatan “kalap”. Bahkan sempat beberapa kali dia bertindak sebagai provokator ketimbang host. Semestinya, jika Najwa percaya diri bahwa acaranya adalah tontonan berkelas dengan pertanyaan dan argumen berbobot, maka tentulah segmen pemirsanya dari kalangan “well educated”, pemirsa cerdas, yang tidak perlu diarahkan pemikirannya, tidak perlu didikte untuk membuat simpulan. Serahkan saja pada pemirsa untuk menyimpulkan. Tindakan Najwa yang memaksakan menyimpulkan hampir setiap jawaban Anies, dengan kesimpulan sumir, justru jadi point negatif bagi acara Mata Najwa episode 100 hari Anies Sandi. Apalagi menghadapi Sandi yang cool, Najwa langsung gagal total jadi provokator.
Pada sesi terakhir, Najwa menampilkan beberapa kutipan pernyataan Anies dan Sandi semasa kampanye, lalu segera diikuti tanya “apakah sekarang masih sama sikapnya?!”
Wah, tentu ini akan sangat menarik kalau Najwa bisa mengundang Presiden Joko Widodo. Bisa ditayangkan cuplikan janji kampanye : akan menyetop hutang luar negeri jika terpilih jadi presiden. Apakah masih sama sikapnya?! Akan mempersulit investasi asing, apakah sekarang masih sama sikapnya?! Akan membuka 10 juta lapangan kerja, apakah sekarang masih sama sikapnya, terutama menyikapi maraknya tenaga kerja asal negeri tirai bambu yang bekerja di level unskilled worker?! Sedih jika mendengar impor pangan, apakah masih sama sikapnya?! Tidak akan bagi-bagi jabatan, apakah sekarang masih sama sikapnya?! Melarang menterinya rangkap jabatan, apakah sekarang masih sama sikapnya?!
Nah, beranikah Najwa sebagai jurnalis dengan gaya khasnya bertanya begitu kepada pak Jokowi?!
Rasanya, saya sudah tahu jawabnya!
Alhasil, dengan kemunculan Mata Najwa pada Rabu malam kemarin, makin memperjelas “arah” dari program tersebut. Mungkin justru akan lebih menguntungkan kalau acara itu “dikomersiilkan” sekalian. Sekedar usul saja, terlanjur menuai hujatan, sindiran, mending sekalian dapat untung dari sisi materi. Ini kan sudah masuk tahun politik, sekalian “jual” saja program acara Mata Najwa kepada para politisi berduit atau partai politik. Siapa tokoh yang hendak “dijatuhkan” atau siapa tokoh yang hendak “dinaikkan”. Najwa tinggal membuat daftar pertanyaan. Dia bisa tampil seperti ketika menyerang Angel Lelga, atau sebaliknya seperti ketika memunculkan Megawati. Bagaimana Mbak Nana? Toh untuk dijual sebagai program acara yang bernilai jurnalistik, acara Mata Najwa sudah terlanjur “cacat” karena cara Najwa yang keluar dari prinsip jurnalisme.
Mungkin ada satu pertanyaan yang perlu dijawab Najwa Shihab : anda mengundang tamu hadir ke acara anda untuk didengarkan, ataukah anda mengundang tamu untuk mendengarkan sang tuan rumah ngoceh? Kalau anda hanya butuh didengarkan, buat saja program bertajuk “KATA NAJWA”.
Iramawati Oemar