Ngelmu.co – Komunisme itu paham, bukan organisasi, bukan pula nasab. Orang, bisa saja menjadi komunis, tanpa harus terdaftar sebagai anggota organisasi komunis, seperti PKI, misalnya; atau bukan pula dari keturunan anak komunis.
Jadi, jangan salah sangka. Orang berpaham–lebih tepat lagi ideologi–komunis, bisa berada di organisasi apa saja.
Mulai dari organisasi sosial kemasyarakatan, profesi, keagamaan, sampai organisasi partai politik.
Begitu juga soal nasab, anak yang lahir dari seorang alim pun, bisa jadi terjangkit paham komunis.
Sebaliknya, anak seorang komunis, belum tentu juga, sepaham dengan komunis.
“Dik Gaffar, kamu ajari saya agama, nanti kamu saya ajari Marxisme,” kata Sukarno, satu ketika.
Seseorang yang ia panggil ‘Dik Gaffar’, adalah A Gaffar Ismail, ayah dari Taufiq Ismail.
Dokter hewan yang lebih dikenal sebagai penyair.
Taufiq Ismail, menceritakan kisah persahabatan Sukarno, dengan ayahnya itu, dalam Katastrofi Mendunia (2004).
Sukarno–yang begitu menghargai ilmu, lebih dulu dipenuhi oleh ajaran Karl Marx, ‘nabi’-nya orang-orang sosialis-komunis.
Ia, bangga menguasai Marxisme, hingga berani menawarkan barter dengan pengajaran ‘ilmu-ilmu’ Islam.
Boleh jadi, sebagai Muslim yang belum ‘terisi’ dengan hakikat islam, Sukarno, memandang Islam, sebagai sebuah cabang ilmu yang setara degan Marxisme.
Ya, hanya sebuah ilmu dalam tumpukan ilmu-ilmu sosial dan budaya.
Maka Sukarno–yang rajin bertanya soal Islam, kepada Gaffar dan Hasan Bandung, pun tetap sebagai seorang nasionalis sekuler.
Memimpin Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Pemikirannya tentang ke-Islam-an dan sosial kemasyarakatan, tidak lepas dalam perspektif (ilmu) sekuler itu.
Sehingga tulisan-tulisannya, sering mengundang tanggapan kritis dari Mohammad Natsir–tokoh Partai Islam Masyumi.
Begitu pun dalam langkah selanjutnya, ketika menjadi Presiden RI, Sukarno, menggabungkan ideologi nasionalisme, agama, dan komunisme, yang dikenal dengan Nasakom.
Masyumi, menolak ideologi gabungan itu, sehingga Masyumi, di-ultimatum untuk dibubarkan oleh Presiden Sukarno, atas desakan PKI.
Itulah Sukarno, lebih dekat ke komunis.
Bagaimana dengan ayah sang Penyair Taufiq Ismail?
Meskipun di-coach langsung oleh mentor besar Marxisme, Sukarno; tetapi Gaffar, tak lantas jadi komunis.
Ikut Sukarno, di PNI, pun tidak. Ia, justru aktif di Partai Islam Masyumi, yang anti-komunis.
Itu, karena sikap dan pandangan hidupnya, telah dibentuk oleh Islam, terlebih dulu.
Putra Minang, ini tamatan Sumatra Thawalib Parabek, dan pernah nyantri di Padang Panjang.
Dus–sikap dan pandangan hidup seseorang–itu sangat ditentukan oleh pengajaran.
Ajaran apa yang lebih awal atau lebih intens diterima, lebih kuat memengaruhi dan memenuhi pikirannya.
Jadi, jangan main-main dengan pangajaran. Ia adalah mesin cetak kepribadian dan pandangan hidup seseorang.
Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo–sederet orang Indonesia pertama yang jadi komunis–awalnya adalah pengikut H.O.S Tjokroaminoto, sebagai anggota Sarekat Islam (SI).
Bahkan, pernah menduduki jabatan penting di SI.
Semaoen, misalnya, menjadi Ketua SI Semarang. Tetapi mereka, kemudian menjadi tokoh penting pula di PKI.
