Ngelmu.co – Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Pernyataan Presiden Soekarno itu terkenal dengan akronim Jas Merah.
Mempelajari sejarah (masa lalu) akan memperkuat pemahaman dan penghayatan kita akan situasi-kondisi masa kini.
Serta membuka wawasan, akan cita-cita dan impian besar yang harus diwujudkan di masa depan.
Sejarah, dalam garis besar, tentu sudah dipelajari di sekolah atau madrasah, serta dibaca dalam buku-buku teks resmi.
Namun, sejarah terinci berupa peristiwa atau momen tertentu, perlu diketahui dari para pelaku yang masih hidup.
Atau anak-keturunan pelaku sejarah tersebut, yang mendapat cerita langsung, bahkan boleh jadi masih menyimpan bukti-bukti yang belum terungkap ke publik.
Rincian peristiwa sejarah itu mungkin mengejutkan karena tidak pernah atau jarang dipikirkan selama ini.
Contoh terkini adalah penentuan Hari Bela Negara yang jatuh tanggal 19 Desember, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006.
Masih banyak warga (terutama kalangan muda) bertanya: tanggal itu terkait peristiwa apa?
Generasi milenial yang terbiasa dengan Google Search dan Wikipedia, akan menemukan: berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), pada 19 Desember 1948.
Pertanyaan berikutnya: PDRI didirikan untuk apa?
Menyelamatkan Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Namun, penjajah Belanda berusaha menggagalkannya dengan berbagai cara, antara lain menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Sehingga pemerintahan Republik Indonesia tidak bisa bekerja efektif.
Bahkan, Ibu kota negara Republik Indonesia yang terpaksa pindah ke Yogyakarta, dengan dukungan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, juga sudah diduduki Belanda.
Lalu, siapa yang memimpin PDRI dan bagaimana status kekuasaannya?
Ketua PDRI adalah Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI saat itu yang sedang bertugas di Sumatera.
Sebelum ditahan Belanda, Presiden Soekarno sempat melakukan rapat darurat bersama Wapres Hatta dan beberapa menteri.
Mereka sepakat untuk memberikan mandat kepada Mr. Sjafruddin yang sedang bertugas di luar Jawa, untuk mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Agar eksistensi pemerintah RI tetap terjaga di kancah internasional. Sehingga status Ketua PDRI adalah sebagai Presiden RI di masa darurat (Government in the state of emergency or in-exile).
Generasi milenial yang lebih suka berbicara masa depan daripada masa lalu, mungkin bertanya dalam hati:
“Siapa sih Mr. Syafruddin yang diberi kepercayaan oleh Presiden Soekarno untuk memimpin Indonesia di masa genting?”
Mr. Syafruddin adalah tokoh Partai Islam Masyumi yang berasal dari Banten dan berjuang hingga ke daerah Minangkabau (Sumatera Barat).
Pendidikan sarjananya di bidang hukum (Rechtshogeschool), tapi keahliannya di bidang ekonomi-keuangan.
Sejak zaman Belanda dan Jepang, memang bekerja di Departemen Keuangan.
Sehingga pasca-PDRI diberi amanah sebagai Menteri Keuangan RI (1949-1950) dan Gubernur Bank Sentral (BI) pertama kali (1951).
Sebelumnya, Mr. Syafruddin menjabat Presiden Direktur Javasche Bank yang kemudian diubah menjadi Bank Indonesia.
Dia-lah arsitek perbankan nasional di masa kemerdekaan. Pada akhirnya hidupnya, Syafruddin aktif sebagai Ketua Korps Mubaligh Indonesia (1984-1989), dan mendapat gelar Pahlawan Nasional (2011), 22 tahun setelah wafatnya.
Bukti bahwa PDRI berstatus resmi-konstitusional adalah telegram Presiden Soekarno kepada Mr. Syafruddin yang berbunyi:
“Kami, Presiden Republik Indonesia, memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, jam 6 pagi, Belanda telah mulai serangannya atas Ibu kota Yogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra,”.
Namun, Mr. Sjafruddin saat itu tidak bisa menerima telegram penting tersebut, karena seluruh jaringan komunikasi telah dirusak tentara penjajah Belanda.
Telegram serupa, dikirimkan kepada A.A. Maramis, selaku Menteri Keuangan RI yang sedang berada di New Delhi, India, untuk membentuk government-in-exile.
Syafruddin berkoordinasi dengan Maramis dan para tokoh nasional lain, yang masih bebas untuk menjaga kedaulatan Republik Indonesia.
Kepada salah satu media nasional (Harian Pelita, 6 Desember 1978) Mr. Syafruddin pernah mengungkapkan:
“Mengapa saya tidak menamakan diri Presiden Republik Indonesia, tetapi Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia? Yang demikian itu disebabkan karena saya belum mengetahui adanya mandat Presiden Soekarno, dan karena didorong rasa keprihatinan dan kerendahan hati …,”.
