Ngelmu.co – Bisa dibilang, Gejayan membidani reformasi dari Yogyakarta. Sebab, Mei 1998 silam, pergerakan masif mahasiswa menyuarakan demokrasi, terjadi di jalan itu, jalan yang kini dikenal dengan nama Affandi, terletak di Kabupaten Sleman, DIY. Kini, usai 20 tahun berlalu, Gejayan memanggil kembali, untuk selamatkan reformasi.
Gejayan Membidani Reformasi
Tak salah rasanya, jika jalan itu dijadikan pusat pergerakan. Karena di sana, berkumpul kampus-kampus dengan basis mahasiswa yang banyak.
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Sanata Dharma (USD), Universitas Gadjah Mada (UGM), hingga Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY).
Lokasinya strategis. Mahasiswa pun memilih Gejayan untuk menyampaikan aspirasi, menuntut Presiden Soeharto turun, tepatnya pada 8 Mei 1998.
Ada hal pahit di balik peristiwa itu. Bentrok. Pecah. Satu orang mahasiswa MIPA USD, Moses Gatutkaca, tewas. Namanya pun dijadikan nama jalan yang tak jauh dari Gejayan.
Peristiwa telah berlalu 21 tahun lebih, mirisnya, reformasi di negeri ini kembali cedera.
Pantas, jika hari ini, mahasiswa tak lagi diam, bahkan dosen hingga dekan pun ikut bergerak. Semua kompak bersatu, menyampaikan aspirasi.
Terutama soal Revisi UU KPK dan RKUHP yang wujudnya tak karuan.
[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
BEM Seluruh Indonesia Serukan Aksi Nasional
[/su_box]
Tugu Pal Putih Yogyakarta, Titik Nol KM, hingga DPRD Provinsi, menjadi tempat mahasiswa serta akademisi menyampaikan aspirasinya.
Gejayan Memanggil
Seolah tak terpanggil oleh skala demonstrasi itu, tagar Gejayan Memanggil pun ramaikan media sosial, meneriakkan telinga pemerintah, juga para legislatif.
Respons publik begitu luar biasa. Meskipun muncul dugaan aksi itu ditunggangi kepentingan politik, tuduhan itu terbantahkan, saat deklarasi sikap. Gerakan itu memang bebas dari kepentingan politik.
Lalu, bagaimana dengan ssejumlah kampus di Yogyakarta mengeluarkan surat edaran yang isinya rata-rata tidak terlibat dan tidak merekomendasikan mahasiswanya untuk menyampaikan aspirasi di Jalan Gejayan?
“Itu bukan persoalan, kami tidak membawa nama kampus, kami membawa nama mahasiswa sebagai individu, mahasiswa sebagai warga negara, mahasiswa sebagai masyarakat,” tegas Obed Kresna, mantan Ketua BEM UGM.
Senin (23/9) kemarin, pukul 13.00 WIB, menjadi bukti jika segala halangan tak menyurutkan niat mahasiswa.
Mereka bahkan membawa isu yang jauh lebih besar, tak hanya soal RKUHP dan RUU KPK, tapi juga sikap terkait RUU Ketenagakerjaan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, kriminalisasi aktivis Papua, hingga Karhutla yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan.
Puluhan Ribu Jiwa Terlibat Gejayan Memanggil
Datang dari dua hingga tiga penjuru, titik tengah mereka ada di USD. Mahasiswa dari Barat berkumpul di UGM, sedangkan dari timur, mahasiswa berkumpul di UIN Sunan Kalijaga.
Diperkirakan, mereka berjumlah belasan bahkan puluhan ribu jiwa. Bisa dibilang, demo kali ini menjadi yang terbesar, usai 1998.
Kordinator umum Aliansi Rakyat Bergerak, Rico Tude pun mengatakan, nilai historis Gejayan mampu membangkitkan kembali semangat mahasiswa.
Bukan hanya mereka yang ada di Yogyakarta, tapi di seluruh Indonesia, termasuk mereka yang dari Magelang, Jawa Tengah pun turut bergabung.
“Tentunya, kami semacam flashback ke belakang, bahwa ini tempat bersejarah, dan bisa menggerakkan semua elemen masyarakat, dan buktinya ini sekitar 20 ribu orang. Dari semua kampus di Yogya, bahkan ada dari Magelang,” ungkap Rico.
“Nilai historis sebagai faktor berkumpulnya teman-teman. Dari semua jalur utara, timur, selatan, bisa tersentral di sini,” sambungnya.
Menolak Orde Baru Lahir Kembali
Rico menilai, Gejayan dipilih karena kondisi bangsa saat ini, dianggap mirip dengan tahun 1998. Banyak tindakan 1998 yang muncul akhir-akhir ini, seperti represifnya pemerintah.
“Kondisi objektifnya kurang lebih sama, semakin represif, dan itu, tempat ini sebagai sejarah yang mungkin bisa membangkitkan kita,” kata Rico.
Sementara Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Tommy Apriando menjelaskan, institusinya turut bergabung dengan Aliansi Rakyat Bergerak, karena 10 pasal dari RKUHP, bisa mengancam kebebasan pers.
Demokrasi, kata Tommy, telah dikangkangi oleh pemerintahan, mirip Orde Baru.
“Sejauh ini, kalau melihat semangat dulu (Gejayan 1998), memang tentu teman-teman mahasiswa dahulu yang merasakan dan waktu itu kekerasan, menjadi pilihan,” ujarnya.
“Dan hari-hari ini, mahasiswa ingin mengingatkan kembali, bahwa peristiwa Gejayan berkontribusi menumbangkan rezim Orde Baru. Saya rasa ini semangat mahasiswa untuk menolak Orde Baru kembali,” lanjut Tommy tegas.
Aksi Gejayan Memanggil lahir dari kegelisahan bersama. Mahasiswa dan masyarakat berkumpul, sepakat dalam satu kata, MENOLAK ORDE BARU kembali hidup.
Reformasi Dibajak Sekelompok Elite Politik
Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli menyampaikan, reformasi hari ini sedang dibajak dan dikorupsi oleh sekelompok elite politik, yang mementingkan kepentingannya sendiri.
Mereka abai pada kepentingan masyarakat luas, dan menjadi sinyal bahaya. Namun, Yogi optimistis, suara di Gejayan, akan didengar oleh para penguasa.
“Kita seolah sedang kembali ke rezim Orde Baru yang penuh pelanggaran HAM. Saya kira, ini (Gejayan Memanggil) ikhtiar untuk mengingatkan negara, bahwa masih banyak suara-suara kantong perjuangan rakyat untuk kebaikan, di level negara,” ungkapnya.
Jika Gejayan berhasil membidani reformasi, akan kah Gejayan berhasil menyelamatkan reformasi?
“Kita akan bergerak terus sampai menang. Ini bukan yang terakhir. Ini keresahan yang sudah membludak dari lapisan masyarakat,” pungkas Rico, seperti dilansir Kumparan.