Partai yang pernah beberapa kali menorehkan sejarah kelam bangsa ini, dan dipecat dari SI.
Semaoen, menjadi anggota SI, pada 1914, di Afdeeling, Surabaya.
Usianya terbilang masih terlalu muda, 14 tahun. Setahun kemudian, 1915, ia berkenalan dan akrab dengan seorang sosialis Belanda.
Namanya Sneevliet, Ketua ISDV (Indische Sosial Democratische Vereniging) dan Persatuan Buruh Kereta api, serta Trem VSTP (Vereniging van Spoor en Tramweg Personcel), di Semarang.
Semaoen, bersimpati berat kepada Sneevliet, dan menyapa orang Belanda, itu sebagai ‘guru’.
Tidak salah, karena di tengah orang-orang Belanda, bermental kolonial dan merasa superior, Sneevliet, justru menawarkan persamaan dan semangat revolusiner.
Maka Semaoen, pun ikut aktif di dua organisasi beraliran komunisi itu. Alimin dan Darsono? Ikut pula di ISDV.
Penguasaan bahasa Belanda, yang baik, minat belajar yang sangat kuat, dan hubungan dekatnya dengan Sneevliet, membuat Semaoen, dipercaya sebagai ketua propagandis VSTP, dan mendapat gaji.
Jabatan ini, membuat Semaoen, harus intens mempelajari ideologi Marxis, dan harus pindah pula ke Semarang.
Tempat kedudukan Pengurus besar VSTP, pada Juli 1916.
Setahun kemudian, tepatnya 6 Mei 1917, ia, terpilih pula menjadi Ketua SI Semarang.
Semaoen, mengganti ISDV, menjadi Partai Komunis Hindia, pada 23 Mei 1920.
Ia, menduduki posisi ketua, dan Darsono sebagai Wakil Ketua.
Belakangan, organisasi ini menjadi PKI, dan Semaoen, adalah ketua pertama.
Sementara Alimin, memimpin Wilayah Jakarta, sejak 1918.
Pada akhir 1921, Semaoen, meninggalkan Indonesia, untuk pergi ke Moskow.
Kedudukannya di PKI, digantikan oleh Tan Malaka.
Setelah kembali ke Indonesia, pada Mei 1922, ia, mendapatkan kembali posisi Ketua Umum PKI, dan mengganti nama SI, yang dipimpinnya, menjadi Sarekat Rakyat, bagian dari PKI, di tahun 1924.
Dari sekilas perjalanan Semaoen, dan kawan-kawannya, terbuktilah bahwa meskipun mereka aktivis SI, tetapi lebih intens mendapat asupan dan bergulat dengan pemikikiran sosialisme-komunisme Marxis, daripada Islam.
Namun, pada saat itu, Semaoen, dan juga orang-orang SI lainnya–yang kemudian menjadi PKI–tidak mengetahui, bahwa di dalam ajaran sosialisme Marxisme, itu terkandung prinsip-prinsip ateisme; bertentangan dengan ajaran Islam.
Sukendar, Ketua Perwakilan PKI, dalam Kongres SI 1922, misalnya, ketika diminta tanggapannya terkait SI, yang akan menjadi Partai Sarekat Islam, menyatakan bahwa menjadi komunis, bukan berarti tidak percaya adanya Tuhan.
Tetapi ia, mengakui gerakan mereka netral dalam urusan agama.
Orang-orang PKI, tak ingin Islam, dibawa-bawa ke ranah politik.
Hal ini mengagetkan para peserta kongres. Betapa tidak, ada orang yang percaya kepada Allah, tetapi netral agama!
Jadi, ada yang tidak beres pada diri Semaoen, dan kawan-kawannya.
Kata Mohammad Hatta, “Kalau ada orang komunis yang mengatakan ia percaya pada Tuhan, atau seorang Muslim mengaku dirinya Marxis, maka ada yang tidak beres padanya.”
“Tidak sedikit orang yang tersinggung, karena merasa banyak yang tak beres pada dirinya, tapi yang tak tersinggung karena tak tahu, lebih banyak lagi,” kata Taufiq Ismail.