Memakai istilah Ketua PDRI, sebenarnya Mr. Syafruddin telah bertindak sebagai Presiden RI.
Dengan segala kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh UUD 1945, dan diperkuat oleh mandat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta.
Di mana waktu itu tidak dapat bertindak sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Di masa kemerdekaan para tokoh berjuang tanpa pamrih dan tidak ada ambisi kekuasaan.
Hal itu terbukti, karena setelah situasi darurat bisa dikendalikan Mr. Sjafruddin langsung terbang ke Yogyakarta ditemani Dr. Halim, M. Natsir, dan Mr. Lukman Hakim, untuk menyerahkan kekuasaan kepada Presiden Soekarno.
Itu tanda loyalitas kepada negara Republik Indonesia dan kepemimpinan nasional. Tak ada rebutan kekuasaan, dan tak ada sikap arogansi di antara para tokoh pendiri bangsa.
Suatu sikap yang patut diteladani karena semakin langka di masa kini.
Kisah pengorbanan para Pendiri Bangsa dan rakyat Indonesia sungguh mengagumkan.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX tidak hanya menyediakan wilayah Yogyakarta sebagai Ibu kota Republik Indonesia dan sebagian keraton Yogya sebagai Istana Kepresidenan (Gedung Agung).
Namun, turut menyumbangkan 6,5 juta gulden untuk dana perjuangan. Sultan Syarif Kasim II dari Kerajaan Siak (Riau) menyumbang tak kurang 13 juta gulden (setara Rp 1,4 triliun) untuk menggaji pegawai RI di tengah pergolakan.
Rakyat Aceh mengumpulkan dana sekitar 120.000 dolar Malaysia dan 20 kilogram emas, cukup untuk membeli dua pesawat Dakota yang dikenal sebagai pesawat RI-001 Seulawah.
Semua pihak berjibaku bela negara pada masa awal kemerdekaan RI, dengan mengesampingkan kepentingan pribadi dan kelompok, termasuk laskar-laskar rakyat seperti Hizbullah, Sabilillah, dan Tentara Pelajar.
Mereka mengorbankan tenaga, harta, jiwa dan raga. Wujud bela negara yang benar, melibatkan segenap pihak yang cinta kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia.
Semua pihak harus dirangkul untuk bela negara, dengan segala potensi dan kompetensinya, jangan ada yang didiskriminasi atau dicurigai dengan alasan radikalisme atau stigma lain.
Kecuali kelompok yang terbukti melanggar hukum dan melampaui batas (ekstrem) atau melakukan kekerasan, seperti pendukung separatisme, komunisme, dan terorisme.
Aksi bela negara hanya akan berhasil bila seluruh komponen warga bergerak, bukan hanya tentara dan polisi.
Pelajar, mahasiswa, akademisi, profesional, pengusaha, buruh dan pedagang kecil, dan segenap lapisan warga yang memiliki visi sama: Indonesia berdaulat.
Itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara yang baru disahkan.
Wujud bela negara paling legendaris adalah peristiwa Pertempuran Surabaya (10 November 1945) yang didahului Resolusi Jihad (22 Oktober 1945) dari para ulama yang dipimpin Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari.
Resolusi itu kemudian dikuatkan dalam Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta (7-8 November 1945).
Begitu gamblang (cetha wela-wela) jasa para ulama dan umat Islam dalam mempertahankan kemerdekaan RI, termasuk dalam menjaga kedaulatan RI dan membangun/memakmurkan bangsa hingga hari ini.
Karena itu, saya sering melengkapi adagium Bung Karno (Jas Merah) dengan Jas Hijau (Jangan sekali-kali menghilangkan jasa Ulama dan umat Islam).
Hanya karena perbedaan pandangan dan sikap terhadap masalah kontemporer, jangan sampai kita menegasikan dan mengabaikan kontribusi sejarah yang tak bisa dihapuskan selamanya.
Tugas kita sekarang sebenarnya simple saja, yakni mengubah energi perlawanan dan jihad melawan penjajahan menjadi etos kerja untuk membangun bangsa secara paripurna, demi terwujudnya keadilan sosial-ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tentu saja kita juga harus mengawal penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia, karena keadilan hukum dan kebebasan sipil merupakan hak warga negara.
Dari situ, dibutuhkan sikap kritis untuk mengawasi perencanaan dan pelaksanaan kebijakan di berbagai bidang.
Sikap kritis warga dijamin dalam UUD NRI 1945 dan merupakan bagian tak terpisahkan dari aksi bela negara.
Agar pemerintah dan seluruh aparatus negara benar-benar bekerja untuk mencapai tujuan nasional.
Oleh: Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (Politikus PKS)
Baca Juga: Jas Hijau: Jangan Hilangkan Jasa Ulama