Kalimat terakhirnya, justru menjadi kekhawatIran terbesar kita sekarang.
Lebih banyak yang tidak tersinggung, karena tidak tahu.
Betapa banyak orang tidak tahu, kalau ‘netral dalam urusan agama’, atau ‘mengharamkan agama dibawa ke ranah politik’, berarti sudah kerasukan bibit paham komunis.
Malah, mereka yang tidak tahu itu, justru banyak pula aktivis oraganisasi Islam.
Banyak juga yang tidak tahu, kemudian terhasut. Misalnya, seperti pemberontakan PKI 1927, di Sumatra Barat.
Taufiq Ismail, mengutip Brackman, menggambarkan pemberontakan itu sebagai, “more in the nature of a ‘holy war’ by Islamic zealots than Communist rebellion”.
Pemberontakannya malah berciri Islami, ketimbang komunis.
Sebab, komunis adalah paham yang berasal dari pengajaran.
Maka ajaran yang berbau komunis, dalam segala bentuknya, memang wajib diharamkan.
Paling mendasar, misalnya, adalah ajaran yang merendahkan nilai agama atau ketuhanan.
Memisahkan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, atau ajaran netral agama.
Sebab, ajaran ini adalah bagian dari ajaran komunis, untuk tumbuh berkembangnya komunis lebih lanjut.
Menjadi tugas dan kewajiban negara, mencerdaskan bangsa, bukan kewajiban individu dan keluarga.
Melalui pendidikan, baik formal pun non-formal, pemerintah, berkewajiban membangun anak bangsa menjadi insan cerdas.
Cerdas yang dimaksud adalah cerdas berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, sesuai cita-cita pendirian negara ini.
Oleh karena itu, semua materi ajar dan metode yang digunakan, harus mampu mengarahkan anak didik pada pembentukan insan yang cerdas, ber-Ketuhahan Yang Maha Esa; dan secara khusus, mata ajar agama, harus mendapat perhatian utama, untuk senantiasa ditingkatkan kualitasnya.
Mengurangi–atau bahkan menghilangkan–mata ajar agama di sekolah, serta menyerahkan pendidikan agama kepada keluarga, adalah ide yang sangat keliru.
Ini dapat dilihat sebagai langkah melepaskan tanggung jawab negara [pemerintah], terhadap pembangunan manusia Indonesia, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, manusia bertakwa.
Melepas tanggung jawab negara [pemerintah] dalam mencerdaskan bangsa berdasarkan Pancasila.
Ide buruk mengingkari Pembukaan UUD 1945. Ide menumbuhkan generasi sekuler, generasi yang menjadi lahan subur tumbuh berkembangnya komunisme.
Selanjutnya, paham komunis harus dilawan. Secara khusus, pendidikan Islam (Dakwah Islamiyah), harus membekali jemaah untuk mampu mematahkan argumentasi kaum komunis.
Konstruksi berpikir Islam, berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang demikian kuat harus dimiliki jemaah.
Sehingga mampu dengan mudah mematahkan dan membongkar habis, pemikiran komunis yang dibangun berdasarkan ‘Madilog’ (material-dialektika- logika).
Demikian juga karakter pribadi jemaah, harus sampai pada ‘Inna shalati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillah Rabbil ‘alamin’.
Sehingga tak adalagi jemaah yang berpikir, berperilaku sekuler, dan netral agama.
Dakwah Islamiyah, harus segera keluar dari lingkup kamar mandi (bersuci), dan menakar pahala serta dosa.
Dakwah Islamiyah, harus segera memenuhi fungsinya, memuaskan intelektualitas dan rohani manusia sekaligus.
Jangan biarkan ada ruang kosong dalam kehidupan manusia ini, tanpa terisi oleh Islam, sehingga paham apa pun, tidak akan bisa masuk lagi.
Wallahu a’lam bishawab.
Oleh: Ketua Komisi di MUI Medan, Masri Sitanggang–Penggagas dan Ketua Panitia #Masyumi Reborn